Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 17:10 WIB | Senin, 30 Desember 2019

Di Jagat Media Sosial, Menciptakan Narasi Imunisasi Anak

Pemberitaan negatif di jagat media sosial dan pembelahan pandangan terkait imunisasi anak. (Foto: Ignatius Dwiana)

SATUHARAPAN.COM - Dian (28 tahun) adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sosok ibu milenial. Anaknya baru berusia 11 bulan.

Sebagai ibu dengan anak pertama, dia mengaku kagok. Karena itu dia rajin mencari pelbagai informasi dan tips terkait pola pengasuhan anak, tumbuh kembang anak, hingga soal kesehatannya.

Pelbagai informasi yang dibutuhkan itu lebih banyak Dian cari di media sosial. Alasannya,"karena di media sosial itu paling mudah dan sehari-hari dapat memperoleh informasinya dari situ. Lebih praktis daripada TV atau radio."

Selain lebih cepat dan praktis dalam pencarian informasi, kelebihan lain media sosial yaitu mudah diakses dari smartphone yang dia bawa ke mana pun.

"Aku memakai media sosial sejak tahun 2009-an. Baik itu Facebook, Twitter, maupun Instagram," akunya.

Sebagai ibu, Dian pun menaruh perhatian akan imunisasi anaknya. Sejauh ini anaknya sudah menerima imunisasi polio, difteri, BCG, dan campak.

Informasi penting terkait imunisasi dan vaksinasi anak pun Dian peroleh dari media sosial. Dia tergabung dalam grup-grup yang membahas hal itu.

Sejauh ini, dia berpendapat informasi terkait imunisasi yang ditemukannya sudah lengkap. "Karena informasi itu disertai tautan ke situsnya langsung sehingga orang dapat mengetahui informasinya secara lebih mendalam."

"Tetapi kalau masih meragukan, juga bisa tanya ke dokter masing-masing. Kadang, aku juga pergi ke spesialis dokter anak," katanya.

Dian juga mengakui di media sosial menjumpai orang yang mempertanyakan imunisasi. Seperti,"orang dulu itu disuntik cuma beberapa kali. Cuma satu atau dua kali. Tetapi sekarang itu mengapa vaksinnya banyak banget. Kasihan banget, anaknya disuntik terus."

Pemberitaan negatif terkait imunisasi yang dibagikan di media sosial juga sempat membuat Dian cemas. Tetapi penjelasan para ahli kesehatan dalam grup-grup di media sosial yang diikutinya dapat menenangkannya. Walau ada orang lain yang terpengaruh, Dian sendiri tetap yakin bahwa imunisasi dibutuhkan anaknya.

Kuasa Media Sosial Dalam Penyebaran Informasi

Kemampuan media sosial dalam penyebarluasan informasi imunisasi atau vaksinasi anak memang sangat efektif. Media sosial memiliki jangkauan luas. Tanpa memandang usia. “Dari yang tidak mempunyai anak maupun sasaran yang hendak diimunisasi,” kata dokter Rusipah.

Diakuinya, sasaran penyebarluasan informasi imunisasi atau vaksinasi anak terasa efektif pada usia pra nikah maupun ibu-ibu usia muda. Tetapi informasi semacam itu juga bermanfaat bagi mereka yang bukan termasuk sasaran. Karena mereka “dapat menjadi media antara atau penyuluh di lingkungan mereka di mana lingkungan mereka ada yang menjadi sasaran imunisasi.”

Hanya saja terdapat pembelahan pandangan terkait vaksinisasi atau imunisasi. Ini ditemukan dalam penelusuran di media sosial seperti Facebook, Twitter, maupun Instagram sepanjang November hingga Desember 2019. Ada yang setuju. Tetapi di sisi lain ada yang melontarkan tanggapan meremehkan vaksin hingga ungkapan ketidaksetujuan. Bahkan ada yang berpendapat sederhana bahwa makanan bergizi saja sudah cukup.

Perempuan yang membidangi Surveilans Imunisasi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) Indonesia ini mencoba meluruskan,”vaksin itu untuk mencegah penyakit tertentu. Mencegah dengan imunisasi yang diakibatkan bakteri dan virus. Jadi makan makanan yang sehat, vitamin-vitamin, itu tidak cukup. Harus ada kekebalan yang diberikan melalui vaksin.”

Dokter Spesialis Anak Arifianto menyebutkan ada 16 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau vaksinasi anak. Selain itu juga sudah terjamin keamanannya.

Tetapi informasi yang benar soal imunisasi atau vaksinasi anak terhalangi informasi yang tidak benar dan pemberitaan negatif. Terutama yang berasal dari kelompok anti vaksin. Contohnya dalam kasus efek simpang imunisasi.

Menurut dokter Rusipah, kelompok anti vaksin itu “cenderung membesar-besarkan berita yang mengakibatkan kerugian banyak orang. Walau sebenarnya jumlah mereka tidak banyak tetapi karena bersuara di media sosial sehingga seolah-olah banyak.”

Bertolak dari hal itu, dokter Rosipah memandang media sosial perlu dimaksimalkan. Karena dia melihat ada dokter-dokter yang berupaya menyuarakan pentingnya imunisasi dan vaksinasi anak tetapi kurang bergaung.

Untuk itu diperlukan langkah yang lebih dengan menampilkan narasumber yang kompeten dan menciptakan dialog interaktif. Sekaligus untuk mengendalikan, memberikan informasi secara benar, dan meredam kelompok anti vaksin.

Langkah Negara Dalam Mengkomunikasikan Imunisasi

Kementerian Kesehatan selain berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lewat imunisasi juga menyampaikan pelbagai informasi yang tepat mengenai vaksin dan imunisasi di pelbagai lini. Termasuk sosialisasi melalui media sosial. Walau begitu, terpaan isu negatif vaksin dan imunisasi diakui merupakan salah satu faktor penghambat tersendiri.

Upaya penyebarluasan informasi negatif tentang imunisasi atau vaksinasi anak disadari benar Kementerian Kesehatan. Tidak saja warga yang terpapar kelompok anti vaksin. Bahkan diakui “sejauh ini, telah ada beberapa tenaga kesehatan yang sudah dikenai sanksi berkenaan tindakannya yang mengkampanyekan pesan-pesan negatif tentang imunisasi.”

Untuk membendungnya, maka Kementerian Kesehatan melakukan klasifikasi konten informasi terkait vaksin dan imunisasi di media sosial. Informasi yang “dikategorikan sebagai upaya mengkampanyekan pesan negatif atau hoax dapat diproses secara hukum oleh Kementerian terkait yang memiliki wewenang, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika,” jelas Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono.

Kementerian Kesehatan melalui Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat juga membuat konten-konten untuk disebarluaskan melalui akun resmi media sosial Kementerian Kesehatan. Konten-konten itu berisi hal-hal yang menjawab seputar pertanyaan dan keraguan mengenai vaksin dan imunisasi.

Di samping Kementerian Kesehatan melibatkan banyak individu dan menggandeng influencer untuk menyuarakan pentingnya imunisasi, juga “memiliki pasukan siber dan pengikut akun yang setia di media sosial.”

Inovasi Pelayanan di Era Baru

Sementara pengamat media Paulus Widiyanto menguraikan keharusan negara memiliki gagasan besar di era baru. Yaitu “inovasi pelayanan kesehatan berbasis 4.0. Itu harus menjadi kebijakan nasional. Semua elemen kesehatan terarah ke sana, e-health government.

Sistem digital yang ada di negara harus dibangun sedemikian rupa sehingga warga yang sudah sangat dekat dengan gawai dapat mengakses informasi kesehatan dengan alatnya itu.

Untuk itu “platform-platform yang ada harus digelar oleh sistem negara.” Sistem negara antara lain menciptakan infrastruktur, membuat konten, dan melindungi supaya infrastruktur maupun kontennya jangan sampai diretas, jangan sampai diplintir-plintir, atau jangan sampai dibuat hoax.

“Infrastrukturnya harus aman, kontennya harus benar, dan harus mudah diakses. Konsep seperti ini yang harusnya dikembangkan negara,” pungkas Paulus Widiyanto.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home