Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:00 WIB | Rabu, 27 Januari 2016

Draf Revisi UU Terorisme Sampai ke Presiden Pekan Depan

Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Dok. satuharapan.com/Febriana Dyah Hardiyanti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, menargetkan draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pekan depan.

Luhut mengaku, saat ini, revisi regulasi yang bertujuan untuk penguatan pemberantasan aksi terorisme di Tanah Air itu masih dalam proses pematangan.

"Mudah-mudahan Senin (pekan depan) kita sudah bisa berikan ke Presiden," kata Luhut, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, hari Rabu (27/1).

Prosesnya, dia menjelaskan, Presiden akan memeriksa draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlebih dahulu, kemudian menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk dibahas dan disahkan menjadi UU.

"Dilihat (Presiden), nanti kemudian ke DPR," ujarnya.

Menurut Luhut, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan inisiatif pemerintah dan DPR. Para pemimpin lembaga negara juga ikut mendukung agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme cepat direaliasasikan.

Enam Poin Revisi

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, pernah menjabarkan terdapat enam poin yang hendak dimasukkan dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pertama, dari sisi penangkapan dan penahanan, akan ditambah dari segi waktu.

Nantinya, setelah direvisi, diharapkan jangka waktu penahanan dapat diperpanjang, sebab batas waktu penangkapan yang saat ini berlaku adalah 7x24 jam dan enam bulan untuk penahanan. "Jangka waktu penahanan ditambah dari enam bulan menjadi sepuluh bulan, penangkapan dari tujuh hari menjadi 30 hari," kata Yasonna di Gedung Parlemen Senayan, hari Senin (25/1).

Kedua, dalam hal penyadapan, izin yang dikeluarkan diusulkan cukup berasal dari hakim pengadilan saja. Saat ini, yang berlaku yaitu izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri. "Untuk penuntutan dan pengusutan, tak hanya kepada orang, tetapi juga kepada korporasi," kata Yasonna.

Ketiga, pemerintah mengusulkan agar penanganan kasus dugaan tindak pidana terorisme diperluas. Aparat diusulkan sudah dapat mengusut terduga teroris sejak mereka mempersiapkan aksi. "Mulai dari kegiatan mempersiapkan, pemufakatan jahat, percobaan hingga pembantuan tindak pidana terorisme," ujar Yasonna.

Keempat, pemerintah juga mengusulkan agar Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri dapat dicabut paspornya. Kelima, perlu adanya pengawasan terhadap terduga dan mantan narapidana kasus teroris. Untuk terduga teroris, batas waktu pengawasan yakni selama enam bulan.

Sementara, untuk mantan narapidana kasus teroris batas waktu yang diusulkan selama setahun setelah bebas.

Keenam, pengawasan yang bersifat resmi ini juga harus dibarengi dengan proses rehabilitasi secara komprehensif dan holistik.

"Jadi seperti kasus kemarin (teror di kawasan Thamrin), ada mantan narapidana, perlu dibina. Program deradikalisasinya terus, tidak dibiarkan," ujar Yasonna.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home