Loading...
OPINI
Penulis: Addi S. Patriabara 05:53 WIB | Senin, 11 Juni 2018

#GantiRaja

Seorang raja perlu didukung lewat masukan, saran, dan kritik yang konstruktif agar ia mampu menjalankan panggilan Tuhan sebagai pemimpin.

SATUHARAPAN.COM–Melihat sejarah Israel versi Alkitab, kita segera menemukan bahwa tidak semenjak semula bangsa Israel memiliki raja. Selepas menjadi bangsa, Israel pernah dipimpin oleh seorang hakim. Hakim adalah pemimpin agama dan politik. Pada saat kepemimpinan hakim itulah, umat Israel menghendaki keberadaan raja dalam sistem pemerintahan mereka. Tuntutan #GantiRaja—mengikuti bahasa kekinian—itulah yang menjadi awal kehadiran raja dalam pemerintahan Israel. Demikian yang dituliskan dalam 1 Samuel 8.

Permintaan #GantiRaja berangkat dari kenyataan adanya kepemimpinan yang tidak mampu memuaskan hati rakyat Israel. Hakim yang menggantikan Samuel ternyata mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan (1Sam. 8:3). Itulah sebabnya mereka berseru, ”Berikanlah kepada kami seorang raja untuk memerintah kami” (1 Sam. 8:6).

Tuntutan yang wajar. Mereka tentu menghendaki pemimpin yang mampu mengayomi mereka. Namun, ada persoalan yang tidak disadari rakyat dari tuntutan itu.

Pertama, mereka abai bahwa sistem pemerintahan yang selama ini telah mengayomi mereka sebagai bangsa adalah teokrasi: pemerintahan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri melalui para utusan-Nya. Itu berarti, jika para pemimpin-utusan Tuhan tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, maka Tuhan sendiri akan turun tangan.

Dalam tuturan Alkitab banyak pemimpin yang diturunkan Tuhan. Contohnya adalah Saul—raja pertama Israel—yang ditolak Tuhan karena ketidaksetiaan-Nya (lihat 1 Sam. 15). Tuntutan meminta raja dengan demikian adalah sebuah kudeta kepada Sang Pemimpin, Tuhan sendiri. Itulah yang dinyatakan juga oleh Tuhan, ”Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1 Sam. 8:6).

Secara tidak langsung, tuntutan #GantiRaja dapat dimaknai sebagai meredupnya kepercayaan umat Israel pada kepemimpinan Tuhan dalam hidup mereka. Sebab, dalam bahasa Paulus, tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Tuhan  (Rm. 13:1). Jika Tuhan mampu mengangkat pemimpin lewat cara yang dikehendaki-Nya, Ia juga mampu menurunkan pemimpin yang tidak dikehendaki-Nya.

Dalam alam modern, mekanisme pemilihan umum adalah salah satu cara menentukan kehendak Tuhan. Sebab, dalam adagium politik dikenal kalimat vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Kedua, keberadaaan raja pengganti hakim diharapkan mampu menyelesaikan persoalan bangsa Israel. Persoalannya: mana ada manusia yang bersih dari dosa dan pelanggaran? Dengan demikian, kehadiran seorang raja sebagai pengganti hakim tidak serta-merta mampu menyelesaikan persoalan mereka. Sebagai manusia, raja tetaplah manusia dengan segala kelemahannya.

Dalam teks dituturkan dengan jelas, siapa pun raja yang akan memerintah, mereka akan mengambil hak-hak rakyat (1 Sam 8:10-18). Kehadiran raja pengganti hakim tidak menjadi solusi bagi kehidupan bangsa Israel. Pengalaman mereka selanjutnya menunjukkan itu. Saul punya kekurangan. Daud juga punya kekurangan. Dan setiap kekurangan pasti menghasilkan kekecewaan dalam diri rakyatnya.

Justru karena itu, seorang raja perlu didukung lewat masukan, saran, dan kritik yang konstruktif agar ia mampu menjalankan panggilan Tuhan sebagai pemimpin. Dan #GantiRaja akan dilakukan Tuhan lewat cara-cara yang baik dan beradab.

Jadi mengapa harus terburu-buru seakan-akan Tuhan abai pada persoalan manusia?

 

Editor: Yoel M Indrasmoro

Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home