Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 10:13 WIB | Senin, 14 Agustus 2017

Federasi Uskup Oseania: Mayoritas Rakyat Papua Ingin Damai

Federasi Uskup Oseania: Mayoritas Rakyat Papua Ingin Damai
Foto arsip tahun 2016 saat Komite Eksekutif Federasi Uskup Oseania bertemu di Port Moresby, Papua Nugini. Dari kiri ke kanan, Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta,Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowombia, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Vila, John Bosco Baremes SM, (Foto: Chatolic Outlook)
Federasi Uskup Oseania: Mayoritas Rakyat Papua Ingin Damai
Para uskup dari negara-negara Oseania bertemu di Selandia Baru pada 14 Agustus 2017 (Foto: New Zealand Catholic Bishops Conference)

AUCKLAND, SATUHARAPAN.COM - Komite Eksekutif Federasi Uskup Katolik Konferensi Oseania (Australia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Selandia Baru, CEPAC - seluruh Pasifik) saat ini bertemu di Auckland, Selandia Baru. Salah satu  pembahasan dan seruan dalam pertemuan tersebut adalah perdamaian dan dialog di Papua.

Dalam siaran pers yang dilansir oleh scoope.co.nz, sebuah media independen Selandia Baru, hari ini (14/08), Federasi menegaskan bahwa "sebagian besar Orang Asli Papua (OAP) menginginkan perdamaian," dan "berbagai kelompok dialog,  perjuangan dan kesaksian tentang koeksistensi damai, merupakan sumber harapan bagi semua orang." 

Baca Juga

Pernyataan tersebut ditandatangani oleh  Uskup Agung Sir John Cardinal Ribat MSC, presiden Federasi dan Uskup Agung Port Moresby, Papua Nugini. Selain itu ditandatangani pula oleh Uskup  Robert McGuckin, deputi presiden dan Uskup Toowoomba, Australia; Uskup Agung Michel Calvet SM, Uskup Agung Noumea, New Caledonia; Uskup Colin Campbell, Uskup Dunedin, Selandia Baru; Uskup Charles Drennan, Uskup Palmerston North, Selandia Baru; dan Uskup Vincent Long OFM Conv, Uskup Parramatta, Australia.

Lebih jauh, siaran pers itu menekankan bahwa para uskup tersebut memilih untuk tidak berkomentar soal aspirasi merdeka Papua. Dikatakan bahwa mereka "tidak mengajukan suatu pandangan terkait dengan kemerdekaan (Papua)." Alasannya, karena bila  agenda tentang Papua hanya berfokus pada soal aspirasi merdeka, dapat mengaburkan hal lain yang dianggap lebih penting. Dalam siaran pers itu dikatakan bahwa  "Saat pertanyaan ini (Papua merdeka) menjadi fokus tunggal, perhatian untuk menegakkan dan memperkuat institusi demokrasi lokal dapat diabaikan."

Oleh karena itu, Federasi lebih memilih untuk "menggemakan seruan untuk pendidikan berkualitas di Papua, untuk akses yang adil dan transparan terhadap pekerjaan, program pelatihan dan pekerjaan, untuk menghormati hak atas tanah, dan batas-batas yang jelas antara peran angkatan bersenjata dan kepolisian dan peran perdagangan."

Isu Papua bukan hal baru diangkat dalam pertemuan federasi ini, dan pernyataan kali ini terkesan lebih lunak daripada sebelumnya. Tahun lalu, dalam pertemuan di Port Moresby, mereka lebih tegas menyerukan pemerintah negara masing-masing untuk mendukung keinginan rakyat Papua berpartisipasi menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG).

Di atas masalah Papua, pertemuan para komite eksekutif itu berfokus pada pembahasan tentang perlunya memperhatikan laut sebagai sumber kehidupan masyarakat.

"Lautan milik kita bersama penuh dengan kehidupan dan kebaikan. Bagi banyak umat kita, laut adalah sumber nutrisi, rezeki dan penghidupan yang berharga. Dengan solidaritas dengan mereka, Mazmur 107 bergema di dalam hati kita: 'Mereka yang melakukan bisnis di perairan yang hebat, mereka melihat dunia Tuhan dan keajaiban-keajaibannya di kedalaman.'"

Dikatakan, Federasi sangat menyadari dampak perubahan iklim di negara-negara kepulauan dan sebagian dari uskup telah mengunjungi masyarakat dan mencatat penghancuran garis pantai yang mempengaruhinya. 

"Pada catatan yang lebih membahagiakan, kami berbesar hati untuk belajar dari oposisi yang sistematis dan terkoordinasi terhadap penambangan dasar laut yang mengubah dasar laut menjadi tahap penghancuran eksploitatif habitat laut."

Para uskup juga menekankan bahwa  "Ekonomi Biru" adalah upaya menegakkan sebuah model pembangunan yang menghormati kepentingan yang mendasar mengenai kelanggengan, sehingga jauh melampaui imbalan ekonomi jangka pendek yang dirasakan. 

Mereka menegaskan bahwa anggota parlemen dan gubernur setempat serta otoritas sipil lainnya memiliki kewajiban khusus untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial jangka panjang dan harus waspada dalam menjaga setiap usaha internasional untuk mengeksploitasi sumber daya bersama.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home