HRW Menilai Tes Keperawanan Polwan Merendahkan Perempuan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tes keperawanan yang diberlakukan bagi perempuan yang akan melamar menjadi anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan kebijakan yang merendahkan perempuan. Demikian pernyataan Human Rights Watch (HRW), yang disiarkan hari ini (18/11).
Lembaga pemerhati hak asasi manusia itu menyatakan pihaknya telah mewawancarai sejumlah Polisi Wanita (Polwan) dan pelamar untuk Polwan di di enam kota di Indonesia yang telah menjalani tes. Dua dari mereka mengikuti tes pada tahun 2014. Semua perempuan menggambarkan tes tesebut menyakitkan dan membuat trauma. Masalah ini sempat diangkat dan dibicarakan dengan para pejabat Polri, yang pada saat itu mengklaim praktik tersebut telah dihentikan. Tetapi pada kenyataannya tes keperawanan tersebut masih terdaftar sebagai persyaratan bagi pelamar wanita, sebagaimana tercantum di website resmi Polri.
“Digunakanya 'tes keperawanan' di Polri adalah suatu praktik diskriminatif yang merugikan dan menghina perempuan," kata Nisha Varia, direktur pengamat perempuan di HRW. "Otoritas Kepolisian di Jakarta harus dengan tegas menghapuskan tes, dan kemudian memastikan bahwa semua instansi perekrutan polisi nasional berhenti menerapkan tes itu."
Antara Mei hingga Oktober 2014, HRW mewawancarai delapan Polwan dan mantan pelamar, serta dokter polisi, petugas perekrutan polisi, anggota Komisi Kepolisian Nasional, dan aktivis hak-hak perempuan. Wawancara dilakukan di Bandung, Jakarta, Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Medan. Semua yang telah menjalani tes mengatakan hal itu diterapkan pada semua perempuan yang melamar, bukan hanya pada mereka.
'Tes keperawanan' dilakukan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 5/2009 tentang Pemeriksaan Kesehatan (Pemeriksaan Kesehatan) Pedoman Calon Polisi. Pasal 36 dari peraturan tersebut menyatakan perempuan pelamar akademi polisi diharuskan menjalani pemeriksaan "obstetri dan ginekologi." Sementara peraturan tidak menentukan bahwa tes keperawanan merupakan bagian dari ujuan, dua polisi senior mengatakan kepada HRW bahwa tes tersebut telah lama dipraktikkan. Tes ini diberikan pada awal proses rekrutmen sebagai bagian dari pemeriksaan fisik pelamar.
Personil dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri melakukan tes terutama di rumah sakit Polri. HRW menemukan bahwa pemeriksaan dengan uji dua-jari yang selama ini banyak dianggap mendiskreditkan dan merendahkan perempuan, dilakukan untuk menentukan apakah selaput dara terperiksa masih utuh.
Sebuah memo yang dibuat pada tahun 2012 oleh sebuah organisasi internasional mengutip surat yang dibuat oleh seorang elit Polri yang menyatakan perlunya pemeriksaan selaput dara para pelamar Polwan. Namun Oktober lalu, salah seorang petinggi Polri, Sri Rumiati mengatakan kepada HRW bahwa pada tahun 2010, Polri telah setuju menghapuskan tes keperawanan tersebut. Namun ternyata tes tersebut saat ini masih tercantum sebagai bagian dari ujian yang diterapkan di Polri. (hrw.org)
Editor : Eben Ezer Siadari
Pancasila Jadi Penengah Konflik Intoleransi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Leonard Chrysostomos Epafras ...