Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 10:42 WIB | Kamis, 14 Juli 2016

Delegasi RI Walk Out Saat Bintang Kejora Berkibar di MSG

Delegasi RI  Walk Out Saat Bintang Kejora Berkibar di MSG
Pendukung ULMWP bersiap unjuk rasa di Honiara (Foto: istimewa)
Delegasi RI  Walk Out Saat Bintang Kejora Berkibar di MSG
Suasana pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon, 14 Juli 2016 (Foto: Istimewa)

HONIARA, SATUHARAPAN.COM -  Pertemuan puncak pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) secara resmi dibuka kemarin (13/7), diwarnai dengan walk out oleh delegasi Indonesia.

Hal itu terjadi ketika pada upacara pembukaan bendera anggota-anggota MSG dikibarkan -- termasuk bendera Bintang Kejora yang oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diklaim sebagai bendera bangsa Papua.

ULMWP saat ini menyandang status sebagai anggota peninjau di MSG, yang berharap akan disetujui peningkatan statusnya menjadi anggota penuh pada KTT ini.

Ada pun Indonesia yang dengan keras menolak legitimasi ULMWP mewakili rakyat Papua, saat ini berstatus associate member, dan juga berharap mendapat peningkatan status menjadi anggota penuh.

Menurut seorang yang hadir pada upacara pembukaan itu, sudah lazim bahwa pada setiap pembukaan KTT ada pengibaran benderanegara  anggota dan observer.

Namun, di saat pengibaran itu, tatkala Bintang Kejora turut naik bersama-sama bendera anggota lainnya, kata dia, delegasi Indonesia tidak terima.

"Delegasi Indonesia tidak terima dan walk out dari acara, namun agenda pertemuan tetap berlanjut," kata sumber satuharapan.com, yang hadir di Honiara.

Informasi ini dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nassir, laporan tentanga danya aksi Walk Out yang dilakukan delegasi Indonesia di KTT MSG tidak benar, dan merupakan kebohongan serta upaya disinformasi.

"Pernyataan yang menyatakan Indonesi Walk Out tidak benar adanya, itu merupakan informasi bohong dan adanya upaya disinformasi," kata dia kepada sejumlah wartawan di Kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta pada hari Kamis (14/7).

Dia mengatakan, pada saat KTT MSG delegasi Indonesia masih berada di dalam ruangan pertemuan MSG.

"Pertemuan di MSG delegasi Indonesia berada di ruang pertemuan jadi tidak benar adanya aksi walk out," kata dia.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 77 tahun 2007, tertanggal 10 Desember yang mengatur tentang lambang daerah, lambang Bintang Kejora dilarang digunakan.

Pelarangan penggunaan lambang Bintang Kejora tertuang dalam Bab IV di Pasal 6 ayat 4 yang berbunyi, “Desain logo daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi gerakan separatis dalam NKRI”.

Pada penjelasan PP yang ditandatangani Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjadi presiden, dikatakan bahwa pemerintah melarang penggunaan logo Bintang Kejora dan juga Burung Mambruk.

Selain Bintang Kejora, yang juga dilarang, lambang dan logo Bendera Bulan Sabit di provinsi Aceh serta lambang Bendera Raja di Provinsi Maluku.

Ketiga simbol dinilai telah dijadikan simbol gerakan perjuangan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.

Berkibar Luas di Honiara

Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun, bendera Bintang Kejora dalam beberapa hari ini berkibar di berbagai tempat di Honiara.

Sementara itu di Fiji, bendera Bintang kejora juga dikibarkan di kantor Sekjen Pacific Conferene of Church.

Hari ini juga diperkirakan akan berlangsung pawai besar-besaran oleh rakyat Kepulauan Solomon yang ingin menyuarakan dukungan agar ULMWP diterima sebagai anggota penuh MSG, termasuk sebuah konser didedikasikan untuk acara tersebut.

Kepulauan Solomon selama ini dikenal sebagai basis pendukung ULMWP, terutama datang dari warga berdarah Papua yang berpindah ke negara ini pasca Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 karena tidak setuju beritegrasi dengan Indonesia.

Ada lima anggota penuh MSG, yaitu Kepulauan Solomon yang saat ini menduduki kursi ketua, Vanuatu, Papua Nugini, Fiji dan FKLNK.

Sejauh ini, yang sudah memberikan dukungan untuk keanggotaan  ULMWP adalah negara Kepulauan Solomon dan Vanuatu.

Anggota lainnya, Fiji, selama ini sudah mengatakan akan menghormati kedaulatan RI dan mendukung RI menjadi anggota penuh.

Namun, pemimpin oposisi Fiji, Ro Teimumu Kepa, kemarin mengeluarkan pernyataan agar negaranya mendukung ULMWP menjadi anggota penuh dan ia berkampanye di Honiara untuk itu.

Papua Nugini diperkirakan juga tidak mendukung ULMWP menjadi anggota penuh dengan alasan yang sama dengan yang dikemukakan Fiji.

Namun pemimpin gereja di negara itu berharap agar Papua Nugini mengambil langkah yang bijaksana dan benar.

"Ini adalah doa kami dan berharap bahwa para pemimpin politik MSG akan dipandu oleh arti sebenarnya dari keadilan dan perdamaian dalam pembahasan mereka," kata Uskup Agung Katolik Port Moresby, John Ribat, sebagaimana dikutip oleh pasifik.news.

Pada hari pembukaan, mantan Perdana Menteri Papua Nugini, Michael Somare, yang juga dikenal sebagai pendiri MSG, menyerukan agar para pemimpin MSG mendukung ULMWP menjadi anggota penuh MSG.

Anggota MSG lainnya,  Kanak and Socialist National Liberation Front (FLKNS), organisasi pembebasan bangsa Kanak di Kaledonia Baru, belum secara tegas menyatakan sikapnya.

Secara tradisional, FLKNS selama ini mendukung ULMWP.

Indonesia sebagai associate member belum memiliki hak suara dalam penentuan keanggotaan MSG.

Dalam beberapa hari terakhir Indonesia gencar melakukan kampanye lewat tulisan-tulisan di media massa internasional, untuk menolak keberadaan ULMWP.

Juru bicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Sade Bimantara, belum lama ini melansir tulisan di sejumlah media di Pasifik Selatan, di antara di Solomon Star, yang menuduh ULMWP adalah organisasi separatis dan menyebarkan kebohongan tentang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.

Dalam tulisan bernada serupa,  seorang diplomat Indonesia di Kedutaan Brussels, Alessandro Bernama, menyebut ULMWP melakukan propaganda negatif tentang Papua namun tidak pernah berhasil.

Bernama mengatakan semua upaya ULMWP, termasuk untuk mengangkat isu Papua di African, Caribbean and Pacific Group of States (ACP), telah gagal dan sebaliknya, dukungan terhadap Indonesia menguat.

Pada saat yang sama, perhatian dunia terhadap isu Papua semakin besar, termasuk dari organisasi-organisasi NGO dan gereja.

Dewan Gereja Dunia telah mengeluarkan pernyataan keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua.

Sebelumnya Pelapor Khusus Dewan HAM PBB, Maina Kiai, mengangkat isu tentang hak berkumpul secara damai dan menyatakan pendapat yang dianggap masih terbatas di Papua.

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, berpendapat dasar kehadiran ULMWP di MSG mewakili rakyat Papua adalah karena telah  memperoleh mandat melalui petisi dari 35.000 Orang Asli Papua (OAP) yang ada di Tanah Papua pada tahun 2015 dan tahun 2016.

Menurut dia dalam sebuah artikelnya di suarapapua.com, Organisasi ini bisa diterima sebagai anggota peninjau di MSG karena adanya konflik sosial-politik yang sudah berlangsung sepanjang lebih dari 50 tahun sejak 1963 di Tanah Papua.

Pada saat yang sama MSG juga sepakat menerima Indonesia yang mayoritas penduduk/warga negaranya bukan Melanesia menjadi anggota asosiasi, tapi diwakili oleh kelima provinsi berpenduduk mayoritas Melanesia.

Tujuannya, dalam hemat dia, adalah agar ada tempat baik bagi Pemerintah Indonesia maupun rakyat Papua melalui ULMWP duduk bersama untuk berdiskusi/berdialog dalam upaya mencari jalan pemecahan secara damai dan bermartabat serta memenuhi standar demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

Peraih Penghargaan Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Kanada ini, menilai sangat urgen dan mendesak keanggotaan penuh ULMWP dicapai pada pertemuan tersebut.

Dengan status sebagai anggota penuh posisi Indonesia dan ULMWP diharapkan akan tercapainya sebuah pertemuan diantara ULMWP dan Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi damai atas konflik-sosial politik di Tanah Papua dan langkah-langkah ke arah penyelesaian masalah pelanggaran HAM.

Dengan demikian  posisi MSG akan kuat sebagai sebuah organisasi yang sukses dalam membangun suasana damai dan bersahabat di kawasannya bagi mata dunia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home