Loading...
SMASH AYUB
Penulis: Ayub Yahya 08:51 WIB | Senin, 23 April 2018

Hak

ilustrasi Si Bungsu meminta harta bagiannya. (Foto: Istimewa)

SATUHARAPAN.COM - Dari kisah legendaris “Anak yang Hilang”, Si Bungsu datang kepada ayahnya dan berkata, “Bapak, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.”

 

Dan sang bapak memberikannya.

 

Sampai di sini tidak ada yang salah. Toh wajar orang menuntut haknya. Lalu di mana salahnya Si Bungsu?

 

Ini...

Pertama, ia hanya menuntut hak dan lupa pada kewajibannya. Ini sama dengan suami yang hanya menuntut istri ”tunduk”, tapi abai pada kewajibannya ”mengasihi” sang istri. Sama dengan sekelompok orang yang berdemo menuntut hak, tapi pada saat bersamaan melanggar hak orang lain (bikin macet, malak pedagang di pinggir jalan, dsb.).

 

Sikap demikian kerap menjadi pemicu rentetan masalah baru. Benar, bahwa kewajiban tanpa hak itu perbudakan. Tetapi, jangan salah, hak tanpa kewajiban juga penindasan. Hak dan kewajiban itu seumpama dua sisi pada satu mata uang yang sama; yang satu dan yang lain tidak boleh diabaikan.

 

Kedua, ia tidak mempergunakan haknya dengan benar dan bertanggung jawab. Setelah mendapatkan hartanya, ia pergi berfoya-foya memuaskan segala nafsunya, seperti kuda liar tanpa kekang.   

 

Dalam hidup manusia, ada tiga penyakit rohani yang mematikan: takabur, tamak, dan nafsu tak terkendali. Ketiganya bersumber pada ketidakmampuan mempergunakan hak dan kewajibannya secara benar dan bertanggung jawab. Lupa diri. Lupa sesama. Lupa Tuhan. Dan ujung-ujungnya lupa ingatan.

 

Jadi, seimbang dalam hak dan kewajiban, itulah yang terbaik!

 

Namun, di atas semua itu ada satu sikap yang jauh lebih luhur, yaitu ketika seseorang secara sadar dan rela melepaskan haknya demi orang lain yang lebih membutuhkan, atau demi kepentingan yang lebih besar. Jadi bukan karena nrimo atau apa boleh buat. Misalnya, seorang pemimpin yang rela melepaskan jabatannya demi kehidupan masyarakat yang lebih tenteram, tenang, dan harmonis.

 

Itu yang diteladankan oleh Junjungan kita, “Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” 

 

Editor: Tjhia Yen Nie

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home