Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 02:41 WIB | Rabu, 27 Juli 2016

Gelar Budaya Yogyakarta Sajikan Sendratari dan Wayang Wong

Gelar Budaya Yogyakarta Sajikan Sendratari dan Wayang Wong
Pementasan Drama Tari Topeng Kilapawarna oleh penari dari Kasunanan Surakarta dalam Pentas Tari Catur Sagatra di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Selasa (26/7). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Gelar Budaya Yogyakarta Sajikan Sendratari dan Wayang Wong
Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwana X membuka Pentas Tari Catur Sagatra didampingi Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono, Selasa (26/7).
Gelar Budaya Yogyakarta Sajikan Sendratari dan Wayang Wong
KHP Krida Mardhawa Kasultanan Yogyakarta membawakan wayang wong gagrag Yogyakarta dengan lakon Begawan Ciptoning Mintaraga.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Selama dua hari (26-27 Juli 2016) Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta menggelar acara Gelar Budaya Yogyakarta 2016. Perhelatan pameran produk budaya dan pentas kesenian rakyat diselenggarakan di kawasan Taman Budaya Yogyakarta, sementara di Kraton Yogyakarta sebagai rangkaian acara yang tidak terpisah ditampilkan Pentas Tari Catur Sagatra selama dua malam berturut-turut.

Pentas Tari Catur Sagatra dibuka secara resmi oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwana X, Selasa (26/7) malam di Pagelaran Kraton Yogyakarta didampingi Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X dan Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono.

Pentas Tari Catur Sagatra menampilkan sendratari/beksan dari empat kraton Mataram. Pada Selasa (26/7) malam Kasultanan Yogyakarta menampilkan wayang wong gagrak Yogyakarta oleh Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridha Mardawa membawakan lakon Begawan Ciptoning Mintaraga dilanjutkan penampilan Drama Tari Topeng Kilapawarna oleh Kasunanan Surakarta.

Pada hari Rabu (27/7) Kadipaten Pura Mangkunegaran akan menampilkan Langendriyan Menakjingga Lena dilanjutkan penampilan Langen Beksan Rama Narpati dari Kadipaten Pura Pakualaman.

Langendriyan merupakan drama tari Jawa yang memfokuskan pada unsur tari dan unsur suara. Jika pementasan wayang orang/wong umumnya menggunakan dialog antawacana (percakapan biasa) dan kadang-kadang ada sedikit tembangnya, pada pementasan Langendriyan semua dialognya menggunakan tembang. Langendriyan di Surakarta pada mulanya tumbuh di Mangkunegaran pada zaman pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV (1853-1881).

Sementara beksan adalah tarian berpasangan yang berisi peperangan antara tokoh Ramayana dan Mahabharata. Beksan juga disebut Pethilan.

Wayang wong rasa Jogja dan Solo

Meskipun Yogyakarta dan Surakarta mengenal wayang orang/wong dalam pakem yang sama, namun ada beberapa perbedaan yang menjadi ciri khas keduanya. Ciri khas tersebut merupakan kembangan dalam pementasan tanpa keluar dari pakem yang ada. Dalam bahasa sederhana, masyarakat Yogyakarta lebih mengenal istilah wayang wong sementara di Solo lebih banyak digunakan istilah wayang orang.

Ditemui satuharapan.com di sela-sela pementasan Pentas Tari Catur Sagatra, Selasa (26/7) malam, Dimas Kusmahardhika penari dari Pusat Olah Seni Retno Aji Mataram menjelaskan beberapa ciri khas keduanya.

"Kalau secara fisik, wayang wong Yogyakarta itu (tariannya) cenderung tegas seperti kaku, ditekankan pada kekuatan gerak kaki sementara Solo lebih pada keindahan gerak. Lebih anggun dan kesannya glamour," jelas Dimas.

Dalam pementasan wayang orang gaya Solo banyak menekankan pada keindahan tari dilengkapi dengan tata panggung yang megah, dan kostum yang elegan. Penguasaan tari berikut improvisasi memegang peran penting dalam wayang orang gaya Solo sementara kostum dan panggung semakin menegaskan kemegahan pertunjukan wayang orang itu sendiri. Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang orang gaya Solo semisal Wayang Orang Sriwedari dalam format pertunjukan panggung yang lengkap terkesan megah dan glamour sementara wayang wong gagrag Yogyakarta tetap terkesan anggun meskipun dalam panggung yang sederhana.

"Untuk penggunaan dialog-dialek hampir sama, hanya yang gagrag Yogyakarta lebih banyak menggunakan krama inggil  campuran (bahasa) Kawi. Tapi yang paling gampang itu melihat intonasinya. Itu terlihat jelas sekali perbedaannya. Kalau gaya Solo menggunakan intonasi seperti wayang kulit," kata Dimas. Dalam hal penggunaan kostum Dimas menambahkan bahwa wayang wong gagrag Jogja lebih mengutamakan kulitan semisal di lengan, kalung, sementara Solo menggunakan baju untuk menambah kesan elegan.

Wayang wong gagrag Yogyakarta dicirikan dengan penggunaan bahasa bagongan (dialek Banyumasan), dalam tata panggung yang sederhana, namun lebih ditekankan pada penguasaan tari yang mumpuni menjadikan wayang wong gagrag Yogyakarta tetap anggun dipentaskan dimanapun, bahkan hanya di bawah pohon beringin sekalipun.

Baik wayang orang gaya Solo maupun wayang wong gagrag Yogyakarta keduanya menawarkan keindahan seni pertunjukan dengan ciri khasnya masing-masing. Dalam hal ini, rasalah yang lebih berperan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home