Loading...
HAM
Penulis: Martahan Lumban Gaol 17:36 WIB | Jumat, 22 April 2016

Forcidas Adukan Sulitnya Bangun Gereja di Singkil ke Komnas HAM

Komisioner Komnas HAM, Imadadun Rahmat, saat menerima aduan sejumlah elemen masyarakat terkait kehidupan antarumat beragama di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, di Kantor Komnas HAM, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, hari Jumat (22/4). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah elemen masyarakat menyambangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, hari Jumat (22/4). Mereka mengadukan tiga poin terkait kehidupan antarumat beragama di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, pascaperistiwa pembakaran rumah ibadah Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Desa Dangguran, tanggal 13 Oktober 2015 silam.

Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas), Boas Tumangger, mengatakan, ketiga poin tersebut adalah ketidakadilan dalam proses hukum yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Aceh Singkil terhadap Hotma Uli Natanael Tumangger (Wahid Tumangger), dan kesulitan dalam proses pengurusan izin rumah ibadah juga diskriminasi di dunia pendidikan.

Terkait ketidakadilan dalam proses hukum Wahid Tumangger, Boas menyampaikan, pada hari Kamis (21/4) kemarin, PN Aceh Singkil telah menjatuhkan vonis enam tahun penjara. Padahal, selama proses persidangan, baik pihak kejaksaan dan kepolisian, tidak pernah menghadirkan satu alat bukti yang membuktikan Wahid Tumangger bersalah.

Wahid Tumangger ditetapkan menjadi tersangka kasus pembunuhan pada tanggal 18 Oktober 2015. Wahid dinyatakan telah melakukan penembakan pada empat orang, dimana salah satunya meninggal dunia, dalam bentrokan yang terjadi di Desa Dangguran tanggal 13 Oktober 2015.

“Majelis Hakim PN Aceh Singkil yang dipimpin oleh Hakim Ketua, As’as Rahim Lubis tidak mempertimbangkan blokade dan rentetan tembakan TNI yang membuat peristiwa bentrokan terjadi, sebelum terjadi pembakaran dan perusakan rumah ibadah GKPPD Desa Dangguran saat itu,” kata Boas di hadapan Komisioner Komnas HAM, Imadadun Rahmat, yang bertindak sebagai perwakilan penerima aduan.

Sulit Bangun Gereja

Selanjutnya, terkait kesulitan dalam proses pengurusan izin rumah ibadah, dia mengaku kecewa dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil yang tidak memberikan kepastian pemberian izin mendirikan gereja.

Menurutnya, pada tanggal (20/4) lalu, FKUB Aceh Singkil membatalkan 13 proses perizinan pembangunan gereja dan seluruh proses pengumpulan dokumen harus diulang dari awal kembali. Boas mengatakan, kebijakan FKUB dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil selalu berubah dari waktu ke waktu.

“FKUB dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil terus berubah kebijakannya dan mempersulit panitia pendirian rumah ibadah,” katanya.

Diskriminasi Pendidikan

Kemudian, diskriminasi dalam dunia pendidikan, Boas menyampaikan, seluruh peserta didik di Kabupaten Aceh Singkil, baik pemeluk agama Islam ataupun lainnya, dipaksa mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam.

Dia melanjutkan, pelajaran membaca tulisan bahasa Arab dan Alquran dijadikan salah satu syarat untuk kenaikan kelas atau lulus sekolah. Bahkan, menurutnya, sejak Indonesia merdeka, tidak ada guru pelajaran Pendidikan Agama Kristen di sekolah-sekolah Aceh Singkil.

“Hal itu bisa dibuktikan dari laporan hasil belajar atau ijazah siswa dan siswi yang bersekolah di Kabupaten Aceh Singkil,” ujar Boas.

Tuntutan

 Berangkat dari ketiga hal tersebut, Boas menyampaikan lima tuntutan kepada Komnas HAM.

Pertama, menuntut peradilan yang adil dan independen untuk Wahid Tumangger.

Kedua, menuntut Komisi Yudisial mengusut Majelis Hakim PN Aceh Singkil yang terlibat dalam proses pengadilan terhadap Wahid Tumangger secara tidak independen sehingga memberikan keputusan hukum yang tidak adil.

Ketiga, menuntut pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, melalu Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dapat memfasilitasi pemberian izin pendirian gereja di Kabupaten Aceh Singkil.

Keempat, menuntut Kementerian Agama dari tingkat pusat hingga Kabupaten Aceh Singkil menghapus kebijakan diskriminasi pendidikan agama di seluruh sekolah atau satuan pendidikan Aceh Singkil.

Terakhir, menuntut Kementerian Agama dari tingkat pusat hingga Kabupaten Aceh Singkil untuk menyediakan guru pelajaran agama non-Muslim untuk peserta didik yang tidak memeluk agama Islam di seluruh sekolah atau satuan pendidikan di Kabupaten Aceh Singkil.

Selain dari Forcidas, tokoh masyarakat Muslim Kecamatan Suro, Aceh Singkil, Ramli Manik dan perwakilan dari Posko Kemanusiaan Lintas Iman, Woro Wahyuningtyas, turut hadir dalam menyampaikan aduan ke Komnas HAM ini.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home