Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 23:18 WIB | Sabtu, 02 Juli 2016

Gereja Australia Dukung Hak Rakyat Papua Tentukan Masa Depan

Ilustrasi. Umat Kristen Papua dalam sebuah arak-arakan bersama pendeta (Foto: uniting.world.org)

MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM - Presiden  persekutuan gereja-gereja terbesar ketiga di Australia menyerukan kepada jemaatnya untuk berdoa "bagi rakyat Papua, saudara-saudara  kita di dalam Kristus"  dan juga mendoakan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-TP) agar dapat memimpin mereka melalui masa sulit.

"Kami meminta jemaat di seluruh Australia untuk membawa mitra kita dalam doa saat mereka memimpin umat mereka menuju keadilan Allah dan rekonsiliasi," kata Stuart McMillan, presiden Uniting Church in Australia (UCA), sebagaimana diberitakan oleh unitingworld.org.au.

UCA adalah persekutuan gereja-gereja yang berdiri pada 22 Juni 1977. Pada saat itu, sebagian besar kongregasi Methodist Church of Australasia, the Presbyterian Church of Australia dan the Congregational Union of Australia bersatu dalam sebuah persekutuan.

Menurut Sensus Australia 2011, ada 1,065,796 jiwa yang terdaftar sebagai anggotanya, yang membuat UCA menjadi denominasi nomor tiga terbesar di Australia, setelah Gereja Katolik Roma dan Gereja Anglikan.

Pernyataan McMillan disampaikan menjawab surat yang dikirimkan oleh GKI-TP pada 14 Juni lalu. Dalam surat tersebut, Ketua Badan Pekerja Am GKI-TP, Alberth Yoku, meminta UCA mendoakan dan menyerukan permintaan untuk menolong rakyat Papua yang tengah menghadapi kesulitan, akibat meningginya tensi politik, tiadanya kebebasan berekspresi, konflik horizontal, pelanggaran HAM, monopoli sumber daya alam dan sejarah integrasi Papua ke NKRI yang dipertanyakan.

Dalam suratnya, Alberth Yoku mengatakan saat ini tidak ada lagi kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah. "Mengapa pemerintah memaksa rakyat Papua menerima rencananya untuk memecahkan persoalan Papua dengan cara mereka, dan mengabaikan harapan orang Papua itu sendiri?" tanya dia.

Alberth membeberkan ada empat persoalan yang dihadapi oleh rakyat Papua.

Pertama, kebebasan berekspresi.

Kedua, monopoli sumber daya alam.

Ketiga, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Keempat, perdebatan sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Keempat hal ini menyebabkan meningkatkan tensi politik dan konflik horizontal," tulis Alberth.

Persoalan kebebasan berekspresi, ia contohkan dengan fakta ditangkapnya lebih dari 2000 orang pada 2 Mei lalu ketika mereka berunjuk rasa secara damai.

Ia juga mencatat tentang dilarangnya pers asing meliput situasi di Papua.

Persoalan monopoli sumber daya alam, menurut Alberth, tampak dari penguasaan pertambangan di Papua oleh perusahaan-perusahaan asing.

Sedangkan pelanggaran HAM, kata dia, terungkap dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan, penyiksaan, pembunuhan secara sengaja, pemerkosaan bahkan penculikan.

Ada pun tentang perdebatan sejarah mengenai integrasi Papua ke dalam NKRI, menurut dia ialah tentang pertanyaan bagaimana mungkin hanya 1027 orang saja dari total penduduk Papua yang 700.000 orang pada tahun 1969, yang diberi kesempatan untuk membuat pilihan.

Saat ini, kata Alberth, pemerintah Indonesia tengah melakukan lobi ke dunia internasional untuk memberi keyakinan bahwa mereka tengah melakukan pendekatan untuk memecahkan persoalan Papua.

Menurut dia, pemerintah Indonesia berusaha untuk mencegah negara-negara tetangga menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan menekankan bahwa ini persoalan dalam negeri belaka.

"Pemerintah Indonesia menyalahkan keterlibatan internasional. Ketimbang bekerja dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang merupakan lembaga independen di Indonesia, pemerintah membentuk timnya sendiri untuk menginvestigasi pelanggaran HAM di Indonesia," kata Alberth.

Menurut Alberth, bagi rakyat Papua ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius menangani persoalan Papua dan hanya ingin memperbaiki citra di dunia internasional dan melindungi kepentingannya sendiri.

"Apa yang kami inginkan adalah dialog damai, dimana hak-hak kami dihargai dan dijadikan pertimbangan, sehingga kami dapat hidup di tanah kami," tulis Alberth.

Dalam suratnya, GKI-TP meminta agar diselenggarakan dialog antara Jakarta dengan Papua, pencabutan pembatasan media dan menghormati kebebasan berekspresi.

Menjawab hal itu, McMillan menyatakan keprihatinannya.

"UCA merayakan keragaman budaya Indonesia melalui kemitraan  kami yang luas dengan gereja-gereja Indonesia, dan keragaman itu telah memperkaya kehidupan UCA secara luas karena banyak orang Indonesia telah menemukan rumah mereka di UCA," kata McMillan.

"Namun, kami sangat terganggu dengan situasi di Papua seperti yang diungkapkan oleh gereja mitra kami."

"Kami mengungkapkan solidaritas dengan GKI-TP, pada pelayanannya dalam perdamaian dan rekonsiliasi, dan kepada seruannya agar semua rakyat Papua  diberikan suara yang efektif dalam menentukan masa depan mereka sendiri," kata McMillan.

Dalam sebuah surat balasan kepada Alberth Yoku, McMillan mengatakan niatnya untuk berkunjung ke Papua bertemu dngan Alberth. Ia juga menambahkan, permintaan GKI-TP agar UCA mengadakan kunjungan pastoral ke Papua, akan ditindaklanjuti.

Sementara itu Direktur Nasional untuk UnitingWorld, Rob Floyd mengatakan, UCA sangat menghargai keberanian dan komitmen gereja di Papua.

"GKI-TP memberikan pelayanan yang luar biasa di Papua, sering dalam situasi yang paling sulit," kata dia.

Menggemakan keprihatinan yang diangkat oleh GKI-TP, Floyd mengatakan, "Kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan semua pihak membuat komitmen untuk dialog damai, mengakhiri kekerasan dan menghormati kebebasan berekspresi."

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home