Ethiopia: Pemilu di Tengah Perang di Tigray dan Kritikan
ADDIS ABABA, SATUHARAPAN.COM-Warga Ethiopia pada Senin (21/6) memberikan suara dalam pemilihan umum yang menjadi ujian terbesar bagi Perdana Menteri Abiy Ahmed, karena masalah perang dan logistik yang membuat surat suara tidak akan dikirim di lebih dari 100 daerah pemilihan dari 547 daerah pemilihan di seluruh negeri.
Pemilihan itu tertunda dari tahun lalu, dan ini adalah inti dari upaya reformasi Abiy, yang naik ke tampuk kekuasaan pada 2018. Ini tampaknya menandakan pemutusan kekuasaan otoriter selama beberapa dekade dan menjadikan dia penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun berikutnya. Dia menggambarkan pemilu itu sebagai "upaya pertama negara itu dalam pemilihan umum yang bebas dan adil."
Antrean panjang pemilih terlihat di beberapa bagian ibu kota, Addis Ababa, sementara keamanan ditingkatkan di negara terpadat kedua di Afrika itu. Kendaraan militer diparkir di lokasi-lokasi penting di ibu kota. Lebih dari 37 juta orang Ethiopia diperkirakan akan memilih.
“Saya berharap untuk Ethiopia yang damai karena itu adalah hal terbesar yang kita butuhkan,” kata pemilih Atalay Anteneh.
Partai Sejahtera Abiy yang berkuasa, yang dibentuk pada tahun 2019 dengan menggabungkan kelompok-kelompok yang membentuk koalisi penguasa sebelumnya, secara luas diperkirakan akan memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan. Partai yang memenangkan mayoritas kursi di DPR akan membentuk pemerintahan berikutnya.
Kelompok-kelompok oposisi menuduh partai yang berkuasa di Ethiopia melakukan pelecehan, manipulasi, dan ancaman kekerasan. Beberapa partai oposisi terkemuka memboikot pemilu. Yang lain mengatakan mereka dilarang berkampanye di beberapa bagian negara itu.
Abiy menghadapi kritik internasional yang meningkat atas perang di wilayah Tigray, Ethiopia, sebagian dipicu karena para pemimpin Tigray yang sekarang buron keberatan dengan Ethiopia menunda pemilihan tahun lalu dengan alasan COVID-19. Belum ada tanggal yang ditetapkan untuk pemungutan suara di 38 daerah pemilihan Tigray.
Pertempuran di Tigray
Mantan pemimpin Tigray, yang memerangi pasukan Ethiopia dan mereka yang berasal dari negara tetangga Eritrea, telah melaporkan pertempuran baru yang sengit dalam beberapa hari terakhir. Pasukan pertahanan Ethiopia menyebut pertempuran itu menantang karena medannya yang kasar. Ribuan warga sipil telah terbunuh dan kelaparan telah terjadi yang oleh pengamat digambarkan sebagai perang gerilya yang berlarut-larut.
Sementara itu, pecahnya kekerasan etnis telah menewaskan ratusan orang di wilayah Amhara, Oromia dan Benishangul-Gumuz dalam beberapa bulan terakhir.
Kekhawatiran internasional telah berkembang tentang pemilu. Amerika Serikat mengatakan "sangat prihatin dengan lingkungan di mana pemilihan mendatang akan diadakan," dan Uni Eropa mengatakan tidak akan mengamati pemungutan suara setelah permintaannya untuk mengimpor peralatan komunikasi ditolak.
Sebagai tanggapan, Ethiopia mengatakan pengamat eksternal “tidak penting atau tidak perlu untuk mengesahkan kredibilitas pemilihan,” meskipun sejak itu menyambut pengamat yang dikerahkan oleh Uni Afrika.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa telah mencatat lingkungan yang "menantang" dan memperingatkan terhadap tindakan kekerasan.
“Adalah tugas kita untuk tetap bersatu dan bukan tugas pemerintah,” kata seorang warga ibu kota, Eskedar Teklegiorges, pada akhir pekan ketika ratusan petugas polisi berparade dalam unjuk kekuatan menjelang pemungutan suara.
Partai Sejahtera Abiy mencatat 2.432 kandidat dalam pemilu. Partai terbesar berikutnya, Warga Ethiopia untuk Keadilan Sosial, mengajukan 1.385 kandidat. Sebanyak 47 partai ikut bertarung dalam pemilu itu. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...