Gerindra: Pengangkatan Kembali Ahok Melanggar UU
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai partainya menggulirkan hak angket terkait pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta ada dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1 dan ayat 3.
“Gerindra menduga ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1 dan ayat 3. Kita ingin menguji sebuah pelanggaran yang dilakukan pemerintah dalam hal ini, yang tidak memberhentikan Ahok sebagai gubernur," kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (13/2).
Selain adanya pelanggaran undang-undang, Fadli juga menyebut ada yurisprudensi kasus pemberhentian gubernur yang berstatus terdakwa.
Apalagi kata Fadli, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang pernah menyatakan akan memberhentikan Ahok.
“Terkait dengan janji Mendagri kepada media beberapa waktu itu, dia mengatakan 'akan memberhentikan kalau sudah masa cutinya'. Tapi kenyataannya tidak demikian. Saya kira ini yang menjadi masalah dan ini (usulan hak angket) akan segera kami tandatangani," kata dia.
Setelah penandatanganan oleh sejumlah anggota Fraksi Gerindra, kata Fadli akan berkomunikasi dengan sejumlah Fraksi lain. Sementara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto juga disebut tidak menghalangi usulan angket untuk mengusut 'Ahok Gate' ini.
“Pak Prabowo welcome dengan inisiatif ini,”kata dia.
Setelah memberi pernyataan pengantar, Fadli kemudian menandatangani kertas usulan pengajuan hak angket. Langkah Fadli kemudian diikuti anggota Fraksi Gerindra yang lain.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan agar lebih baik parlemen mengajukan interpelasi ketimbang mengajukan hak angket. Perlu ditanya terlebih dahulu mengapa pemerintah belum juga menonaktifkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
“Kalau saya, untuk kasus Ahok itu, saya lebih cenderung interpelasi. Jadi ditanya dulu," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (13/2).
Alasan mengapa dia lebih sepakat interpelasi, karena terlalu banyak norma baru yang dipakai pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam mengintepretasi penonaktifkan Ahok. Mendagri sebelumnya mengatakan bahwa kepala daerah baru akan diberhentikan sementara jika terkena operasi tangkap tangan atau ditahan. Dia juga pernah menyebut Ahok akan dinonaktifkan jika sudah ada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penistaan agama.
"Kemendagri terlalu banyak menggunakan interpretasi di luar kelaziman dari kita membaca teks-teks hukum," kata dia.
Karena itu, lebih baik dilakukan interpelasi agar Presiden Joko Widodo menjelaskannya secara langsung kepada DPR. Apalagi, interpelasi atau hak bertanya lebih mudah disepakati oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR.
"Karena penjelasan Kemendagri itu sebetulnya penjelasan presiden, tapi perlu jawaban resmi dari presiden yang dibaca di paripurna," kata dia.
Menurut Fahri jika presiden sudah memberi jawaban ke paripurna lalu jawabannya ditolak anggota, baru ditingkatkan ke level angket.
Selain itu, Fahri pun tidak menghalangi jika pada akhirnya sejumlah fraksi menghantarkan kasus ini langsung kepada hak angket.
“Kalau teman-teman anggap nggak perlu (interpelasi) karena jelas pelanggarannya, silakan saja ajukan hak angket," kata dia.
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...