Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 12:11 WIB | Selasa, 10 Mei 2016

IPT 1965: Negara Sebaiknya Sensus dan Kembalikan Hak Korban 1965

Aktivis HAM untuk tragedi 1965, di gedung Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, hari Senin (9/5) (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Reza Muharam, Anggota Dewan Pengarah dari Pengadilan Internasional Peristiwa 1965 (International People’s Tribunal/IPT 1965), mengatakan dua hal utama yang harus dilakukan negara dalam merekonsiliasi tragedi 1965 adalah dengan sensus penduduk dan pengembalian hak korban.

Selain itu, menurutnya, sebelum berbicara mengenai rekonsiliasi, negara harus membentuk komite kebenaran.

“Sasarannya harus jelas dulu dan juga musti ada komite kebenaran supaya satu gelombang ketika berbicara tentang tragedi 1965,” katanya.

Sebenarnya, dikatakan oleh Reza, menghitung jumlah korban berdasarkan kuburan massal adalah hal yang sia-sia.

“Kalau memang tujuannya kuburan massal ini untuk mengecek jumlah korban, akan sia-sia, karena banyak sekali korban yang dibuang ke sungai. Ini bukan hanya pembantaian massal, tapi penghilangan secara massal,” ujar Reza.

Menurutnya, seandainya seluruh kuburan massal yang telah diketahui sampai saat ini dibongkar dan dihitung, jumlahnya tidak akan mencapai ratusan ribu.

“Metode yang paling tepat adalah dengan membandingkan atau mensensus jumlah penduduk sebelum tahun 1965 dan setelah 1966, karena peristiwa itu terjadi tahun 1965 hingga 1966. Itu metode demokratis atau kesejarahan yang paling bisa mendekati kebenaran,” ucap Reza.

Reza menambahkan, berdasarkan konsensus dari para sejarahwan Tragedi 1965 dan organisasi HAM internasional, estimasi jumlah korban adalah sebanyak satu juta orang.

“Bagi kami, biarpun misalnya jumlah korban tidak mencapai satu juta orang, jika itu dilakukan secara sistematis, ada pemberi komandonya, dan terjadi dimana-mana, maka itu bukti adanya kejahatan terhadap kemanusiaan. Jumlah korban tidak menjadi terlalu penting,” kata Reza.

Pada kesempatan itu, Reza menyebutkan bentuk-bentuk penyelesaian yang bisa dipilih oleh negara dalam kasus ini.

“Apakah dengan penyelesaian “abal-abal”, islah nasional (forgive and forget), atau mengakomodir empat hak korban, itu semua ada di tangan pemerintah,” tuturnya.

Namun, sebagai aktivis, Reza mengatakan dirinya lebih mendukung pemerintah untuk mengambil langkah yang mengakomodir dan mengembalikan hak korban.

“Saya sebagai aktivis HAM tentu saja lebih memilih cara yang terakhir, yaitu negara mengakomodir dan mengembalikan hak-hak mereka para korban,” ia menambahkan.

Empat Hak Korban Tragedi 1965 Menurut IPT 1965

  1. Hak atas kebenaran: keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarga berhak untuk mendapatkan keterangan dari negara dimana keberadaan anggota keluarga yang hilang. “Orang yang ditangkap juga berhak tahu alasan penangkapannya, tapi dalam faktanya, ada ratusan ribu orang yang di-PKI-kan ditangkap dan sebagian diasingkan di Pulau Buru tanpa mengetahui kesalahan mereka apa karena tidak melalui proses pengadilan,” kata Reza.
  2. Hak atas keadilan. Sebagai negara hukum, apabila terdapat pelanggaran hukum, harus diselesaikan secara hukum. Hal ini juga sudah tertuang dalam konstitusi RI. “Hasil temuan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) mengenai Tragedi 1965 harus ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan Agung. Sudah empat tahun ini tidak ditindaklanjuti, kita berhak tahu macetnya dimana,” ujar Reza.
  3. Hak rehabilitasi. Hal ini berupa pengembalian nama baik dan martabat,  serta pemberian kompensasi. “Jika rumah yang dirampas tentara tahun 1965-1966 harus ada ganti rugi atau dikembalikan. Hak korban dikembalikan seperti sebelum kejadian itu terjadi, kurang lebih seperti itu,” ucap Reza.
  4. Adanya jaminan negara bahwa kejadian serupa tidak terulang lagi. “Sebenarnya kampanye ganyang Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak boleh, tapi jika belum ada kebenaran yang terungkap, maka mereka masih punya ruang gerak untuk hate speech,” kata Reza.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home