Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 15:32 WIB | Minggu, 17 Januari 2016

CITA: Amnesti Pajak Perlu Dicarikan Skema Terbaik

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo. (Foto: Dok. Pribadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai program amnesty pajak (tax amnesty) di Indonesia mesti dicarikan skema terbaik guna mendorong pembahasan yang transparan dan akuntabel, supaya TA yang akan dijalankan berhasil dengan baik.

“Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk menjalankan program amnesti pajak di tahun 2016, setelah tertunda beberapa kali. Karena sudah menjadi kesepakatan pemerintah dan DPR, maka posisi kami bukan menerima atau menolak, melainkan mencari skema terbaik bagi negara,” kata Yustinus Prastowo kepada satuharapan.com, yang dihubungi melalui WhatsApp, hari Minggu (17/1).

Menurut dia, CITA tidak anti amnesti pajak, tapi menolak pemberian pengampunan pajak tanpa skema yang jelas, termasuk yang berpotensi besar menjadi moral hazard.

Oleh karena itu, CITA memberikan sejumlah catatan sebagai upaya literasi bagi publik agar semakin banyak masukan ke Pemerintah dan DPR, sehingga Undang-undang dan pelaksanaannya bagus.

Berikut ini penjelasan Yustinus Prastowo terkait asal muasal gagasan TA  (tax amnesty), konsep umum TA, dan analisis pelaksanaan TA di Indonesia.

Asal Muasal Gagasan TA

Gagasan TA pertama kali muncul di era Presiden Jokowi melalui pernyataan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Lalu ketika penerimaan pajak seret, pimpinan DPR pun mengingatkan Presiden Jokowi potensi defisit di atas 3 persen yang bisa berujung pemakzulan.

Dan TA dapat menjadi salah satu solusi agar penerimaan pajak 2015 meningkat signifikan. Mulailah rencana pemberian TA ini bergulir.

Bagai petir di siang bolong. Dirjen Pajak Sigit Pramudito menyatakan Pemerintah berencana memberlakukan Special Amnesty. Di sinilah kontroversi di ruang publik mulai dipantik. Karena dirjen pajak sudah menyatakan special amnesty, advokasi kita mulai.

Kami telah menyampaikan catatan awal terkait ide TA ini. Di sini kritik kami terhadap ide special amnesty lebih jelas dan eksplisit. Ini juga peringatan lain akan bahaya special amnesty yang mengampuni hampir seluruh tindak pidana di luar pajak.

Presiden tertarik ide TA karena skema repatriasinya. Menkeu Bambang Brodjonegoro di awal juga menekankan ide repatriasi ini. Ini hal positif dari pengampunan pajak.

Persoalannya ide ini justru tidak muncul di RUU Pengampunan Nasional yang diusulkan DPR, bahkan terakhir repatriasi bersifat opsional.

Menkeu  Bambang Brodjonegoro pada bulan Desember 2015 menyatakan repatriasi sifatnya opsional. Beleid ini yang saya kira perlu dicermati. Setelah mendapat kritik, akhirnya pembahasan RUU Pengampunan Nasional ditunda. Sikap Pemerintah mulai jelas.

Menko Polhukam Luhut Panjaitan juga menegaskan tidak akan ada pengampunan untuk koruptor sebagaimana di special amnesty.

Ini salah satu buah advokasi. Kami bersama Forum Pajak Berkeadilan (Prakarsa, TII, ICW, ILR, YLKI, dll), konsisten ingatkan pemerintah.

Kemudian di bawah koordinasi Menko Polhukam ide TA dimatangkan dan banyak perubahan, ke arah yang lebih menguntungkan negara meski ada beberapa catatan. RUU Pengampunan Pajak (setelah pidana lain urung), akan diajukan lagi di masa persidangan November 2015 tapi kembali gagal karena kasus Setya Novanto di MKD DPR RI.

Hingga akhirnya sinyal Presiden Jokowi sudah sangat jelas, di awal 2016 Ia nyatakan TA akan dijalankan. Buah advokasi setidaknya berhasil menggagalkan upaya memakai TA utk mengampuni koruptor dan kejahatan lain. Selebihnya lebih di level teknis.

Itu perjalanan panjang ide TA di era Presiden Jokowi.

Sebenarnya, ide TA selalu disodorkan di awal rezim berkuasa. Kenapa kira-kira?

Sejak Megawati menjadi presiden, ide TA diusulkan tapi Menkeu Boediono tegas menolak karena alasan administrasi yang belum siap.

Lalu di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga diusulkan lagi, bahkan RUU sudah dibahas DPR. Di awal SBY ide TA ini serius diusulkan. Tapi yang keluar justru sunset policy di 2008-2009 karena ide ini belum matang.

Kemudian pada periode II, SBY pun tak berani menerapkan TA, hingga akhirnya di awal Pemerintahan Jokowi ide ini muncul. Bedanya, disambut baik.

Tapi saya paham dinamika TA ini tak mudah. Banyak kelompok kepentingan. Maka advokasi minimal dilakukan, bukan karpet merah untuk koruptor! Ini berhasil.

Soal dinamika akan saya bahas lagi di bagian akhir. Tapi Istana juga tidak diam. Perumusan didialogkan multi-pihak. Ada pergeseran menarik.

Jika dulu justru idenya special amnesty (termasuk korupsi dan TPPU), setelah di bawah Luhut dan Apindo ikut bahas justru dipersempit ke pajak.

Identifikasi awal muncul, siapa penumpang gelap TA yang dulu memaksakan special amnesty? Jelas bukan kelompok pengusaha aktif.

RUU Pengampunan Pajak yang sudah diperbaiki akan diajukan ke DPR minggu depan dan dibahas. Targetnya Feb 2016 selesai dan bisa diimplementasikan.

Penerapan TA

Saya akan melompat masuk ke teknis dan best practice penerapan TA di seluruh dunia supaya kita punya pemahaman utuh dan mendalam.

TA adalah ide yang netral, sudah diterapkan di sekitar 40 negara dengan keberhasilan dan kekurangan yang perlu dipahami. Maka sangat kasuistik.

Bahkan IMF (2009) menyatakan bahwa "successful tax amnesty is like an anomaly, not a norm". Ini karena tingkat keberhasilan hanya 50 persen.

TA umumnya cukup berhasil di negara berkembang karena sistem administrasi sudah bagus dan data sudah tersedia secara akurat. Ini kuncinya.

Amerika Serikat bahkan sudah memberikan TA ratusan kali di 41 negara bagian kurun 1980-2009. Hasilnya kurang optimal mendongrak kepatuhan pajak.

Maka pada 2013 AS menerapkan kebijakan unilateral FATCA (foreign account tax compliance act) untuk kejar aset Warga Negara di luar negeri, mirip AEoI OECD.

Sejak 2004-2005 ada pergeseran fokus TA, dari peningkatan kepatuhan pajak ke optimalisasi penerimaan. Tentu hal ini ada alasannya.

Di negara berkembang TA cenderung tidak berhasil karena administrasi yang masih lemah, ketidaktersediaan data akurat, dan moral hazard yang tinggi.

Argentina, Filipina, dan beberapa negara Latin Amerika gagal mendongkrak TA pasca pengampunan, bahkan mengalami stagnasi tax ratio.

Contoh yang sering dirujuk berhasil melaksanakan TA adalah Italia dan Afrika Selatan. Saya akan ceritakan dua negara ini agak detail karena penting.

Afsel berhasil laksanakan TA karena faktor Mandela yang berhasil mendahului dengan rekonsiliasi politik dan menjamin stabilitas politik jangka panjang. Afsel melakukan TA dengan terarah dalam jangka panjang, sejak 1995-2009. Hasilnya sistem perpajakan kuat, tax base meningkat, kepatuhan naik.

Otoritas Pajak Afsel termasuk terbaik untuk negara berkembang, dan tax ratio mereka dua kali tax ratio Indonesia. Kepemimpinan jadi kunci sukses.

Sementara Italia sering diacu pejabat kita sebagai kisah sukses TA. Italia menerapkan TA dengan nama scudo fiscale (tax shield) sejak 2003.

Idenya repatriasi aset di luar negeri dan didahului kerja intelijen negara utk mendeteksi aset di luar negeri. Hasilnya, ada € 500 miliar aset di luar negeri dan sebanyak € 80 miliar berhasil direpatriasi atau hanya 20 persen. Padahal sudah didahului operasi intelijen.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Itulah yang mengkhawatirkan. Italia yang persiapannya matang saja hanya berhasil menarik 20 persen, apakah kita tidak terlalu optimistik ya?

Jadi faktor kuncinya adalah administrasi yang baik, data yang akurat, kepemimpinan politik yang kuat dan kredibel. Nanti kita bandingkan dengan Indonesia.

Tujuan TA secara umum ada 5, yaitu meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak di masa yang akan datang, mendoron repatriasi modal atau aset, transisi ke sistem perpajakan yang baru, mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perekonomian, dan berpotensi dalam perbaikan basis data yang akan memperluas tax base.

Masing-masing punya argumen dan penjelasannya. Indonesia setidaknya menginginkan tambahan penerimaan, repatriasi modal, dan integrasi informal sektor ke sistem perekonomian formal.

Tujuan lain yang sebenarnya momentumnya tepat adalah persiapan ke sistem perpajakan baru, karena akan ada revisi UU KUP dan UU Perpajakan lain. Maka TA tak boleh diletakkan terpisah dan berdiri sendiri, tapi sebagai bagian dari proyek reformasi struktural yang komprehensif.

Oleh karena itu, karakteristik TA yangharus diperhatikan, efektivitas, dan solusi yang bisa diambio agar TA yang akan dijalankan bisa efektif dan memberi maslahat optimal. Selain itu ada beberapa catatan agar kebijakan TA berjalan baik dan sustain. Baik saat pelaksanaan maupun pasca-TA.

Meski sudah ada perbaikan, di RUU TA masih ada beberapa hal yang perlu dikritisi karena berpotensi merugikan negara dan tak akan optimal.

TA bukan yang pertama, berikut ini sejarah TA di Indonesia sejak zaman Soekarno hingga saat ini.

Harus diakui penerimaan pajak kita belum optimal, bahkan tax ratio mengalami stagnasi. Padahal kebutuhan revenue urgen. Jumlah wajib pajak dan kepatuhan pajak masih rendah. Ini mendesak selesaikan SIN (single identification number)

Di sisi lain kita mencatat rekor nomor ke 9, negara yang warganya menyimpan dana di tax haven, dan no 7 negara dengan aliran uang haram.

Porsi informal sektor kita juga masih tinggi, maka perlu diintegrasikan ke sektor formal supaya basis pajak meningkat. Maka merancang TA yang bagus agar optimal bagi negara mutlak. Dalam konteks inilah kami melakukan advokasi dengan gigih, agar maslahat buat kita.

Analoginya adalah TA yang tak disiapkan dengan baik seperti ember kecil yang tak mampu menampung air, jadi mubazir. Oleh karena itu kita perbesar ember dulu (perbaiki administrasi dan regulasi), maka air akan tertampung secara maksimal.

Masukan untuk RUU TA

Angka bagus jika TA tetap jalan, maka tugas jangka pendek adalah memberi masukan RUU TA agar lebih baik. Berikut beberapa catatan kami.

Pertama, skema repatriasi mutlak harus ada di Undang-undang. Ini adalah hal yangg terpenting bagi perekonomian. Win win scenario adalah 25 persen yang direpatriasi.

Kedua, tarif TA jangan terlalu rendah, sekarang 2-6 persen. Idealnya 3 persen untuk UKM dengan batas tertentu, 5 persen untuk repatriasi, dan 10 persen untuk non repatriasi.

Ketiga, beleid kerahasiaan data TA perlu dipertegas supaya tidak menimbulkan ketidakpastian baru. Koordinasi antarpenegak hukum mutlak diperlukan.

Keempat, manajemen pasca TA dijamin bagus karena di sinilah kunci pasca-TA, mapping dan pengawasan potensi pajak terhadap harta yang dimintakan ampun.

Kelima, insentif untuk wajib pajak yang relatif sudah patuh, terutama yang sudah ikut Reinventing, supaya ada fairness dan mereka tidak lantas tak patuh.

Keenam, perbaikan regulasi dan koordinasi kelembagaan supaya momen reformasi fiskal ini hasilnya maksimal, di antaranya: SIN, kerahasiaan data perbankan, dan lain-lain. Karena pasca TA potensi pajak jangka pendek akan menyusut meski jangka panjang mungkin meningkat. Apalagi kita akan masuk rezim AEoI.

Melalui automatic exchange of information, kita bisa bertukar data otomatis, bisa kejar aset WNI ke negara-negara mitra. Ini ampuh, mulai 2018.

Ibarat pemburu, kita akan diberi senapan ampuh tapi baru bisa digunakan di 2018. Ya sekarang jagain hutan, bikin pagar, dan lain-lain. Tetapi TA berpotensi membakar hutan dan memusnahkan binatang buruan, kabur. Ini yang musti diperhatikan dengan saksama.

Untuk itulah kami berupaya mendorong pembahasan yang transparan dan akuntabel, supaya TA yang akan dijalankan ini berhasil dengan baik. Idealnya ditunda, tapi real politik berkata lain. Semoga penjelasan saya bermanfaat bagi publik dan membangun partisipasi  demi kebaikan bangsa.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home