Loading...
RELIGI
Penulis: Kartika Virgianti 17:16 WIB | Sabtu, 04 Oktober 2014

Diskusi Publik Mencari Ketua Baru PGI 2014-2019

Diskusi Publik Mencari Ketua Baru PGI 2014-2019
Para pembicara dalam Diskusi Publik Mencari Ketua Umum PGI 2014-2019 dengan tema “Pelayan yang Memimpin” (dari kiri ke kanan) Maria Katarina selaku moderator, tokoh lintas agama, John Palinggi, Richard Daulay (GMI), Albertus Patty (GKI), aktivis gereja dan gembala GKPB Masa Depan Cerah Bandung, Bambang Wijaya. (Foto-foto: Kartika Virgianti)
Diskusi Publik Mencari Ketua Baru PGI 2014-2019
Ketua Umum PGI yang pertama tahun 1984, Pdt. Dr. Soritua A.E. Nababan saat memberikan sambutan.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebelum memilih pimpinan untuk periode kepengurusan yang baru, mengadakan kegiatan Diskusi Publik Mencari Ketua Umum PGI 2014-2019 dengan tema “Pelayan yang Memimpin” yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Nasrani (pewarna), di Wisma 76, Grogol, Jakarta Barat, Jumat (4/10).

Dalam diskusi publik tersebut hadir dua orang dari tiga kandidat calon ketua yaitu Richard Daulay (GMI), dan Albertus Patty (GKI), sedangkan calon lainnya yang tidak hadir adalah John Ruhulesin (GPM).

Turut hadir pula sebagai penanggap yaitu aktivis gereja dan gembala GKPB Masa Depan Cerah Bandung, Bambang Wijaya, dan tokoh lintas agama sekaligus Sekjen Badan Interaksi Antaragama (Bisma), John Palinggi.

Ketua Umum PGI yang pertama pada periode1984-1987, Pdt. Dr. Soritua A.E. Nababan mengatakan dalam sambutannya bahwa kriteria pemimpin itu ada empat yaitu mampu, takut akan Tuhan, dapat dipercayai, benci akan suap. Diharapkan ketua umum PGI nantinya akan seperti demikian.

“Tirulah pemimpin sepeti Yesus yang mampu melayani, memberikan dirinya untuk membela hak-hak yang tertindas,” ungkap pendeta yang dipanggil SAE ini. 

Ada empat sikap kita seharusnya terhadap pemerintah (pemimpin, Red). Pertama, positif, artinya menyambut segala sesuatunya dengan baik. Kedua, kreatif, yakni siap menganti yang buruk dengan yang lebih baik dan menciptakan sesuatu yang belum ada. Ketiga, kritis terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, tidak bisa ditakut-takuti bahkan disuap dengan uang. Kempat, realistis bahwa politik itu ada dinamikanya.

Sementara Bambang Wijaya, gembala GKPB Masa Depan Cerah Bandung, salah satu pendiri GKPB dan pernah menjadi ketua umum majelis pusat GKPB lebih banyak berbicara soal peran gereja dalam membantu masyarakat berdaya secara ekonomi.

“Kita sudah berada di ambang pintu dari AFTA tahun 2015 mendatang, di mana tembok-tembok yang selama ini dibangun untuk melindungi masyarakat akan tidak ada lagi di antara masyarakat ASEAN, yang berarti persaingan ekonomi akan semakin ketat. Persoalannya tidak seluruh orang Indonesia siap terhadap AFTA, terutama daerah-daerah misalnya di wilayah Indonesia timur yang SDM-nya masih tertinggal dibandingkan  yang di wilayah lain di Indonesia,” urai Bambang.

Maka dia menilai bahwa gerakan ekonomi secara ekumenis perlu dikembangkan, supaya warga dapat membangun ketahanan ekonomi di daerah-daerah. Contohnya di Korea Selatan, ada suatu daerah yang tandus, tapi berkembang menjadi tanah yang subur, karena dikelola oleh suatu pertanian Kristen  bernama Kanaan Farm, yang bekerja sama dengan beberapa perusahaan, bahkan perguruan tinggi yang ada di wilayah tersebut mengirimkan para sarjana pertanian maupun ekonomi untuk mengikuti pelatihan. Di sana para sarjana digembleng mentalitas dan pengetahuannya. Saat ini sudah ada 50 orang yang mengikuti pelatihan dengan disponsori, karena jika tidak, untuk satu pelatihan saja perlu biaya USD 4.500 (sekitar Rp 55 juta) dalam setahun.

Di sini Bambang sekali lagi menekankan bahwa agama yang bisa memberikan ilmu pengetahuan dapat memberikan manfaat yang lebih kepada manusia.

Richard Daulay Tentang Keadilan Sosial

Mantan sekretaris Umum PGI 2004-2009, Richard Daulay, Richard Daulay menguraikan bahwa pendapatan negara meningkat empat kali lipat dari periode sebelumnya, menurut pidato presiden tanggal 16 Agustus lalu. Tapi yang merasakan kekayaan hanya kaum oligarki saja, sedangkan golongan miskin dan menengah tetap saja tidak menikmati hasilnya.

“Jadi persoalan negara ini adalah keridakadilan, kerakusan, keserakahan, dan korupsi,” ucap dia.

Padahal, lanjut Daulay, kalau setiap orang mengamalkan doa Bapa Kami, “berikanlah makanan kami secukupnya,” tidak akan terjadi ketidakadilan itu, karena orang akan berfokus pada kecukupan itu sendiri, bukan berlebihan.

Maka, PGI dan gereja-gereja ditantang menggunakan mimbar-mimbar untuk bicara tentang keadilan. Daulay memiliki pandangan bahwa gereja harus mengupayakan keadilan sosial dan kemandirian bagi gereja dan masyarakat.

Kemudia gereja juga dirasakan perlu membentuk komisi hukum dan HAM. Pasalnya, hukum di Indonesia sudah cukup lengkap, tetapi banyak yang keberadaannya saling bertentangan, misalnya UUD 1945 pasal 29 tentang kebebasan beragama, tetapi UU No.1 PNPS Tahun 1965 mengamanatkan bahwa negara hanya mengakui enam agama.

Maka, PGI ditantang mengambil prioritas terhadap persoalan ini, tetapi jangan sampai seperti MUI yang sudah mempunyai think tank di bidang hukum, yang memastikan setiap UU di prolegnas DPR itu harus bernuansa syariat. PGI tidak boleh sampai seperti itu, karena kalau tidak, pelan-pelan PGI bisa ‘disyariatisasi’. Itulah mimpi yang diharapkan siapa pun ketua PGI bisa mewujudkannya sebagai bentuk pergumulan bersama.

Albertus Patty Tentang Perhatian Terhadap Ciptaan Tuhan

Albertus Patty, yang telah 25 tahun sampai sekarang melayani sebagai pendeta jemaat di GKI Maulana Yusuf, Bandung, menyampaikan perlunya gereja menaruh perhatian terhadap keutuhan ciptaan Tuhan yaitu, lingkungan hidup yang dihancurkan oleh karena kerakusan. Gereja diharapkan juga bisa berbicara dalam konteks ekologi, membangun opini yang bisa mencerahkan kehidupan kita bersama, karena isu ekologi selama ini lebih banyak disuarakan oleh LSM seperti Walhi, dan lain sebagainya.

Bagaimana pun juga, diskusi publik ini menurut Patty bukan seperti debat capres cawapres, dan hasil debat tidak ada pengaruh begitu besar, karena visi misi PGI akan ditetapkan di Sidang Raya PGI pada 10-17 November mendatang di Nias, Sumatera Utara.

“Kita hadir di sini untuk membangun relasi yang kuat,” ungkap pendeta yang baru saja menulis buku tentang pluralisme itu.

Poin lainnya yang disampaikan Patty, ia sepakat dengan Daulay, tetapi bahwa persoalan ketidakadilan di Indonesia bukan hanya ekonomi, ada persoalan agama, persoalan nikah lintas agama adalah hak sebagai warga yang tidak diakomodasi oleh pemerintah, ketidakadilan gender dalam UU maupun perda-perda misalnya perda syariah, ketidakadilan terhadap kaum transgender, bahwa kita boleh saja tidak setuju dengan transgender, tapi mereka juga mempunyai hak sebagai warga negara.

Seperti kata “syalom” yang selalu diucapkan umat Kristen untuk menyapa, artinya cukup sandang, cukup pangan, relasi baik, jaminan kebebasan sebagai warga negara, tetapi dalam realitasnya, misalnya UU No.1 Tahun 1965 lebih banyak merugikan kelompok minoritas.

John palinggi, menit 44, tokoh lintas agama, dan pengusaha sukses, dan pernah mendapatkan development citra award sebagai tokoh berprestasi di tingkat ASEAN, dan sekarang menjabat sebagai Sekjen Badan Interaksi Antaragama (Bisma).

Gereja Jangan Ikut Berpolitik

Di sisi lain, John Palinggi selaku penanggap dari kedua kandidat mempertanyakan dari semua harapan tersebut, langkah konkritnya seperti apa. Ketika pergumulan masyarakat adalah ekonomi, tetapi PGI tidak punya ruang untuk menyampaikan keluh kesahnya. Sementara John mengkritik bahwa geraja sebaiknya tidak terlalu jauh mencampuri urusan negara, bahkan sampai membentuk ormas-ormas untuk berdemo.

“Kita sering ingin mengurus negara dengan melawan pemerintah, menyampaikan kepentingan ke pemerintah dengan cara-cara kekerasan dan keluar dari sikap-sikap Yesus. Tetapi PGI membutuhkan pelayan yang memimpin, seperti gembala yang menuntun jalan domba-dombanya dari belakang,” kata dia.

John mengimbau sebaiknya gereja lebih banyak berbuat untuk mengasihi sesama dari berbagai aras, dan jangan dulu berbicara masyarakat, umat saja terlebih dahulu yang diurus. Hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, sebaiknya gereja ikuti saja pelan-pelan, dan tunjukan loyalitas gereja yang juga sebagai warga.

Maka, sambil memantapkan keimanan umat, membuat konsep gereja terhadap perekonomian, dan meningkatkan kemandirian gereja baik untuk membeli tanah maupun untuk perizinan membangun gereja, dan pada akhirnya gereja harus memastikan umatnya memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya yang bisa beribadah dengan aman dan tanpa diskriminasi. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home