Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 17:32 WIB | Senin, 08 Agustus 2016

Dukungan Berlebihan kepada Jokowi Bahayakan Perekonomian

Faisal Basri (Foto: Melki Pagaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Dukungan mayoritas mutlak di DPR kepada Presiden Joko Widodo di satu sisi dinilai akan memuluskan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Namun, di sisi lain dikhawatirkan dapat membahayakan perekonomian karena menelan biaya tinggi dan bisa membawa Indonesia terjebak pada perekonomian yang disandera utang.

Hal ini dikemukakan oleh ekonom Faisal Basri dalam sebuah tulisan yang ia terbitkan lewat blog pribadinya, dengan judul Merawat Demokrasi Kita dan Menjaga Asa.

Menurut dia, tidak diragukan lagi bahwa dukungan di DPR kepada Jokowi-JK telah berbalik dari hanya 37 persen di awal mereka menjabat, menjadi 69 persen. Posisi mereka semakin kuat karena kekuatan oposisi juga melemah.

"PKS tidak lagi segarang sebelumnya pasca pergantian pimpinan puncak partai. Wakil Ketua DPR dari PKS yang sangat vokal terhadap Pemerintah disingkirkan. Presiden PKS telah bertandang ke Istana," kata dia.

Kekuatan oposisi lain, seperti Partai Demokrat, kata dia,  sejak awal mengesankan berada di “tengah” dengan Ketua Umumnya sesekali mengritik pemerintah lewat akun twitternya.

Grafis: faisalbasri.com

Ini agak kontras dengan keadaan ketika mereka dilantik. Jokowi-JK ketika itu hanya bermodalkan dukungan minoritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu 37 persen dari keseluruhan kursi.

"Empat partai pendukung sejak awal yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah PDI-P, Partai Nasdem, PKB, dan Hanura. PKP yang juga merupakan angora KIH tidak bisa masuk DPR karena tidak memenuhi parliamentary threshold," tulis dia.

Nasib serupa dialami PBB yang merupakan anggota Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Anggota KMP yang lolos ke DPR adalah Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, Partai Golkar. Posisi PD tidak jelas tetapi perilakunya di DPR cenderung di pihak oposisi.

Namun, dalam waktu tidak terlalu lama peta politik berubah. Menjadi oposisi, dalam analisis Faisal Basri, tak menarik bagi banyak partai karena akses terhadap logistik tersumbat, membuat pimpinan partai terancam digoyang.

Maka perubahan haluan politik pun dimulai. Perintisnya salah satu kubu PPP yang bertikai mendeklarasikan bergabung dengan KIH. Kubu pendukung pemerintah menang dalam muktamar dan hingga kini mendukung pemerintah walaupun tidak memperoleh tambahan posisi menteri pada perombakan kabinet pertama dan kedua.

                         Grafis: faisalbasri.com

Lebih jauh, PAN menyusul bergabung secara resmi setelah pergantian ketua umum. Golkar demikian pula, setelah memilih ketua umum baru pada Kongres di Bali beberapa bulan lalu. Bahkan tak tanggung-tanggung, pengurus baru Golkar telah mengusung Jokowi sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2019 mendatang.

Di sinilah Faisal Basri melihat adanya kemungkinan bahaya. Lemahnya kekuatan oposisi, dalam hemat dia, menyebabkan fungsi checks and balances melemah. Apa pun yang diajukan pemerintah bakal lebih mulus di DPR.

"Rongrongan dari tentara relatif kecil, tidak seperti di Turki dan Mesir. Beberapa elemen civil society yang sejak Orde Baru sangat kritis sudah berada di pusaran kekuasaan. Semua itu berpotensi membuat pematangan demokrasi terhambat," kata dia.

Akibatnya, konsesi harus lebih banyak diberikan kepada para pendukung. "Jabatan dibagi-bagi. Praktek pemburuan rente kian kentara. Proses tender diintervensi. Pemilihan proyek tidak lagi berdasarkan pertimbangan terbaik (first best)," tutur dia.

Secara ekonomi, ini menyebabkan biaya yang ditanggung perekonomian meningkat. "Untuk menghasilkan tambahan satu unit output diperlukan lebih banyak tambahan modal," kata dia.

Grafis: faisalbasri.com

Inilah yang disebut sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang berpotensi naik. Pada gilirannya, untuk menggenjot pembangunan infrastruktur diperlukan lebih banyak modal, yang tidak bisa didukung oleh tambahan penerimaan pajak dengan kecepatan yang sama.

Maka kalau dipaksakan, utang harus lebih banyak. "Akibatnya suku bunga naik, inventasi swasta terdesak (crowding out). Target pertumbuhan rata-rata 7 persen dalam RPJM 2015-2019 kian sulit tercapai."

Kendati demikian Faisal Basri tidak ingin pesimis. Ia mengatakan masih berharap ada segelintir pembantu presiden yang terus memperjuangkan perubahan mendasar. Juga unsur-unsur di luar pemerintahan yang tak jemu-jemu bersuara untuk mendorong perubahan mendasar itu. "Jika tidak, ancaman middle income trap banal kian di depan mata." tutur dia.

Ia juga menganggap tipis kemungkinan PDIP akan mau mengambil posisi sebagai oposisi untuk menciptakan keseimbangan. "Andaikan PDI-P menarik dukungan karena kerap dikecewakan oleh Jokowi, posisi dukungan di DPR berkurang menjadi 49,5 persen," kata Faisal Basri.

Namun seandainya hal ini pun terjadi, masih tetap mudah bagiJokowi untuk menjaga dukungan mayoritas di DPR, dengan mengajak PKS dan atau PD. Juga, terbuka  kemungkinan Partai Gerindra untuk bergabung.

"Kalau demikian, bisa jadi PDI-P akan kesepian sebagai oposisi. Pilihan itu tentu saja teramat mahal buat PDI-P." kata Faisal.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home