Loading...
BUDAYA
Penulis: Sabar Subekti 11:07 WIB | Selasa, 04 Maret 2025

Film”‘No Other Land”, Kolaborasi Israel-Palestina, Memenangkan Oscar Dokumenter Terbaik

Basel Adra, dari kiri, Rachel Szor, Hamdan Ballal, dan Yuval Abraham, pemenang penghargaan untuk film dokumenter terbaik untuk “No Other Land,” berpose di ruang pers di Oscar pada hari Minggu, 2 Maret 2025, di Dolby Theatre di Los Angeles. (Foto: Jordan Strauss/Invision/AP)

LOS ANGELES, SATUHARAPAN.COM-Film documenter berjudul “No Other Land,” kisah aktivis Palestina yang berjuang untuk melindungi komunitas mereka dari pembongkaran oleh militer Israel, memenangkan Oscar untuk film dokumenter terbaik pada hari Minggu (2/3).

Kolaborasi antara pembuat film Israel dan Palestina ini mengikuti aktivis Basel Adra saat ia menghadapi risiko penangkapan untuk mendokumentasikan penghancuran kampung halamannya di tepi selatan Tepi Barat, yang dirobohkan oleh tentara Israel untuk digunakan sebagai zona pelatihan militer.

Permohonan Adra tidak digubris sampai ia berteman dengan seorang jurnalis Yahudi Israel yang membantunya memperkuat ceritanya.

“Kami membuat film ini sebagai orang Palestina dan Israel karena, bersama-sama, suara kami lebih kuat,” kata jurnalis dan pembuat film Israel, Yuval Abraham. Ia menggunakan pidato penerimaannya untuk mengecam pemerintah negaranya atas apa yang disebutnya “penghancuran yang mengerikan di Gaza dan rakyatnya.” Dan ia mendesak Hamas untuk membebaskan semua sandera Israel.

“No Other Land” menjadi pesaing utama setelah sukses di sirkuit festival film. Namun, film ini tidak menemukan distributor Amerika Serikat setelah dipilih untuk didistribusikan di 24 negara. Untuk Oscar, film ini mengalahkan “Porcelain War,” “Sugarcane,” “Black Box Diaries” dan “Soundtrack to a Coup d’État.”

Film dokumenter ini difilmkan selama empat tahun antara tahun 2019 dan 2023, menyelesaikan produksi beberapa hari sebelum Hamas melancarkan serangan mematikan pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel yang memulai perang di Gaza.

Dalam film tersebut, Abraham terlibat dalam komunitas yang berjuang melawan penggusuran, tetapi ia menghadapi beberapa penolakan dari warga Palestina yang menunjukkan hak istimewanya sebagai warga negara Israel. Adra mengatakan ia tidak dapat meninggalkan Tepi Barat dan diperlakukan seperti penjahat, sementara Abraham dapat datang dan pergi dengan bebas.

"Ketika saya melihat Basel, saya melihat saudara saya, tetapi kami tidak setara," kata Abraham di atas panggung. "Kami hidup dalam rezim di mana saya bebas di bawah hukum sipil dan Basel berada di bawah hukum militer yang menghancurkan hidupnya. Ada jalan yang berbeda, solusi politik tanpa supremasi etnis, dengan hak-hak nasional bagi kedua rakyat kami."

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump "membantu menghalangi jalan ini," katanya.

Film tersebut sangat bergantung pada rekaman kamera video dari arsip pribadi Adra. Ia merekam tentara Israel yang menghancurkan sekolah desa dan mengisi sumur air dengan semen untuk mencegah orang-orang membangun kembali.

Warga di wilayah Masafer Yatta yang kecil dan terjal berkumpul setelah Adra merekam seorang tentara Israel yang menembak seorang pria setempat yang memprotes pembongkaran rumahnya. Pria itu menjadi lumpuh, dan ibunya berjuang untuk merawatnya sambil tinggal di sebuah gua.

“Sekitar dua bulan lalu, saya menjadi seorang ayah,” kata Adra pada hari Minggu (2/3). “Harapan saya kepada putri saya (adalah) bahwa dia tidak harus menjalani kehidupan yang sama seperti yang saya jalani sekarang, selalu takut pada pemukim baru, kekerasan, pembongkaran rumah, dan pemindahan paksa. Kami menyerukan kepada dunia untuk mengambil tindakan serius untuk menghentikan ketidakadilan.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home