Loading...
RELIGI
Penulis: Endang Saputra 13:37 WIB | Minggu, 31 Juli 2016

IPW: Polres Tanjungbalai Kurang Tanggap

Pembakaran vihara di Tanjungbalai.(Foto: pojoksatu.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane menilai Polres Tanjungbalai Sumatera Utara kurang tanggap terkait perusakan hingga pembakaran rumah ibadah umat Buddha.

“Kerusuhan ini dengan cepat meluas karena Polres Tanjungbalai kurang tanggap dengan situasi psikologis masyarakat setempat. Akibatnya amuk massa ini sempat membakar sejumlah bangunan, sepeda motor, dan mobil," kata Neta dalam siaran persnya yang diterima wartawan di Jakarta, hari Sabtu (30/7).

Menurut Neta kerusuhan berbau suku, agama dan ras antargolongan (SARA) di Tanjungbalai ini  harus segera diantisipasi dan dikendalikan Polri.

“Jika tidak, dikhawatirkan kerusuhan ini akan meluas, mengingat kawasan pantai timur Sumatera Utara itu sangat rentan dengan amuk massa dan konflik SARA," kata dia.

Neta mengatakan belajar dari kasus amuk SARA di Tanjungbalai sudah saatnya Mabes Polri dalam menunjuk Kapolda dan Kapolres harus memilih figur-figur yang peduli dengan kondisi psikologis massa.

“Sehingga mereka mampu membuat pemetaan tentang psikologis masyarakat dan memetakan daerah rawan kriminal maupun rawan konflik SARA. Tanjungbalai sendiri tergolong sebagai daerah rawan konflik. Hal ini terjadi akibat kurang pedulinya jajaran aparat keamanan terhadap situasi sosial, bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya," kata dia.

Di Tanjungbalai misalnya, kata Neta pada 27 Mei 1998 warga keturunan Tionghoa menjadi korban amuk massa. Sebab, selama ini warga Tanjungbalai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan Tionghoa.

“Abie yang dekat dengan pimpinan parpol di Jakarta ini bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran, dan jajaran kepolisian membiarkannya," kata dia.

Sehingga sang mafioso, kata Neta makin bertindak semena-mena hingga membuat rakyat Tanjungbalai kesal dan mengamuk.

“Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga. Begitu juga gedung DPRD dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dianggap sebagai backing mafia. Massa juga menjarah toko toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota," kata dia.

Jauh sebelumnya, kata Neta pada tanggal 3 Maret 1946 Tanjungbalai, Asahan juga pernah dilanda amuk massa. Puluhan orang tewas. Korbannya adalah keluarga Kesultanan Asahan dan warga keturunan Tionghoa.

Kerusuhan di Tanjungbalai kemudian menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat. Sejarah panjang amuk massa ini harus jadi pembelajaran Polri. Artinya, jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafioso berkembang, sehingga warga tidak tertekan dan nekat melakukan amuk massa berbau SARA, seperti yang terjadi di Tanjungbalai," kata dia.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home