Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 07:54 WIB | Jumat, 20 Mei 2016

Hilmar Farid: Toleransi Saja Tidak Cukup!

Hilmar Farid menyampaikan pidato kunci dalam Pembukaan Sekolah Guru Kebinekaan, didampingi oleh Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru, Sabtu (14/5). (Foto: George Sicilia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Kadang orang berhenti hanya sampai tingkatan toleransi. Padahal toleransi saja tidak cukup, harus inklusif!”, ungkap Direktur Jenderal Kebudayaan - Kemendikbud, Hilmar Farid, saat memberikan pidato kunci di Pembukaan Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) di LBH Jakarta (14/5). SGK yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru ini mengambil tema, “Guru sebagai Rujukan Keragaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan”.  Kelas dua mingguan yang berlangsung selama 15 kali pertemuan hingga November nanti diikuti oleh 41 guru dari Jabodetabek dan sekitarnya.

Bagi Hilmar Farid, toleransi itu hanya sebatas mengakui perbedaan, “Kamu di sana, saya di sini, jangan dekat-dekat!”. Kalau sungguh-sungguh ingin menjadi rujukan dalam keragaman, kebangsaan dan kemanusiaan maka harus inklusif dan baginya itu berarti ada keterlibatan (engagement), usaha untuk saling merangkul sesama anak bangsa yang menunjukkan peran aktif mengelola keragaman. 

Di hadapan para guru, ia mengakui bahwa peran guru amat penting. Guru bukan sekadar sosok atau orang per orang, tetapi institusi yang berperan dalam pembentukan identitas masyarakat. Guru bersinggungan langsung dengan kelompok usia 6-18 tahun, masa krusial proses pembentukan identitas anak-anak. Walaupun demikian, banyak hal yang luput dari perhatian bersama dalam 20-30 tahun terakhir sehingga saat ini kerap terjadi pengerasan identitas yang sulit untuk dilunakkan. Hubungan manusia akhirnya diantarai oleh aturan dan hukum, karena ‘yang langsung’ cenderung tidak lagi operasional. Hal itu sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki potensi untuk membuka pergaulan sosial kultural yang sehat tanpa perlu diantarai.

Hilmar Farid juga menyampaikan beberapa tawaran terkait apa yang bisa disumbangkan oleh ‘Sejarah’ bagi pengembangan keragaman dan mengajak para guru untuk memberi perspektif keragaman yang inklusif pada sejarah yang kerap diajarkan di sekolah. Di antaranya memunculkan narasi sejarah lokal dalam konsep keterhubungan dan dinamika antarwilayah, memunculkan sejarah ‘yang tak terlihat’ untuk menumbuhkan empati. “Anda kaya secara pedagogik, sedangkan kami berlimpah bahan yang tidak tersosialisasikan. Rayakan lagi tonggak-tonggak sejarah nasional kita dengan perspektif keragaman. Dirjen Kebudayaan siap membantu Anda!”, demikian ia menutup pidatonya.

Walaupun penyelenggaraan SGK berangkat dari keprihatinan tentang situasi keragaman di sekolah, para guru yang terlibat menunjukkan reaksi positif untuk kembali menjadi rujukan keragaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana diungkap Febi Yonesta, Koordinator Program SGK, “Antusiasme guru mengikuti SGK menunjukkan masih adanya harapan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.” SGK juga merupakan bagian dari penyelenggaraan Pesta Pendidikan. [GS] 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home