Loading...
INSPIRASI
Penulis: Weinata Sairin 07:21 WIB | Rabu, 03 Agustus 2022

Hidup Bahagia Saat Terpaan Derita

Kunci Kebahagiaan: ”Happiness is not something ready made. It comes from your own actions.” (Dalai Lama)
Ilustrasi. Pixabay

SATUHARAPAN.COM - Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”bahagia” atau ”kebahagiaan” acap kita dengar. Pada acara pernikahan, para tamu senantiasa menyampaikan ucapan ”selamat menempuh hidup baru; semoga berbahagia” kepada kedua mempelai.

Tentu saja kata ”bahagia” memiliki definisi yang agak beragam. 

Ada orang yang memberi definisi atas kebahagiaan ketika ia telah dapat memenuhi kewajibannya kepada istri dan anak-anaknya secara penuh. Ia telah memberi nafkah bagi keluarga dengan berkecukupan. Ia telah menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan terbaik di kotanya. Saat itulah sebagai suami dan ayah ia merasakan kebahagiaan yang sempurna.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi banyak arti terhadap kata ”bahagia”. ”Bahagia” dimaknai sebagai ’keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)’; ’beruntung’; ’berbahagia’. 

Jadi, kebahagiaan dikaitkan dengan kesenangan, keberuntungan, ketenteraman hidup, kemujuran, kenikmatan, dan kepuasan. Namun, harus dicatat bahwa istilah ”bahagia” atau ”kebahagiaan” lebih banyak dipergunakan dalam konteks relasi lelaki dan perempuan, relasi suami-istri dalam institusi pernikahan. Itulah sebabnya orang berbicara tentang pernikahan yang bahagia atau rumah tangga yang bahagia. 

Ada perbedaan pemaknaan tentang ”bahagia” jika dilihat dari perspektif seorang pedagang, komposer, novelis, filsuf, politisi, dan psikolog. 

Menarik untuk menghayati resep seorang Goethe dalam mencapai kebahagiaan. Ia menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan minimal ada tiga hal yang perlu dilakukan.

Pertama, seorang harus cukup berdoa untuk mengakui segala dosa dan meninggalkan dosa. Kedua, cukup memiliki cinta agar dirinya tergerak untuk berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Ketiga, meyakini keberadaan Tuhan.

Seligman, seorang profesor psikologi, menyatakan tiga hal yang mesti dilakukan oleh seseorang untuk mengalami kebahagiaan. Pertama, have a pleasant life. Seseorang harus memiliki hidup yang menyenangkan.

Kedua, have a good life. Terlibatlah dalam pekerjaan, enjoy dalam pekerjaan. Ketiga, have a meaningful life (life of contribution). Hidup dalam semangat melayani, hidup yang bermakna.

Goethe dan Seligman membantu membuka horizon pemikiran dan cakrawala pandang kita untuk memahami makna kata ”bahagia” dan bagaimana mencapainya. ”Bahagia” memang sangat relatif. Seorang X menyatakan bahwa ia sudah berada pada tingkat berbahagia. Namun, seorang Y menyatakan bahwa pada tahap seperti itu ia belum mencapai kebahagiaan sejati. Bahagia memang sangat relatif. Walaupun demikian, tetap ada sebuah standar yang berlaku umum.

Apa yang dinyatakan Dalai Lama dalam pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini cukup menarik. Kebahagiaan itu bukan sebuah barang jadi, kata Dalai Lama.

Kebahagiaan itu datang dari tindakan kita sendiri, dari upaya kita sendiri. Kebahagiaan tidak jatuh dari langit. 

Marilah dengan doa dan kerja keras kita berusaha untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup. Bagi umat beragama, ukuran kebahagiaan kita terletak pada kesetiaan kita dalam menjalani perintah agama. Kita bahagia jika kita tetap berjalan pada jalan lurus, jalan yang telah tetapkan Tuhan.

Kebahagiaan tidak terletak pada uang, pada kepemilikan aset, pada istri yg tetap glowing walau sudah 70 tahun atau suami yang tetap gagah perkasa diusia 75 tahun.

Kebahagiaan itu lebih pada soal "perasaan". Sebab itu rasa bahagia mesti kita ciptakn dari perasaan kita. Perasaan cukup, tidak neko--neko tidak mencari yang takada hal itu membuat kita bahagia.

Bahagia itu cukup punya satu jangan berharap dua atau tiga. Mari kita ciptakan bahagia itu agar kita sehat dan panjang umur.

Selamat berjuang.

God bless Us!


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home