Loading...
INSPIRASI
Penulis: Jose-Yusuf Marwoto 05:54 WIB | Rabu, 13 Mei 2020

@Home

Rumah adalah tempat yang tepat untuk memulihkan diri dari gempuran pandemi, fragmentasi, dan membangun visi dan identitas diri.
Di rumah (Elly Fairytale [pexels.com]

Sekian lama stay@home, rumah menjadi pergumulan gagasan yang relevan kita perbincangkan. Setelah beberapa bulan mengurung diri, masihkah rumah identik dengan syair-syair indah: ”There’s no place like home”. Ide-ide estetik tentang rumah muncul dalam syair-syair lagu seperti ”Take Me Home”, ”Country Road”, ”Sweet Home Alabama”, ”I’ll Be Home for Christmas”. Sederet lagu yang melukiskan rumah sebagai tempat yang layak dirindukan. Namun, saat akhir-akhir ini kita tidak ada pilihan lain, selain bertahan di dalam rumah, masih relevankah gagasan bahwa rumah adalah tempat terindah? Mengapa sebagian besar dari kita justru merasa bosan berada di dalam rumah? Ironis: Kita merasa bosan saat harus berada di tempat yang paling indah di muka bumi ini!

Rumah memang sebuah kata yang mengandung kekuatan magis. Di dalam kata rumah terlukis siratan kenyamanan, keselamatan, dan kehangatan. Sebuah buku yang ditulis oleh tiga perempuan—Carrie Gress, Noelle Mering, Megan Schrieber—berjudul Theology of Home: Finding The Eternal in the Everyday menampilkan sebuah refleksi, meskipun rumah adalah bangunan fisik tetapi bisa menjadi jembatan menuju pengalaman spiritual penghuninya. Rumah bisa menjadi sakramen, perjumpaan-perjumpaan dengan yang abadi melalui yang materi. Pemikiran anamnesis platonik memantik pemahaman bahwa rumah kita di dunia ini hanyalah gambaran sementara dari rumah abadi di alam keilahian. Rumah di bumi hanya bayang-bayang dari rumah sejati. Pada saatnya kita harus melawan gravitasi, menumbuhkan sayap agar bisa terbang ke rumah abadi itu.     

Rumah adalah kidung kerinduan. Orang-orang yang berada dalam diaspora senantiasa memendam bara rindunya di dalam dada untuk kembali ke rumahnya. Saya pernah diajak seorang anak jalanan untuk menengok ibunya yang sakit. Sesampai di tepi sungai yang membelah Jakarta, di atas seonggok batu, tampak seorang perempuan tua dengan wajah pucat. Inilah ibu si anak itu. ”Jangan di luar, banyak angin,” kata saya, ”kita masuk ke rumah saja.” Lalu dengan polos, anak jalanan itu berkata, ”Ini rumahku.” Rumah, tanpa atap, tanpa dinding, hanya seonggok batu. Mereka yang homeless pun punya konsep rumah.

Nostalgia akan rumah terekam begitu dalam, jauh di dalam tenunan jiwa setiap orang. Anak yang hilang, dalam perumpamaan Alkitab, memendam rindu untuk pulang. Kerinduan untuk pulang ke rumah, merasakan kehangatan dan bersekutu dalam rasa aman; itu ada di dalam setiap jiwa kita. Saat mendengar suara seruling yang terbuat dari bambu, hati Rumi menjerit, sebab ia bisa merasakan kerinduan seruling untuk bersekutu kembali dalam komunitasnya di rumpun-rumpun bambu. Kerinduan yang sama juga mengalir ke hati Odisseus dalam novel karya Homeros Odisseia dan Iliad. Setelah perang Troya, Odisseus harus menjalani perjalanan sepuluh tahun, sebelum akhirnya bisa menuntaskan kerinduannya untuk kembali ke rumahnya di Ithaka.

Rumah adalah sebuah teater besar, di mana drama tentang kehidupan dituturkan. Tempat dimana anak-anak manusia lahir, sebuah drama tentang kehidupan yang fana ini berlangsung hingga berkesudahan dalam kematian. Mungkin karena inilah, Socrates memilih untuk tidak meninggalkan rumahnya di Atena. Meskipun ia bisa saja melarikan diri dari rumah agar nyawanya selamat karena diancam penguasa terkait ajaran-ajarannya. Akan tetapi Socrates memilih tinggal di rumahnya sembari menjalani hukumannya; menenggak racun. Bagi Socrates, rumah bukan soal bangunan, tetapi soal pijakan yang menghubungkan yang fana dan abadi.

 

Rumah dalam Turbulensi Pandemi

 

Saat pandemi COVID-19 terjadi, rumah kembali menjadi pusat turbulensi gagasan. Saat ini hampir semua hal digerakkan dari rumah: stay@home economy. Bekerja dari Rumah. Belajar dari rumah. Belanja dari rumah. Berkumpul dari rumah. Nonton bioskop dari rumah. Ngrumpi dari rumah. Meeting dari rumah. Olahraga dari rumah. Semua bisnis melakukan shifting dan pivoting untuk menyelaraskan permintaan konsumen yang kebiasaannya berubah drastis; mengonsumsi semuanya dari rumah. Semua produk disulap agar mudah diakses secara daring, didistribusikan secara fleksibel agar bisa dinikmati dari rumah.

Rumah yang sebelumnya nyaman dan aman, bertransformasi menjadi penggerak ekonomi. Sebagian besar orang merasa justru lebih produktif bekerja dari rumah. Mereka bisa menyeimbangkan kerja (working), berkumpul keluarga (living), dan bermain (playing). Gagasan tentang kerja dari rumah, sesungguhnya bukan gagasan baru. Rekam jejaknya bisa ditelusuri dalam pandangan Aristoteles saat ia bicara tentang pentingnya hidup dalam keluarga atau komunitas.

Dalam bahasa Yunani dikenal dengan ”Oikos”, yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan ”Ekonomi.” Jadi gagasan ekonomi berasal dari keluarga dan komunitas. Oikos menjadi pijakan bahwa selain bekerja untuk bertahan hidup, orang-orang yang terlibat di dalamnya juga mengembangkan dirinya. Pertumbuhan bukan hanya soal untung-rugi, tetapi juga soal diri-pribadi. Oikos juga berhubungan dengan legacy, menyiapkan sesuatu yang besar untuk generasi yang akan datang. Oikos punya daya untuk mengendapkan visi yang jauh ke depan, bukan hanya soal hari ini dan saat ini. Jadi kalau saat ini Anda bekerja dari rumah, pikirkan dua prinsip bijak dari oikos ini! Apakah aku bertumbuh sebagai pribadi? Dan apakah aku berkontribusi untuk masa depan generasi yang akan datang?   

Karena ekonomi digerakkan dari rumah, maka sebuah karya tidak hanya dibungkus oleh nilai produktivitas, tetapi juga ditenun dengan nilai karitas. Semangatnya adalah cinta dan kehendak untuk melakukan yang terbaik bagi orang lain. Cinta inilah yang menyatukan seluruh anggota keluarga dalam rasa kebersamaan meskipun mereka berbeda temperamen, impian, keinginan dan tujuan. Cinta adalah perekat dari semua pembeda yang ada. ”Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol. 3:14). Pandemi akan membawa kita pada pengalaman akan rumah sebagai sumber energi kerja, energi cinta, yang memberi dampak berbeda.

 

Rumah dan Siapa Kita

Benar! Rumah akan memberi dampak yang berbeda terhadap diri kita. Martin Heidegger menulis banyak hal tentang ”dwelling”, yang secara etimologi berarti hasrat untuk kembali ke rumah. Karena rumah itu salah satu gagasan yang membangun eksistensi kita. Rumah adalah titik perjumpaan yang sangat penting dalam identitas kita sebagai manusia.

Kirsten Jacobson menulis bahwa rumah menenun identitas kita. Rumah menawarkan konsep ”familiarity and security.” Jadi saat seseorang mengalami ketidakharmonisan dengan konsep rumah, maka akan ada masalah dengan kejiwaannya; tentang rasa aman (secure) dan tidak aman (insecure).  Rumah menjadi ukuran kesehatan eksistensial kita. Gagasan ”homelessness” sudah sejak lama menjadi pusat diskusi filosofis dari beberapa filsuf dan novelis, seperti Thoreau, Marx, Kiekegaard, Nietzsche, Freud, Heidegger dan Kafka. Rumah merupakan perjumpaan antara rasa aman dan hasrat berpetualang, ketertutupan dan keterbukaan, perlindungan dan perjumpaan dengan yang asing. Setiap rumah, selain memiliki ruangan privat seperti kamar tidur yang menjadi simbol keamanan dan kenyamanan, juga menyiapkan ruang tamu sebagai simbol keterbukaan dengan sesuatu yang datang dari luar, perjumpaan dengan yang asing.

Rumah, selain ada pintu masuk, juga ada pintu keluar, simbol titik pulang dan titik berangkat, hasrat untuk kembali dan hasrat untuk pergi, kerinduan untuk pulang dan kerinduan untuk berpetualang. Dengan demikian, rumah sesungguhnya tempat yang dinamis, menyimpan energi perubahan dan transformasi. Di dalam rumah, selain safety dan security, juga ada energi disrupsi. Itu tercermin dari keberadaan ruang tamu, pintu yang terbuka yang selalu siap untuk menerima perubahan.

Saat pandemi seperti ini, ketika kita terjebak dalam rumah, sesungguhnya menjadi saat yang tepat untuk berkontemplasi tentang diri kita, rumah kita, dan kehidupan kita. Bagaimana pergumulan atas perubahan yang tidak pasti karena pandemi, gejolak disrupsi dan rejeksi bisa kita redam saat kita berlindung dalam rumah kita sendiri? Bagaimana kita harus merekonstruksi kembali gagasan tentang rumah untuk merespon kekhawatiran yang berlebihan? Jika dampak pandemi sulit kita prediksi, bagaimana kita bisa mendapatkan kembali kekuatan untuk kembali mengontrol diri?

Rumah adalah tempat yang tepat untuk memulihkan diri dari gempuran pandemi, fragmentasi, dan membangun visi dan identitas diri. Rumah adalah tempat yang tepat untuk memulihkan dan menyembuhkan kejiwaan dari tekanan kehidupan. Rumah adalah tempat yang tepat untuk merehabilitasi kepercayaan diri. Rumah akan selalu menjadi tempat perlindungan dari lawan. Dan benar: There’s no place like home!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home