Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 11:13 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

HRW: Hak Perempuan Arab Saudi Masih Dipasung

Ilustrasi. Perempuan Arab Saudi sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan di Riyadh, Arab Saudi. (Foto: AP)

BEIRUT, SATUHARAPAN.COM – Hasil penelitian terbaru kelompok hak asasi manusia mengatakan, sistem perwalian laki-laki di Arab Saudi, dimana mewajibkan perempuan harus mendapat persetujuan dari kerabat laki-laki dalam beraktifitas sehari-hari tetap menjadi hambatan utama dalam mewujudkan kesetaraan hak-hak perempuan di negara monarki tersebut meski telah muncul gerakan perubahan reformasi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Setiap perempuan di Kerajaan Arab Saudi tidak bisa bebas memutuskan apa yang diinginkannya, mereka harus mendapat izin atau persetujuan dari wali laki-lakinya. Misalkan jika ingin menikah, ke luar negeri, membuat paspor, mendapatkan perawatan kesehatan atau bahkan dibebaskan dari hukuman penjara, harus terlebih dulu mendapat izin dari dari walinya.

Berdasarkan laporan penelitian Human Rights Watch (HRW) berjudul “Boxed In: Women and Saudi Arabia’s Male Guardianship System,” yang dirilis pada hari Minggu (17/7), dijelaskan bahwa praktik perwalian tersebut secara formal dan informal terus diterapkan padahal Kerajaan tengah berusaha mengimplementasikan “Visi 2030” dan “Rencana Transformasi Nasional” untuk menghentikan negara itu dari ketergantungan pada minyak, dengan meningkatkan partisipasi perempuan pada angkatan kerja.

Laporan ini diterbitkan  tujuh bulan setelah perempuan Saudi untuk pertama kalinya diizinkan terlibat di pemilu lokal untuk dipilih dan memilih seperti wali kota.

Laporan ini juga menemukan bahwa meski peluang yang diberikan saat ini lebih besar kepada perempuan, namun tetap saja hal itu bergantung pada “kehendak baik” dari wali laki-lakinya seperti ayah, suami, saudara bahkan anaknya.

Seorang perempuan berusia 25 tahun bernama Zahra, di laporan itu menceritakan ayahnya sering memukulinya begitu parah hingga ia kehilangan penglihatan dan harus dibawa ke rumah sakit. Meskipun orang tuanya bercerai dan dia tinggal dengan ibunya, ayahnya tetap menjadi wali hukumnya.

Ayah Zahra menolak memberi izin dia belajar di luar negeri dengan beasiswa dan dia tidak bisa bepergian ke luar negeri untuk bekerja tanpa seizin ayahnya.

Dalam penelitiannya HRW mewawancarai 61 warga negara Saudi yang berada di dalam dan di luar Kerajaan selama sembilan bulan terakhir. Dalam laporan tersebut, semua nama yang diwawancarai disamarkan untuk alasan keamanan.

“Perwalian benar-benar menciptakan sebuah sistem matang untuk menyiksa,” kata penulis laporan itu, Kristine Beckerle dari HRW divisi Timur Tengah.

Dasar dari sistem hukum dan norma-norma sosial Arab Saudi adalah dari ideologi Islam ultrakonservatif yang dikenal luas sebagai Wahabisme. Ulama wahabi yang kuat di kerajaan mendukung ‘wali’ laki-laki berdasarkan ayat dalam Alquran yang menyatakan laki-laki adalah pelindung dan pengendali perempuan.

Ulama Islam lainnya berpendapat pengertian tersebut adalah salah dalam menafsirkan konsep Alquran yang mendasar seperti kesetaraan dan saling menghormati antara kedua jenis kelamin tersebut. Negara mayoritas Muslim lainnya, bahkan yang memiliki pengadilan Syariah, tidak memiliki aturan tentang perwalian laki-laki.

HRW mengatakan sistem di Arab Saudi efektif menjadikan perempuan dewasa sebagai anak di bawah umur secara hukum. Laporan itu juga mengutip kerajaan melarang perempuan mengemudi dan perbedaan perlakuan lain karena jenis kelaminnya.

Karena banyaknya aturan dan pembatasan informal, perempuan di Arab Saudi akhirnya tidak bisa membuat keputusan untuk diri mereka sendiri karena mereka khawatir jika wali atau ayah mereka tidak setuju. Hal ini mencakup pada penandatanganan sewa, mendapatkan pekerjaan, bepergian, belajar atau menikah, kata Beckerle.

Beberapa pembatasan karena perwalian telah dilonggarkan selama satu dekade terakhir, misalnya perempuan diberikan hak untuk bekerja tanpa izin laki-laki.

Di bawah rencana reformasi ekonomi yang digagas oleh kerajaan, perempuan didorong memasuki dunia kerja dan perusahaan akan diberikan insentif jika meningkatkan lapangan kerja bagi perempuan. Namun, hukuman tidak dikenakan kepada majikan yang menolak mempekerjakan perempuan tanpa izin dari kerabat laki-laki. Beberapa universitas juga memerlukan izin perwalian bagi perempuan yang mendaftar masuk perguruan tinggi.

Reformasi lainnya adalah hak memperoleh kartu identitas penduduk (KTP) tanpa izin laki-laki. Untuk memiliki KTP, seorang perempuan harus menunjukkan kartu keluarga yang dikeluarkan oleh wali. Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan instruksi yang memungkinkan perempuan bercerai atau janda dapat memperoleh kartu keluarga. Pelonggaran ini akan mempermudah mereka mendaftarkan anak-anaknya di sekolah.

Kemudian, ada pula sebuah undang-undang yang disahkan pada tahun 2013 yang mengkrimialisasi kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan dapat mencari perlindungan di tempat penampungan tanpa persetujuan dari wali laki-laki.

Namun, perempuan masih tidak bisa bepergian ke luar negeri dengan anak-anak mereka tanpa izin dari ayah, yang tetap menjadi wali anak-anak, dan perempuan tidak dapat memberikan restu kepada anak perempuan mereka untuk menikah.

Secara informal, rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta kadang-kadang masih memerlukan persetujuan wali laki-laki sebelum melakukan prosedur seperti C-section (operasi caesar). Meskipun tidak ketat, perempuan yang mendapat bea siswa belajar ke luar negeri harus disertai dengan persetujuan wali laki-laki dan narapidana perempuan harus diserahkan kepada wali laki-laki.

“Ada reformasi pada kebebasan yang pastinya akan memiliki dampak pada kehidupan perempuan. Tetapi pada umumnya mereka tidak bisa benar-benar bergerak tanpa persetujuan laki-laki yang menjadi wali mereka,” kata Beckerle. (AP/HRW)

 

Editor: Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home