Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 09:16 WIB | Kamis, 06 Juni 2013

Gereja-gereja Mendorong Dialog Perdamaian Korea

Gereja-gereja Mendorong Dialog Perdamaian Korea
Konsultasi ekumenis di Tsuen Wan, Hong Kong (foto-foto: Trisno S. Sutanto)
Gereja-gereja Mendorong Dialog Perdamaian Korea
Sebagian peserta konsultasi ekumenis di Tsuen Wan
Gereja-gereja Mendorong Dialog Perdamaian Korea
Pdt. Dr. SAE Nababan (berdiri) membuka konsultasi ekumenis

HONG KONG, SATUHARAPAN.COM – Tanggal 27 Juli 2013 akan menjadi hari bersejarah bagi warga Korea. Pada tanggal itu, persis 60 tahun lalu, perang Korea berakhir dengan ditandatanganinya dokumen gencatan senjata di Panmunjeom.

Memang benar bahwa perang Korea sudah berakhir. Sekitar 5,1 juta jiwa rakyat Korea menjadi korban, entah mati atau terluka karena perang yang brutal itu, dan sekitar 10 juta orang terpisah dari keluarga mereka. Namun, sekalipun perang sudah berakhir, bukan berarti situasi damai sudah diraih. Perang Dingin ideologis antara dua kekuatan adidaya membelah semenanjung Korea menjadi dua negara yang saling bermusuhan.

Sejak itu, semenanjung Korea menjadi ajang konflik yang laten, dan terus bertahan sekalipun Perang Dingin sudah berakhir dengan runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1989. Malah, dalam lima-enam tahun terakhir, ketegangan di semenanjung itu meningkat tinggi.

Ketegangan baru ini menjadi salahsatu fokus diskusi Konsultasi Internasional mengenai Asia’s Human Security Challenge yang diselenggarakan Komisi Hubungan Internasional Dewan Gereja se-Dunia (DGD) dan Christian Conference of Asia (CCA) di Hong Kong, 3 – 6 Juni. Konsultasi tersebut diselenggarakan sebagai bagian dari persiapan Sidang Raya ke-X DGD di Busan, Korea Selatan, pada akhir Oktober nanti.

Sudah lama, kedua lembaga ekumenis gereja-gereja itu mendorong dialog perdamaian di semenanjung Korea—pertama kali lewat konsultasi di Tozanso tahun 1984. DGD kembali mengusahakan perjumpaan ekumenis antara gereja-gereja di Korea Selatan maupun Utara di Gilon, dan memulai “minggu doa untuk perdamaian dan reunifikasi semenanjung Korea”, seminggu sebelum peringatan 15 Agustus 1986, yakni hari di mana semenanjung Korea merdeka dari Jepang.

Gereja-gereja di Korea juga melakukan berbagai inisiatif untuk mewujudkan perdamaian dan reunifikasi negara mereka. Pada bulan Juni dan Oktober 1988, Dewan Gereja-gereja di Korea (NCCK) di Selatan dan Federasi Kristen Korea (KCF) di Utara berhasil menandatangani dokumen penting yang menjadi landasan dialog berikutnya. Akan tetapi semenanjung Korea tetap terbagi dua, dan ketegangan kedua negara akhir-akhir ini meningkat tajam yang dapat mengancam seluruh dunia. Apalagi ketika Korea Utara mengancam akan memulai perang nuklir baru (http://www.guardian.co.uk/world/2010/jul/24/north-korea-nuclear-war-threat).

Kenyataan pahit tersebut mendorong gereja-gereja di Korea khususnya untuk menegaskan bahwa kini saatnya perdamaian sepenuhnya ditegakkan dan mengakhiri warisan sistem Perang Dingin. “Kita harus membongkar sistem Perang Dingin di semenanjung Korea dan membangun sistem perdamaian yang teguh,” begitu ditegaskan wakil NCCK. “Semenanjung Korea harus menjadi zona damai yang bebas dari ancaman nuklir.”

Pdt. Dr. SAE Nababan, Presiden DGD yang hadir dalam konsultasi internasional itu, menegaskan kebutuhan gereja-gereja mengembangkan “teologi perdamaian” yang sejati. “Dan kita harus berani membongkar peran perusahaan-perusahaan raksasa yang selama ini memproduksi senjata nuklir,” katanya. “DGD harus mengeluarkan pernyataan tegas juga pada mereka, selain pada pemerintah Korea Selatan dan Utara.”

Akan tetapi, tampaknya jalan ke perdamaian dan reunifikasi masih panjang dan berliku. Bahkan dalam lingkungan gereja-gereja sendiri. Misalnya, dalam konsultasi internasional tersebut, wakil gereja-gereja Korea Utara tidak hadir. Mereka beralasan bahwa situasi di semenanjung Korea sudah sangat buruk dan dapat kapan saja memicu perang, sebagai akibat sanksi provokatif Amerika dan Korea Selatan, termasuk ancaman preemptive strike, terhadap peluncuran satelit Korea Utara Desember tahun lalu.

“Amerika dan Korea Selatan kini melakukan latihan perang nuklir bersama dalam skala besar selama 60 hari sejak 1 Maret 2013, yang melibatkan kekuatan-kekuatan nuklir untuk menyerang pihak Korea Utara,” tulis Ri Jong Ro, Direktur Masalah Internasional KCF kepada Dr. Matthew George, Direktur Masalah Internasional DGD. “Karena langkah itu, situasi paling buruk kini melingkupi semenanjung Korea, mengingat semua mekanisme untuk mempertahankan perdamaian telah dihancurkan dan dapat memicu perang kapan saja.”

Dalam surat yang sama, Ri Jong Ro juga memberitahu secara resmi bahwa KCF tidak akan menghadiri Sidang Raya ke-X DGD di Busan Oktober nanti. “Walau kami tidak dapat menghadiri Sidang Raya ke-X DGD karena langkah-langkah Amerika dan pemerintah Korea Selatan yang anti-Korea Utara, kami akan tetap mengupayakan kerjasama erat dengan DGD dan gereja-gereja lain untuk mencapai perdamaian dan reunifikasi semenanjung Korea,” tuturnya.

Agaknya benar, seperti dikatakan salahsatu peserta konsultasi, Dr. Jaejoung Lee dari Universitas Sungkonghoe, perdamaian sejati hanya dimungkinkan jika gereja-gereja sendiri memulai upaya pertobatan bersama. “Kini sudah saatnya kita menaruh senjata dan memulai dialog sesungguhnya sebagai sesama warga Korea,” ujarnya. “Tak ada  jaminan atau syarat apapun. Satu-satunya yang pasti hanyalah perdamaian.” 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home