Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 06:17 WIB | Rabu, 25 November 2020

Ethiopia: Banyak Milisi dan Pasukan Khusus Tigray Telah Menyerah

TPLF: rakyat siap mati membela Tanah air
Ethiopia: Banyak Milisi dan Pasukan Khusus Tigray Telah Menyerah
Sebuah tank yang rusak ditinggalkan begitu saja di jalan ketika sebuah truk dari Pasukan Khusus Amhara lewat di dekat Humera, Ethiopia, pada hari Minggu (22/11/2020). (Foto: AFP)
Ethiopia: Banyak Milisi dan Pasukan Khusus Tigray Telah Menyerah
Seorang anggota Pasukan Khusus Amhara memasang senapan mesin di kamp improvisasi di depan sebuah toko di Humera, Ethiopia, pada hari Minggu (22/11/2020). (Foto: AFP)

ADIS ABABA, SATUHARAPAN.COM-Pemerintah Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, mengatakan bahwa banyak milisi Tigrayan dan pasukan khusus menyerah sejalan dengan ultimatum sebelum ancaman serangan terhadap ibu kota regional, Mekelle.

"Memanfaatkan waktu 72 jam dari pemerintah, sejumlah besar milisi Tigray dan pasukan khusus menyerah. Banyak yang telah menyerah melalui wilayah Afar, dan pasukan yang tersisa menyerah dengan damai," kata satu satuan tugas pemerintah hari Selasa (24/11) dikutip Reuters.

Belum ada tanggapan dari Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang sebelumnya mengatakan telah menghancurkan divisi tentara yang penting.

“Siap Mati”

Pemimpin pemberontak wilayah Tigray, Ethiopia mengatakan bahwa rakyatnya "siap mati" membela tanah air mereka, dan menolak ultimatum Perdana Menteri Abiy Ahmed untuk menyerah dalam waktu 72 jam.

Abiy melancarkan serangan militer melawan Tigray People's Liberation Front (TPLF) pada 4 November, menuduhnya menyerang dua kamp militer federal di wilayah utara, serta menentang dan berusaha mengguncang pemerintahannya.

Tentara federal mengatakan pasukannya berada dalam jarak 60 kilometer dari Mekele, ibu kota Tigray dan pusat TPLF, menjelang pemboman habis-habisan di kota berpenduduk setengah juta orang itu.

Abiy, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun lalu, pada hari Minggu meminta TPLF untuk menyerah secara damai dalam waktu tiga hari, dengan mengatakan mereka "berada di titik tidak bisa kembali."

Tetapi pemimpin TPLF, Debretsion Gebremichael, mengatakan Abiy berusaha menutupi kemunduran yang diderita pasukannya melawan pasukan Tigrayan, dan mengeluarkan ancaman untuk mengulur waktu.

"Dia tidak mengerti siapa kami. Kami adalah orang-orang yang berprinsip dan siap mati untuk membela hak kami untuk mengatur wilayah kami," kata Debretsion kepada AFP melalui WhatsApp.

Pemadaman komunikasi di wilayah tersebut membuat klaim dari kedua belah pihak sulit untuk diverifikasi.

Ancaman “Tanpa Ampun”

Brigadir Jenderal Tesfaye Ayalew, seperti dikutip oleh Fana Broadcasting Corporate yang berafiliasi dengan negara bagian pada hari Senin (23/11), mengatakan bahwa pasukan federal "berbaris ke Mekele" setelah merebut kota-kota utama di utara dan selatan.

Tentara mengancam akan melakukan serangan tank "tanpa ampun" terhadap kepemimpinan TPLF di Mekele, memperingatkan warga sipil untuk pergi selagi mereka masih bisa. Hal itu membuat kekhawatiran di antara para aktivis hak asasi.

"Memperlakukan seluruh kota sebagai sasaran militer tidak hanya melanggar hukum, itu juga bisa dianggap sebagai bentuk hukuman kolektif," tulis peneliti Human Rights Watch, Laetitia Bader, di Twitter.

Abiy mendesak masyarakat Mekele untuk berpihak pada tentara nasional melawan TPLF, "dan membawa kelompok pengkhianat ini ke pengadilan."

Ratusan orang dilaporkan tewas dalam hampir tiga pekan pertempuran yang mengerahkan pesawat tempur dan tank untuk mengebom wilayah itu.

Amnesty International juga mendokumentasikan pembantaian yang mengerikan di mana "puluhan dan kemungkinan ratusan" orang ditikam dan dibacok sampai mati di kota barat daya Mai-Kadra.

Sementara itu, puluhan ribu warga Ethiopia telah melarikan diri ke barat menuju Sudan dan roket menghantam Eritrea di utara, memicu kekhawatiran konflik internal meluas ke negara tetangga.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home