Loading...
FLORA & FAUNA
Penulis: Sotyati 15:05 WIB | Senin, 12 September 2016

Dewandaru di antara Mitos, Tuah, dan Khasiatnya

Dewandaru (Eugenia uniflora, L). (Foto: wikipedia.org).

SATUHARAPAN.COM – Slogan “kembali ke alam” telah mendorong popularitas dan pengembangan potensi obat tradisional.  Semakin banyak ahli yang tertarik untuk meneliti aneka tumbuhan berkhasiat obat di negeri ini, termasuk meneliti dewandaru.

Selama ini lebih banyak mitos yang melingkupi tumbuhan ini daripada khasiatnya. Pohon dewandaru disebut-sebut memiliki kekuatan gaib. Bahkan kayunya yang diolah menjadi aneka produk kerajinan, di antaranya tongkat dan tasbih, yang menjadi buah tangan terkenal khas Pulau Karimunjawa di Jawa Tengah, pun dianggap bertuah.

Dewandaru, mengutip dari  studi yang dilakukan Nur Ismiyati, Endang Sulistyorini, dan Rina Maryani dari Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC), Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, adalah tumbuhan perdu, tahunan, dengan tinggi lebih dari 5 meter. Referensi lain menyebutkan tinggi tumbuhan dapat mencapai 8 meter. Batangnya tegak berkayu, berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Akar tumbuhan berwarna cokelat dan merupakan akar tunggang.

Daunnya yang berwarna hijau serta merupakan daun tunggal, tersebar, berbentuk lonjong, dengan ujung dan pangkal meruncing. Tepi daunnya rata. Pertulangan menyirip dengan panjang lebih dari 5 cm dan lebar kurang lebih 4 cm.

Mengutip dari buku JR Hutapea, Investaris Tanaman Obat Indonesia (1994), tumbuhan ini memiliki bunga berbetuk tunggal berkelamin dua, dengan daun pelindung yang kecil berwarna hijau. Kelopak bunganya tiga sampai lima, juga memiliki benangsari yang banyak, berwarna putih. Putik berbentuk silindris, mahkota bunga berbentuk kuku, dan berwarna kuning.

Buah dewandaru berupa buah buni bulat dengan diameter kurang lebih 1,5 cm dan berwarna merah. Bijinya keras, berwarna cokelat, dan kecil.

Dewandaru adalah tanaman dari famili Myrtaceae, yang memiliki nama ilmiah Eugenia uniflora, L., dengan nama sinonim di antaranya Eugenia michelii, Lam., Eugenia oblongifolia, Eugenia zeylanica, Willd.

Tumbuhan ini berasal dari wilayah pantai timur Amerika Selatan yang beriklim tropis, yang tersebar mulai dari Suriname, Guyana Prancis, hingga wilayah selatan Brasil, juga sebagian dari Paraguay, Argentina, Uruguay, dan negara-negara di wilayah Karibia. Di daerah asal dan penyebarannya itu, dewandaru dikenal dengan nama pitanga, suriname cherry, brazilian cherry, cayenne cherry, atau cerisier carré.

Nama lainnya, seperti dikutip dari hear.org, adalah vine (Samoa), pomikanite ( Tonga), cerezo de Cayena, nagapiry, pitanga (Spanyol), menemene, venevene (Maori, Cook Islands).

Di kawasan Bermuda, seperti ikutip dari Wikipedia, tumbuhan yang diintroduksi dari Suriname sebagai tanaman hias dan tanaman pagar ini, berkembang biak menjadi tidak terkendali,  dan kemudian dianggap sebagai tumbuhan pengganggu. Di Suriname, tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung atau tanaman pagar ini disebut monkimonki kersie, atau juga montjimontji kersie.

Di Indonesia, pohon dewandaru dikenal juga sebagai asem selong, belimbing londo, ceremai londo, atau cereme asam.

Manfaat dan Khasiat Dewandaru

Dewandaru mudah tumbuh. Wikipedia menyebutkan tumbuhan ini relatif tahan hama dan mengandung antioksidan yang tinggi.

Buah dewandaru dapat dikonsumsi langsung. Rasanya asam hingga manis, bergantung pada tingkat kemasakan dan kultivarnya. Buah yang merah gelap kehitaman, memiliki rasa manis. Buahnya yang kaya vitamin C dan sumber vitamin A ini dapat dimanfaatkan menjadi selai atau diolah menjadi jelly.

Dewandaru telah dianggap sebagai bahan penelitian obat yang penting, mengingat riwayatnya yang panjang sebagai obat tradisional. Minyak esensialnya adalah antihipertensif, antidiabetik, antitumor, dan analgesik. Hasil penelitian bahkan menunjukkan khasiatnya sebagai  antiviral dan aktivitas antijamur. Minyak esensial dewandari mampu menangkal mikroorganisme seperti Trichomonas gallinae (in vitro), Trypanosoma cruzi, dan Leishmania amazonensis.

Daun tanaman dewandaru, mengutip dari buku Hutapea, mengandung flavonoid, saponin, dan tanin. Flavonoid dari ekstrak daun berupa mirisetin, mirisitrin, gallokatekhin, kuersetin, dan kuersitrin, berdasarkan penelitian G Schmeda-Hirschmann dan tim yang dipublikasikan pada 1987. Penelitian tahun 2000 mendapati senyawa tannin yang diisolasi dari fraksi aktif Eugenia uniflora antara lain gallokatekhin, oenothein B, eugeniflorins D(1) and D(2).

Di Paraguuay, hasil rebusan daun dewandaru digunakan untuk menurunkan kolesterol dan tekanan darah. Selain itu juga dapat menurunkan metabolisme lipid dan dapat digunakan sebagai efek proteksi pada trigliserida dan level lipoprotein yang sangat rendah, berdasarkan penelitian E Ferro dan tim yang dipublikasikan di Journal of Ethnopharmacology pada 1988.

Penelitian Bandoni dan tim pada 1972, seperti dikutip dari studi Cancer Cemoprevention Research Center menyebutkan buah dan daun dewandaru digunakan sebagai peningkat kualitas astringent dan mengurangi tekanan darah tinggi.

Dalam riwayat pengobatan tradisional Brasil menurut catatan studi Consolini dan tim yang dilakukan pada tahun 2000, disebutkan buah dewandaru digunakan sebagai antidiare, diuretik, antirematik, anti-febrile, dan antidiabetik. Selain itu, ekstrak daunnya juga sebagai agen hipotensif. Studi yang dilakukan T Matsumura dan tim pada tahun yang sama menyebutkan dewandaru memiliki khasiat menghambat peningkatan level trigliserida dan glukosa plasma.

Hutapea dalam bukunya menyebutkan daun dewandaru sebagai obat tradisional berkhasiat sebagai obat mencret. Sementara itu, Scapoval dan tim pada tahun 1994 mempublikasikan temuan daun dewandaru memiliki khasiat aksi anti inflamasi yang tinggi.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home