Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 13:14 WIB | Jumat, 22 Juli 2016

Gereja Katolik Ingin Hapuskan UU Pekerja Anak di India

Ilustrasi: Sejumlah perempuan dan anak-anak perempuan bekerja di pertanian kentang di Lebanon, pada bulan November 2015. (Foto: Joerg Boethling / Alamy)

NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM – Berbagai pemimpin gereja dan aktivis di India menginginkan perubahan mendasar di India agar membuat peraturan dan undang-undang (UU) yang melarang dan memberi ganjaran berat bagi pihak yang melakukan eksploitasi terhadap anak, apalagi  mengangkat anak di bawah umur bekerja sebagai buruh.

Sekretaris kantor Konferensi Waligereja India, Jaison Vadassery, mengatakan sejauh ini gereja Katolik di India telah melakukan advokasi hal tersebut karena gereja memiliki keprihatinan peningkatan buruh anak di negara tersebut.

Majelis Tinggi India pada 19 Juli lalu mengesahkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Pekerja Anak. Dalam undang-undang tersebut berisi larangan dan peraturan tentang pekerja anak.

Larangan tegas yakni melarang mempekerjakan anak di bawah 14 tahun di segala bidang, dan hanya dalam bisnis keluarga.

RUU ini diharapkan disetujui melalui Majelis Rendah dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh presiden.

Sebelum ada undang-undang tersebut, anak yang berusia antara 15 sampai dengan 18 tahun dilarang bekerja di tempat yang memiliki risiko kematian tinggi seperti di pertambangan.

Saat ini hukum di India melarang mempekerjakan anak antara 15 dan 18 tahun dalam pekerjaan yang berbahaya dan memiliki risiko tinggi kematian seperti pertambangan, farmasi atau zat yang mudah terbakar.

Selain itu undang-undang ini melarang anak di bawah umur bekerja di rumah tangga atau restoran.

Bila ditemukan pelanggaran, maka gereja Katolik mengimbau denda harus dilaksanakan. Bila ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut maka akan dikenakan denda hingga lebih kurang 50.000 rupee atau setara Rp 9,87 juta.

Vadassery mengatakan undang-undang tersebut harus tegas dan dia mengimbau pemerintah harus memiliki pengawasan melekat agar setiap pemilik industri atau usaha sektor mikro mematuhi aturan tersebut.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Tenaga Kerja dan Perburuhan India, Bandaru Dattatreya, mengatakan pihaknya kesulitan mengubah budaya setempat yang mendarah daging, yakni kearifan lokal di India bahwa seusai sekolah setiap anak di negara tersebut wajib membantu pekerjaan orangtua di rumah. “Mengingat realitas sosial budaya di India,” kata Dattatreya.

Pemerintah memperkirakan sekitar 4,3 juta anak berusia antara lima dan 14 bekerja penuh waktu, terutama di bidang pertanian.

Aktivis dan pemenang nobel asal India, Kailash Satyarthi mengemukakan angka pekerja anak di India sebenarnya dapat diminimalisir dengan adanya perubahan mendasar dari undang-undang tersebut. Karena menurut Satyarthi anak-anak tidak boleh bekerja.  

Satyarthi mengemukakan penegakan peraturan atau undang-undang yang lemah terhadap anak-anak akan berdampak kepada ekonomi, sosial, hak asasi manusia dan kesejahteraan masyarakat di India.

“Politik di negara ini sering kali tidak bersahabat dengan anak-anak,” dia menambahkan.

Satyarthi mendirikan Bachpan Bachao Andolan, gerakan akar rumput terbesar di India untuk perlindungan anak. Ia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2014 untuk kampanye pada hak-hak anak. (ucanews.com)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home