Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 15:28 WIB | Sabtu, 30 September 2017

Eddy Betty Terus Melangkah dengan Bekal Iman dan Semangat

Eddy Betty tampil bersama para model yang memeragakan koleksi terbarunya yang mengusung tema Liberte, dalam peragaan tunggal di Jakarta, 20 September lalu. (Foto: Tim Muara Bagdja)

SATUHARAPAN.COM – Lebih dari dua dasa warsa perancang busana Eddy Betty berkarya. Pengamat mode menilainya sebagai perancang busana yang piawai dalam mengolah materi dan cakap menebar daya pikat dalam memanjakan indera mata orang lain untuk menikmati karyanya.

Dilahirkan di Jambi, 6 Juli 1970, Eddy mengayunkan langkah memasuki dunia mode pertama kali pada 1989. Ia memilih belajar ilmu mode di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo.

Masih pada tahun yang sama, ia melangkah lebih lanjut, belajar di sekolah mode paling bergengsi dunia, Fleuri de la Porte dan Chambre Syndicale de la Couture Parisienne, yang membentuk cita rasa adi busana yang menjadi jiwa rancangannya. Eddy menyelesaikan pendidikan pada 1996.

Pengakuan pertama atas pilihan kariernya ia peroleh pada 1989, ketika meraih penghargaan menyabet gelar juara pertama sekaligus juara umum pada Lomba Desain Busana versi Majalah Sarinah, Jakarta. Eddy memilih tema dasar laut untuk karyanya.

Ia mengokohkan pijakan dengan resmi menjadi anggota Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) pada 1990 dan menggelar peragaan koleksi bersama anggota asosiasi mode tersebut.

Pada 1991, ia berkesempatan mewakili Indonesia dalam ASEAN Young Designer Contest di Singapura.

Peragaan Busana Tunggal

Merampungkan pendidikan mode pada 1996, Eddy mulai membuka studio kerja dan merancang busana eksklusif khusus pesanan dengan merek “Eddy Betty Haute Couture”.

Empat tahun kemudian, ia menggelar peragaan tunggal perdana “Ilustrasirkus”. Ia memperkenalkan bustier, yang kemudian menjadi tren dan merupakan identitas karyanya, serta gaun sifon dengan ujung gaun tidak dijahit (unfinished).

Kembali menggelar peragaan tunggal pada tahun 2004, “Celebration of Love”, ia berinovasi dengan rancang kebaya, menghadirkan kebaya-bustier, kebaya yang dijahit menjadi satu dengan bustier di bagian torso.

Pada tahun 2008, lagi ia menggelar peragaan tunggal, “Eccentriclassy”. Tersirat dari tema, Eddy mendramatisasi gaun-gaun serbagaya dengan berbagai elemen eksentrik. Tema koleksi tentang evolusi kehidupan yang disimbolisasi dengan metamorfosa kupu-kupu berbentuk gaun gelembung sampai gaun indah glamor.

Meluncurkan Lini Ready-to-Wear

Layaknya perancang busana yang mendambakan karyanya dikenakan banyak orang, Eddy pun melirik bisnis busana ready-to-wear, busana siap pakai. Pada tahun 2010     ia mempersembahkan peragaan tunggal perdana dari lini sekunder Eddy Betty, berlabel ed.be (dibaca: e-di-bi). Ia menawarkan gaya berbusana Asiatis yang memanfaatkan material beragam wastra Nusantara termasuk batik.

Secara ajek Eddy mempersembahkan peragaan tunggal lini sekunder ed.be. Pada 2011, mengusung tema “Love is in the Air” ia menghadirkan rancang bangun komposisi batik dengan katun, rayon, dan tenun, dalam motif saling tabrak. Pada 2012, ia menggelar peragaan tunggal lini sekunder ed.be, “Imperata Nomadechic”, memanfaatkan tenun Bali.

Selain peragaan busana tunggal, Eddy juga tampil dalam berbagai pesta akbar mode. Di ajang Bazaar Fashion Concerto pada 2006, Eddy menampilkan karya bertajuk “Rockin’ Heroine”, mengangkat berbagai cerita animasi pahlawan wanita dalam gaun-gaun spektakuler.

Lagi, pada 2012, ia berpartisipasi mempersembahkan peragaan bersama bertajuk “Langgam Tiga Hati” dalam pergelaran Bazaar Fashion Celebration 2011.

Di ajang yang sama, pada 2014, ia mempersembahkan peragaan tunggal busana siap pakai koleksi lini sekunder ed.be: “Pele-Mele”, sebagai rangkaian dari IPMI Trend Show 2015. Eddy mengenalkan gaya patchwork  yang menabrakkan tenun Baduy dan Sumba dengan jins, tampilan yang diapresiasi perancang busana senior yang telah melahirkan banyak perancang busana melalui lembaga pengajarannya, Susan Budihardjo.

Dalam percakapan melalui telepon pada siang hari 18 September 2017, Eddy mengaku agak menyurutkan langkah di dunia ready-to-wear, untuk berkonsentrasi di karya awalnya, yang ia sebut adibusana. 

“Di masa seperti ini, saat keadaan ekonomi melemah, dan kurangnya perhatian pmerintah pada sektor ini, ada dua hal yang membuat saya kuat,” katanya.

“Pertama, iman. Agama yang saya anut mengajarkan kepada saya untuk bersabar dan menerima. Keimanan ini saya pelihara agar saya tidak mudah berpindah dari jalur yang saya pilih,” ia menjelaskan.

Kedua, semangat. Ia menanamkan kepada diri sendiri untuk tetap semangat dalam situasi apa pun. “Dengan semangat saya seperti memiliki etos kerja yang tinggi dan fokus pada profesi yang saya cintai,” kata Eddy.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home