COP23: 14 Hari Untuk Selamatkan Iklim
BONN, SATUHARAPAN.COM – Konferensi Iklim PBB COP23 dibuka pada Senin (6/11) di Bonn Jerman. Fiji menjadi negara penyelenggara. Karena negara itu hanya punya kapasitas terbatas, Jerman menjadi tuan rumah.
Dekorasi arena pameran didominasi oleh suasana Lautan Pasifik. Lagu-lagu dan tarian dari Fiji menjadi acara pembuka. Ketua Konferensi, Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama mengingatkan para peserta konferensi, bahwa bagi banyak negara kepulauan situasinya sudah sangat serius.
Bagi banyak peserta, acara pembukaan yang warna-warni dan meriah ini justru meninggalkan kesan memprihatinkan. Hampir tidak ada yang percaya, Fiji akan mampu memenangkan perjuangan besar melawan perubahan iklim. Beberapa peserta juga masih ingat, mantan Jenderal Bainimarama dulu naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer. Sembilan tahun lalu di Olimpiade London, dia masih dianggap persona non grata, orang yang tidak diinginkan.
Dari Kesepakatan Paris Menuju Aturan-aturan Mengikat
Ahli iklim dari organisasi lingkungan Greenpeace, Jennifer Morgan mengatakan, inilah saatnya menuangkan aturan-aturan yang mengikat.
"Saya berharap, para delegasi yang datang ke sini benar-benar bekerja. Menyusun buku aturan berdasarkan kesepakatan Paris. Dan masing-masing mereka harus bertanya, apalagi yang mereka bisa lakukan."
Menyusun aturan berdasarkan prinsip-prinsip yang disepakati di Paris, itulah tugas berat yang harus dilaksanakan selama 14 hari konferensi. Dua tahun lalu, Kesepakatan Paris dirayakan sebagai terobosan baru. Lebih dari 190 negara sepakat untuk bersama-sama meredam pemanasan bumi sanmpai maksimal hanya 2 derajat Celcius.
Antara Harapan dan Kenyataan
Namun masih ada jurang yang lebar antara harapan dan kenyataan. Menurut perhitungan para ahli, segala upaya mereduksi emisi yang dilakukan saat ini hanya mampu meredam pemanasan bumi sampai 3 derajat Celsius. Jadi masih terlalu sedikit. Apalagi kesepakatan Paris tidak terlalu rinci. Ada 60 butir kesepakatan yang diformulasikan cukup longgar. Mengubah situasi ini, itulah tugas berat ribuan anggota delegasi
Contohnya di Jerman saja, yang selama ini menjadi salah satu negara acuan karena ambisi besarnya dalam meredam perubahan iklim. Jerman pernah mencanangkan tujuan reduksi gas rumah kaca sampai 40 persen hingga tahun 2020, yang menjadi bagian dalam Kesepakatan Paris. Tapi kenyataan di Jerman masih jauh dari itu. Target ambisius 40 persen dapat dipastikan tidak bisa dicapai lagi.
Selain itu, masih ada perdebatan sengit di antara partai-partai politik yang saat ini sedang berunding untuk membentuk pemerintahan koalisi, terutama antara Partai Hijau dan Partai Liberal Demokrat FDP.
Partai Hijau menuntut penghentian penggunaan batubara sebagai bahan bakar. Sedangkan FDP menuntut agar industri batubara tetap dilanjutkan dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Sedangkan Menteri Lingkungan Barbara Hendricks juga menuntut agar industri batubara dihentikan. Tapi dalam pemerintahan yang baru, dia tidak akan menjadi menteri lagi. (dw.com)
Editor : Melki Pangaribuan
GKI Sinwil Jabar Harapkan Pilkada Asyik dan Penting
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat berkomitmen mewu...