Loading...
RELIGI
Penulis: Sotyati 19:53 WIB | Rabu, 17 Januari 2018

Freddy Elbaiady Membangun Jembatan Islam-Kristen di Mesir

Dr Freddy Elbaiady. (Foto: albedaiah.com)

SATUHARAPAN.COM – Freddy Elbaiady adalah dokter Mesir berusia 46 tahun.  Melalui Salam Medical Center (SMC) di El-Qanatir, sebelah utara Kairo, ia membangun jembatan antara warga Kristen dan Muslim, yang berjalan dengan baik bahkan di saat krisis hingga kini.

Katja Dorothea Buck, ilmuwan yang menekuni ilmu politik dan agama, terutama kekristenan di Timur Tengah, menuliskan kisah tentang Elbaiady dan membagikannya di oikoumene.org.

Freddy Elbaiady bukan seorang dokter biasa. Ia mempunyai banyak profesi dan jabatan. Ia adalah ahli radiologi yang dihormati di Kairo, yang mengelola sebuah pusat kesehatan di kota asalnya, El-Qanatir. Ia juga anggota dewan gereja setempat, dan terlibat dalam pergumulan gereja Injili dalam kapasitasnya sebagai salah satu anggota Dewan Tertinggi Gereja-gereja Protestan di Mesir.

Publik lebih luas juga mengenal sosoknya. Pada tahun 2013, ia menerima tawaran untuk bergabung di parlemen ketika Ikhwanul Muslimin yang mendominasi parlemen pada waktu itu menawarinya, sebagai satu dari sedikit anggota Kristen.

Program berita TV acap mengundangnya untuk berdiskusi mengenai koeksistensi antaragama, peran gereja-gereja di Mesir dan politik pada umumnya. Tidak seorang pun meragukan ia memiliki pengaruh dan prestise. Tetapi, begitu pembicaraan mulai menyangkut kehidupan pribadinya, ia berubah menjadi orang yang pelit bicara.

Kantornya di Salam Medical Center (SMC) di El-Qanatir sangat sederhana. Bukan hanya dekorasinya, tetapi juga perabotannya. Tidak ada meja besar, tidak ada perabot kulit untuk menerima tamu. Freddy Elbaiady menerima tamu dan pengunjung di sebuah ruangan kecil. Di bagian belakang ada meja pemeriksaan untuk konsultasi.

Bagian depan sebagai kantornya? Hanya papan nama kayu di atas meja kecil yang mengungkapkan perannya sebagai pemimpin di tempat itu.

Elbaiady sendiri sebetulnya bekerja di sebuah rumah sakit swasta besar di Kairo. Di tempat itu ia memimpin departemen radiologi. Seusai bertugas di rumah sakit itu, ia melanjutkan bekerja di SMC sekitar pukul sore, hingga lewat tengah malam, bahkan sering sampai dini hari. “Saya masih bisa tidur nyenyak kok,” katanya.

Awal Kampung Halaman

Freddy Elbaiady mendirikan SMC pada usia 25 tahun. Ia mencari cara untuk memperkuat koeksistensi orang Kristen dan Muslim di kampung halamannya di El-Qanatir. Gereja Presbyterian setempat, tempat ayahnya, Dr Safwat Elbaiady, melayani sebagai pendeta pada saat itu, memberinya beberapa ruangan untuk mengawali kegiatannya.

Elbaiady mulai merawat pasien yang tidak memiliki uang untuk mendapatkan akses perawatan kesehatan yang layak. Ia juga meyakinkan rekan kerja untuk menjadi relawan beberapa jam saja di SMC, menyisihkan waktu seusai pekerjaan utama yang digaji.

Saat ini, 65 dokter merawat lebih dari 30.000 pasien setahun di SMC. Pusat kesehatan itu buka sepanjang waktu, tujuh hari seminggu. Ruangan juga telah diperluas, beberapa lantai, memiliki 12 tempat tidur, dua ruang operasi dan kamar lain untuk berbagai spesialisasi medis.

El-Qanatir adalah kota kecil berpenduduk 50.000 orang di utara Kairo. Di kota itu Sungai Nil terbelah menjadi dua, membangun delta subur. Di desa, hidup sekitar 400.000 orang lebih. Kehidupan di sana keras, umumnya bekerja di ladang.

Sebagian besar jalan tidak beraspal. Sampah menumpuk di saluran irigasi di pinggir jalan. Keledai dan gerobak kuda berlalu lalang di jalan, lebih banyak daripada mobil.

Di wilayah itu, sejauh mata memandang tampak pondok yang tak terhitung jumlahnya, dan rumah-rumah kecil dengan hanya sedikit jendela, bahkan kadang-kadang bagian atapnya. Keluarga dengan banyak anak sering berbagi satu atau dua ruangan. Mesir adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penduduk tercepat di dunia.

Banyak tantangan yang dihadapi orang-orang yang lahir di El-Qanatir dan wilayah yang seperti itu. Tidak banyak orang yang mampu menjangkau pendidikan berkualitas tinggi. Demikian juga, perawatan kesehatan sangat sulit diakses. Rumah sakit pemerintah memiliki dana sangat terbatas, dan karena itu menawarkan pilihan perawatan yang sangat terbatas. Sebaliknya, rumah sakit swasta menawarkan perawatan berkualitas tinggi, namun dengan biaya yang tidak terjangkau bahkan oleh 90 persen dari populasi nasional.

Pusat Kesehatan Perdamaian

SMC memberlakukan aturan berbeda. Setiap orang diperlakukan istimewa, tidak peduli ia sanggup membayar ataupun tidak. Banyak pasien bahkan tidak bisa membayar satu sen pun.

SMC mampu menutupi biaya operasional sehari-hari. Namun, untuk menutupi biaya konstruksi, perluasan dan program tambahan, SMC bergantung pada sumbangan. SMC bukan hanya pusat medis, kata Elbaiady. “Ini adalah Pusat Kesehatan Perdamaian, tempat di mana umat Kristen dan Muslim berkumpul. Kebanyakan pasien adalah Muslim, sama seperti 65 dokter. Mereka melayani orang miskin dengan komitmen. Visi pembangunan perdamaian antargama yang dipromosikan dengan baik telah mendapat dukungan internasional dari banyak organisasi internasional.”

Proporsi orang Kristen di sekitar El-Qanatir adalah lima persen, lebih rendah daripada rata-rata nasional yang sepuluh sampai 15 persen. Gereja Protestan di situ hanya gereja kecil, dengan hanya 40 anggota. Mereka beribadah di sebuah ruangan kecil yang sederhana di belakang klinik.

Jalan kecil menghubungkan tempat itu ke halaman sekolah yang berdekatan. Bagi Elbaiady itu adalah “rumahnya”. Di tempat itu ia dibesarkan, di tempat itu ia pergi ke sekolah. Kini ia adalah anggota dewan gereja setempat yang dipilih, yang terkadang naik mimbar, berkhotbah di ibadah utama di hari Minggu.

Memelihara Masa Depan

Pada saat itu, di gereja, sekelompok kecil orang muda sedang mempersiapkan materi sekolah Minggu berikutnya. Mereka menyapa Elbaiady dengan sangat akrab. Selama bertahun-tahun, ia memang sangat terlibat dalam aktivitas pelayanan remaja gereja. Belakangan ini, karena jadwalnya yang padat, ia terpaksa mengurangi komitmen, namun tetap menerima undangan untuk berbicara kepada kaum muda.

Ketika menjalani wajib militer, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk mengumpulkan lagu-lagu pujian untuk ibadah. Elbaiady menarik salah satu bundel dari rak buku dan menunjukkan hasil karyanya. Ia tersenyum memperlihatkan gambar yang ia temukan sangat pas untuk ilustrasi sebuah lagu. “Masih bisa digunakan. Menarik bukan?” katanya.

Gereja itu didirikan oleh misionaris Belanda, satu dari 18 denominasi Protestan di Mesir, yang diwakili dalam Dewan Tertinggi Gereja-gereja Protestan. Dewan itu menjadi kontak resmi bagi semua orang yang ingin berkonsultasi dengan gereja Protestan, yang dikenal secara lokal sebagai denominasi Injili Koptik: politisi, partai politik, otoritas, dan gereja lain.

Sebaliknya, dewan tersebut menyalurkan pertanyaan dari 18 gereja Protestan ke badan publik, di antaranya seperti permohonan untuk pembangunan gereja. Sampai dengan dua tahun yang lalu, ayah Freddy Elbaiady, Pendeta Dr Safwat Elbaiady, adalah presiden dewan itu. Kini, anak laki-lakinya, menjadi salah satu anggota dewan yang dipilih, yang berperan dalam pembuatan kebijakan gereja.

Dan, Freddy Elbaiady juga hadir dalam gelanggang perpolitikan nasional. Ia terkenal di El-Qanatir melalui pekerjaannya di SMC. Partai Demokrat Nasional - mantan partai Hosni Mubarak - menginginkannya bergabung. Elbaiady menerima. “Ini adalah kesempatan untuk membawa perspektif gereja ke masyarakat,” komentarnya saat itu.

Pada tahun 2012, ketika Ikhwanul Muslimin memenangkan sebagian besar kursi Parlemen, orang-orang Kristen menjadi semakin tidak nyaman. Presiden meminta agar berbagai kelompok, termasuk gereja Protestan, mengajukan kandidat untuk Senat. Orang-orang Protestan menyarankan Elbaiady, antara lain karena alasan, Presiden menunjuknya, dan dia menerimanya. Banyak yang tidak bisa memahami keputusannya. Bahkan teman baik menuduhnya memberikan kredibilitas yang murah bagi Ikhwanul Muslimin. Namun, ia menganggapnya sebagai cara untuk membuat suara kebanyakan orang Kristen dan suara oposisi lainnya terdengar. “Semua sesi dan dengan demikian semua keberatan terhadap proposal legislatif ditayangkan secara langsung,” katanya dengan nada serius.

Tidak lama Elbaiady berkarya sebagai anggota parlemen. Pada Juni 2013, Elbaiady berada di daftar 9 anggota parlemen pertama, yang secara terbuka mengundurkan diri sebagai protes atas pemerintahan Mohammed Morsi. Kondisi politik di Mesir memanas, muncul tuntutan Morsi turun dari jabatan.

Masih Terus Berbicara

Kini, Abdel Fattah al-Sisi memerintah negara itu. Elbaiady juga memberikan suara untuknya pada tahun 2014. Namun, ia secara pribadi merasakan adanya ganjalan. Presiden menempatkan batasan yang signifikan pada semua masyarakat sipil dan oposisi politik.

Elbaiady sekarang adalah anggota Dewan Tertinggi dan sekretaris jenderal, mewakili distrik utara Kairo, untuk Partai Sosial Demokratik Mesir, partai yang lebih mengupayakan kolaborasi dibanding konfrontasi. Meski begitu, salah satu pemimpin partai dipenjara karena unggahan sederhana di Facebook. Yang lain dicekal bepergian ke luar negeri.

Elbaiady mengurangi kehadirannya di televisi dan media social, namun tetap berbicara dengan berani mengenai isu-isu penting, terlepas dari risikonya. Istrinya menasihatinya untuk tidak mengomentari semuanya. Ia berpikir sangat disayangkan jika seseorang salah paham terhadap unggahan atau komentar, yang justru akan menghancurkan semua pekerjaan penting, dan jembatan yang telah dibangun antara Muslim dan Kristen selama 20 tahun terakhir.

Pada musim panas 2013, contohnya, menjadi jelas betapa kokoh jembatan itu. Marah karena jatuhnya Mohammed Morsi, para pengikutnya menyulut kerusuhan di kota-kota dan desa-desa di seluruh negeri. Mereka ingin membalas dendam kepada orang-orang yang mereka salahkan atas kejatuhan presiden – yakni orang-orang Kristen.

Elbaiady, yang telah menunjukkan “kartu merah” kepada Morsi, berada di urutan teratas daftar mereka, tentu bersama SMC. “Ketika kami mendengar beberapa kelompok dari desa-desa berbaris menuju El-Qanatir, pemuda Muslim di El-Qanatir justru datang dan membentuk benteng manusia di sekitar rumah sakit,” katanya, emosional.

“Saya menangis ketika melihat bahwa kami dilindungi oleh umat Islam. Pada saat itu saya tahu bahwa tidak ada satu menit pun yang diinvestasikan dengan sia-sia.” (oikoumene.org)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home