Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 13:22 WIB | Kamis, 27 September 2018

Gerabah Bayat dalam Pameran "Lahir Kembali, Lagi, dan Lagi"

Gerabah Bayat dalam Pameran "Lahir Kembali, Lagi, dan Lagi"
Karya gerabah dengan obyek peralatan makanan dan kap lampu gantung karya Sidik Purnomo dalam pameran "Lahir Kembali, Lagi, dan Lagi" di Kitasuka, Bangunjiwo, Kasihan-Bantul, 24 Agustus 2018. (Foto-foto: Buntari ceramic)
Gerabah Bayat dalam Pameran "Lahir Kembali, Lagi, dan Lagi"
Gerabah (pottery) dengan pewarnaan cat glazur karya Sidik Purnomo.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Seniman muda yang cukup produktif dalam melakukan eksperimen serta eksplorasi dalam karya keramik Sidik Purnomo, beberapa waktu lalu memamerkan karya eksperimennya di sebuah kedai yang baru dibuka Kitasuka di Bangunjiwo, Kasihan-Bantul. 

Pameran bertajuk "Lahir Kembali, Lagi, dan Lagi" berangkat dari hasil riset Sidik pada kerajinan gerabah di Bayat-Klaten, tepatnya di desa Pager Jurang. Karya yang dipamerkan mengambil obyek peralatan makan sehari-hari dalam bentuk gerabah (pottery) diantaranya gelas, mangkuk, piring, hingga kap lampu gantung.

"Jenis tanah di sana (Pager Jurang, Bayat) lebih banyak earthenware (tanah liat sedimen) yang selama ini hanya sampai 'batas' untuk pembuatan gerabah. Itu yang dikerjakan masyarakat hingga saat ini," kata Sidik dalam perbincangan saat ditemui satuharapan.com di Kebun Bibi, Selasa (25/9) malam.

Lebih lanjut Sidik menjelaskan bahwa earthenware masih memungkinkan untuk diolah tidak sekedar menjadi gerabah (pottery). Setidaknya ada tiga aspek eksperimen yang dilakukan Sidik menyangkut temperatur dalam tungku bakar di atas kebutuhan gerabah, pelapisan permukaan dengan menggunakan cat glazur, serta penggunaan teknik tradisional dengan alat putar miring.

Berbeda dengan stoneware atau tanah liat primer (residu) yang merupakan jenis tanah liat yang dihasilkan dari pelapukan batuan feldspatik, earthenware dikenal sebagai jenis badan tanah liat yang hanya mampu dibakar pada suhu rendah (900 oC–1180 oC).  Dalam rentang temperatur pembakaran tersebut produk yang dihasilkan adalah gerabah (pottery) semisal batubata, genteng, dan terracotta. Saat pembakaran berlangsung kotoran yang bersifat organik akan terbakar habis dan menyisakan bahan yang terikat secara kimiawi sehingga hasil akhirnya menjadi lebih berwarna gelap karena lebih banyak mengandung oksida besi (Fe). Produk gerabah asal Bayat mudah dikenali dari warnanya yang relatif lebih gelap dibanding gerabah-gerabah dari daerah lain.

"Dengan menaikkan temperatur pembakaran (sampai melewati batas tertinggi) saya berharap hasilnya bisa mendekati keramik serta bisa mengaplikasikan pelapisan permukaan dengan menggunakan cat glazur," jelas Sidik tentang eksperimennya.

Dalam eksperimen tungku bakarnya Sidik berhasil membuat obyek karya berbahan earthenware sekaligus mengaplikasi pelapisan permukaan dengan cat glazur pada obyek-obyek yang dibentuk secara berputar yakni gelas, cangkir/mug, piring, mangkuk, serta kap lampu gantung tanpa mengalami pelelehan saat dibakar melewati batas temperatur gerabah.

"Dalam hal penggunaan teknik tradisional menggunakan alat putar miring, ini sebenarnya menjadi salah satu ciri khas proses pembentukan karya gerabah di Pagerjurang. Dengan konstruksi yang miring, tanpa menggunakan besi, alat ini dulunya hanya digunakan oleh kaum perempuan dalam posisi duduk sementara alat putar berada di samping. Ini berbeda dengan alat putar datar yang berada di depan dan kerap 'memaksa' kaum perempuan berjongkok di depan alat putar datar," ujar Sidik.

Menurut Sidik ada satu kelebihan dari alat putar miring dalam hal presisi membuat barang-barang dalam bentuk berputar.

"Lebih presisi karena lebih mudah dikontrol mengingat jarak dan posisi obyek gerabah yang berputar miring memudahkan melihat seluruh sisi luar yang berputar mudah diamati dari samping atas," kata Sidik.

Teknik putar miring diyakini sebagai teknik tradisional tertua yang diperkirakan mulai  diperkenalkan pada masa Sunan Pandanaran di sekitar Bayat. Mayoritas pengrajin gerabah-keramik pada masa lalu di Pagerjurang adalah kaum perempuan yang menggunakan kain jarik dan kebaya. Dengan pakaian yang digunakan serta alasan kesopanan-estetika dibuatlah alat putar pengolahan bahan gerabah-keramik dengan posisi dimiringkan dan diletakkan di samping kaki pengayuh (foot wheel).

Awal tahun 1990-an Chitaru Kawasaki, peneliti asal Universitas Kyoto Seika-Jepang melakukan penelitian tentang alat putar miring yang ada di Pagerjurang. Meskipun dari hasil penelitiannya Kawasaki mampu memperbaiki kualitas produksi gerabah-keramik serta turut mendukung terbentuknya lembaga pendidikan menengah kejuruan khusus keramik, namun hasil penelitian tersebut tidak cukup kuat menarik minat generasi muda untuk mendalami kriya keramik di Pagerjurang maupun Bayat secara keseluruhan.

"Pada pameran kali ini saya mencoba membuka kembali ingatan-ingatan serta pencapaian yang pernah dilakukan pada seni gerabah-keramik di Pagerjurang dengan teknik tradisional yang khas dan bisa diandalkan presisinya, dengan potensi sumber daya earthenware melimpah yang bisa ditingkatkan kualitasnya, serta kemungkinan pengembangan desain maupun pasar yang terbuka cukup lebar. Dengan begitu karya gerabah (pottery) dari Pagerjurang bisa memiliki nilai tambah. Karya yang saya pamerkan kali ini sebagian besar sudah dibeli pecinta seni keramik," ujar Sidik.

Senada dengan Sidik, pendiri Galeri Benda Satya Bramantya dalam perbincangan dengan satuharapan.com beberapa waktu lalu melihat geliat seniman muda yang menggunakan kriya dengan berbagai medium (kayu, kawat, benang, tekstil, keramik) dalam 2-3 tahun terakhir ini mengalami geliat yang cukup menggembirakan. Banyak kreativitas serta ide-ide segar ditawarkan. Hal ini bisa dilihat dari mulai percaya dirinya seniman memamerkan karya dan konsep karya kriyanya di ruang-galeri seni maupun ruang publik. 

Sebutlah pameran "Reload" dan "Physis" di Pendhapa art space, pameran "Avant Garde" di Bale Banjar Sangkring, pameran "Tangan Mencintai Kain" di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), pameran "Remembrance" di Kebun Bibi, pameran "This is It" di Jogja Contemporary, pameran "Dissidence" di Studio Kalahan, pameran "Clay Say Hay" di Kersan art studio, pameran "Rooted in art: a Lasting Footprint" di GAIA Hotel, yang digelar tahun lalu, serta beberapa pameran diantara pameran "Jebule Akeh" di Galeri Lorong, pameran ">1000 0 C" di Pendhapa art space, pameran keramik "Air Mata Api" dan pameran "Pengilon" di BBY, pameran "To the Soul" di Ruang Dalam art house, pameran "Reracik" di Bale Banjar Sangkring, yang kesemuanya mengangkat karya-karya berbasis pada kerja craftmanship.

"Karya-karya yang berbasis pada kekuatan tangan (craftmanship) yang dilakukan oleh seniman-perupa muda hari ini, kedepannya akan menjadi penting dan akan mewarnai seni rupa di masa datang. Pasar cukup terbuka lebar, tinggal bagaimana seniman-perupa muda menggali kreativitas dalam karya-karyanya dengan konsep yang kuat," jelas Satya Bramantya

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home