Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 10:24 WIB | Rabu, 03 Februari 2016

Indonesia Kurang Pendekatan Kultural Hadapi Pelaku Radikalisme

Dari kiri ke kanan: Pemerhati Sosial Keagamaan, Nasir Abas, Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam Kementerian Agama Mahasin, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, Anggota Komisi VIII DPR RI Anim Mahrus, dan Kepala BNPT Saud Usman Nasution. (Foto: Prasasta Widiadi).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (Pol) Saud Usman Nasution mengemukakan bahwa saat ini Indonesia dalam menangani radikalisme kurang melakukan pendekatan kultural, karena pendekatan kemanusiaan secara otomatis tidak membicarakan tentang doktrin dan ideologi namun lebih membicarakan aktivitas sehari-hari yang sifatnya ringan.

“Penanganan narapidana terorisme itu tidak mudah, karena saat mereka di dalam penjara, kita jangan biarkan mereka seperti itu, karena ada beberapa pendekatan yang pernah kami lakukan salah satunya kami bekerja sama dengan psikolog Universitas Indonesia, waktu itu dengan  pak Sarlito Wirawan. Pak Sarlito bilang ke kami (BNPT, red) kita harus ada proses bagaimana untuk mendekati manusia seperti ini akhirnya kita melakukan pendekatan kultural,” kata Saud pada Dialog Deradikalisasi Menangkal Terorisme, hari Selasa (2/2) di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh I, Jakarta.    

Saud menjelaskan pendekatan tersebut bersifat kemanusiaan dan benar-benar mengerti isi kebutuhan hati dan batin mereka, proses tersebut, kata Saud, membutuhkan  paling tidak tiga sampai empat hari untuk tidur, makan, minum bersama-sama dengan narapidana terorisme, dan mengetahui semua tentang dia dari sisi keluargaanya

“Kita kurang melakukan ini dan tujuannya ini mudah yakni supaya kita bisa diakui, kita harus tahu persis bagaimana dia dan seperti apa dia dalam hubungan dengan tetangga di sekitar rumahnya dahulu,”  kata Saud.

“Pendekatan ini yang masih jarang dilakukan, tapi kita sekarang saya harapkan lebih banyak melakukan di  deradikalisasi,” kata Saud.  

Saud mengemukakan BNPT menggunakan metoda lain yakni  rehabilitasi, BNPT menerjunkan beberapa pemuka agama untuk diajak berdialog dalam rangka mencoba mengubah mindset tentang terorisme. “Kita coba terus tanyai dia siapa keluarganya, siapa kenalannya nah dalam proses ini kita datangkan ulama dari Timur Tengah. Kita mencoba berdialog, kita mau ketemu. Tapi mungkin yang paling sulit itu Baasyir (Abu Bakar Baasyir, red) karena kami datangkan ulama dari Yordania pun masih tidak mempan,” kata dia.

Saud mengemukakan BNPT menggunakan metoda lain yakni  reedukasi (pendidikan kembali). BNPT memberi pengertian bahwa dididik kembali artinya seorang narapidana terorisme dididik dia ada dan berguna bagi masyarakat bila saat bebas kelak.

“Karena setelah dia terbait dan melakukan bom bunuh diri pemikiran dia hanya di alam akhirat, dia tidak mau menghormat bendera, dan ajaran kita dianggap thogut (setan),” kata dia.

Dalam reedukasi, Saud menambahkan, BNPT bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mensosialisasikan makna Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Kita memberi wawasan kebangsaan, sama seperti Umar Patek (Narapidana Terorisme, red) sekarang dia (Umar Patek, red) berada di Porong (Sidoarjo, Jawa Timur), dia sudah mau menghormat bendera, ada juga lima napi terorisme lainnya yang mendapat wawasan lainnya,” kata dia.

Saud mengemukakan BNPT menggunakan metoda lain yakni  resosialisasi, tahap tersebut, kata Saud yakni bagaimana narapidana terorisme akan mendapat pekerjaan lain.

“Kalau dia (narapidana terorisme, red) sudah keluar dia akan kami berikan juga bantuan kesehatan,” kata dia.

Saud mengemukakan dalam kaitannya dengan kehidupan sosial yang ada di luar masyarakat, keluarga narapidana terorisme kerap mendapat stigma buruk di tengah masyarakat sehingga kesulitan untuk bergaul dan tidak memiliki kepercayaan diri secara sosial dan psikologis.

“Mereka (istri dan anak-anak narapidana terorisme, red) harus dirangkul, mereka sebenarnya adalah bagian dari masyarakat, hanya saja mereka berada dan berhubungan dengan orang yang salah. Terorisme lahir bukan karena ideologi, karena kalau kami (BNPT, red) lihat mereka lebih banyak yang pengangguran direkrut, dan kemudian dibaiat dengan mudah karena tidak ada lagi harapan,” kata dia.

 Saud menjelaskan pemerintah tidak dapat melakukan deradikalisasi tidak dapat dilakukan pemerintah saja karena  membutuhkan penanganan luar biasa untuk kejahatan yang, menurut Saud,  terkategorikan extraordinary crime.

“Mustahil, maka dibentuklah Undang Undang Terorisme, karena kalau pemerintah hanya fokus pada penanganan teroris dan korban saja maka tidak akan selesai, sehingga ya itu tadi, kita masih harus deradikalisasi,” kata dia.

Saud menjelaskan bahwa dalam deradikalisasi selama seorang narapidana terorisme masih  bersikap keras, maka diperlukan seorang yang paham betul dari “dalam” apa permasalahan radikalisme, sosok tersebut dia yakini ada dalam diri Nasir Abbas–Mantan  Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI)–namun dia berharap akan ada banyak “Nasir Abbas” lainnya yang kooperatif dengan pihak kepolisian dan keamanan di Indonesia.

“Selama teroris ini masih keras (berpendirian kuat dengan ideologi radikalisme, red), kita harus melakukan pendekatan yang berbeda, dengan mereka yang mudah dilunakkan (kooperatif dan bisa diajak bekerja sama dengan aparat keamanan, red),” Saud menambahkan.

Saud mengkhawatirkan apabila banyak narapidana terorisme dan yang sudah bebas dari penjara masih berideologi ‘keras’ maka akan sia-sia kerja BNPT,

“Pemahaman dia (narapidana terorisme ‘keras’, red) adalah berjihad dan masuk sorga pola pikir dia ada di alam akhirat, dan dia tidak mau bicara karena dia ingin mati, dan dia ingin masuk sorga sesuai dengan pemahaman dan amalan dia,” kata Saud.

Saud menjelaskan contoh lain dari narapidanan terorisme yang terkategori keras dicirikan dengan  tidak mau bergaul dengan narapidana lain, narapidana terorisme ini  tidak mau berubah dan berkomunikasi.

“Ada yg masuk  keras, tapi di dalam pepnjara dia mengalami kesadaran dan  saat keluar dia (narapidana terorisme, red) menjadi baik,” kata dia.

Saud menjelaskan bahwa di dalam penjara seharusnya ada pembelajaran, namun pembelajaran tersebut masih harus dikendalikan BNPT. “Ada sipir penjara di Palembang dan Bali yang malah jadi radikal karena terbaiat oleh narapidana kelompok radikalisme ini,” kata dia.

Anggaran Pemerintah

Saud menjelaskan saat ini BNPT hanya mendapatkan dana sebesar Rp 310 miliar dalam setahun. Jumlah itu termasuk untuk gaji seluruh personil BNPT dan biaya operasional.

Saud mengaku sudah menyampaikan keluhan ini kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bahwa BNPT membutuhkan kucuran dana lebih.

“Kami tidak ada menerima satu rupiah pun dari bantuan asing dalam rangka kegiatan deradikalisasi. Kami murni menggunakan APBN. Sedangkan biaya kami cuma Rp 310 miliar setahun," kata Saud.

Oleh karena keterbatasan anggaran itu, Saud mengaku banyak kegiatan yang tidak  bisa terlaksana. Idealnya, BNPT membutuhkan dana sekitar Rp 330 miliar dalam setahun yang sudah mencakup pelatihan dan modal usaha kepada para narapidana terorisme.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home