Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 15:26 WIB | Senin, 05 Desember 2022

Iran Bubarkan Polisi Moralitas, Sebagian Warga Skeptis

Pengumuman itu buntut dua bulan protes kewajiban mengenakan hijab bagi perempuan. Namun suara protes telah mengarah pada jatuhnya rezim.
Seorang demonstran memegang tanda selama protes di depan kedutaan Iran di Madrid, pada 28 September 2022 setelah kematian seorang perempuan Iran setelah penangkapannya oleh polisi moral negara di Teheran. (Foto: dok. AFP)

TEHERAN, SATUHARAPAN.COM-Iran telah membubarkan polisi moralitasnya setelah lebih dari dua bulan protes yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini karena diduga melanggar aturan ketat berpakaian bagi perempuan di negara itu, menurut media lokal mengatakan hari Minggu (4/12) mengutip seorang pejabat.

Namun, televisi pemerintah kemudian membantah klaim bahwa polisi moral telah dibubarkan.

Protes yang dipimpin perempuan, diberi label "kerusuhan" oleh pihak berwenang, telah melanda Iran sejak warga Iran berusia 22 tahun asal Kurdi meninggal pada 16 September, tiga hari setelah penangkapannya oleh polisi moralitas di Teheran.

"Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan" dan telah dihapuskan, kata Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri seperti dikutip oleh kantor berita ISNA.

Komentarnya muncul di sebuah konferensi agama di mana dia menanggapi seorang peserta yang bertanya “mengapa polisi moralitas dibubar,” kata laporan itu.

Polisi moralitas, yang secara resmi dikenal sebagai Gasht-e Ershad atau “Patroli Bimbingan”, didirikan di bawah presiden garis keras Mahmoud Ahmadinejad, untuk “menyebarkan budaya kesopanan dan pakaian hijab,” kewajiban menutup kepala bagi perempuan. Unit itu mulai berpatroli pada tahun 2006.

Pengumuman pembubaran mereka datang sehari setelah Montazeri mengatakan bahwa "baik parlemen maupun pengadilan sedang bekerja apakah undang-undang yang mewajibkan perempuan untuk menutupi kepala mereka perlu diubah.”

Presiden Ebrahim Raisi mengatakan dalam komentar yang disiarkan televisi pada hari Sabtu (3/12) bahwa republic Islam Iran secara konstitusional mengakar “tetapi ada metode penerapan konstitusi yang bisa fleksibel.”

Jilbab menjadi wajib empat tahun setelah revolusi 1979 yang menggulingkan monarki yang didukung Amerika Serikat dan mendirikan Republik Islam Iran.

Polisi moralitas awalnya mengeluarkan peringatan sebelum mulai menindak dan menangkap perempuan 15 tahun lalu.

Wakil regu biasanya terdiri dari pria berseragam hijau dan perempuan yang mengenakan cadar hitam, pakaian yang menutupi kepala dan tubuh bagian atas.

Peran unit berkembang, tetapi selalu kontroversial bahkan di antara kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden.

Norma pakaian berangsur-angsur berubah, terutama di bawah mantan presiden moderat Hassan Rouhani, ketika melihat perempuan dengan jeans ketat dengan jilbab longgar berwarna-warni menjadi hal yang biasa. Namun pada Juli tahun ini penggantinya, Raisi yang ultra-konservatif, menyerukan mobilisasi “semua lembaga negara untuk menegakkan hukum jilbab.”

Raisi pada saat itu menuduh bahwa “musuh Iran dan Islam telah menargetkan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat dengan menyebarkan korupsi.”

Meskipun demikian, banyak perempuan yang terus melanggar aturan, membiarkan jilbab mereka jatuh ke bahu atau mengenakan celana ketat, terutama di kota besar dan kecil.

Berita tentang pembubaran polisi moralitas Iran diragukan warga Iran di Irak. Mereka menyatakan skeptis terhadap laporan hari Minggu.  Hal itu juga mendapat sedikit perhatian di Kurdistan Irak, di mana kelompok oposisi Iran akhir-akhir ini menjadi sasaran serangan rudal dan pesawat tak berawak lintas batas oleh rezim.

“Slogan pengunjuk rasa bukanlah bahwa polisi moralitas harus dibubarkan,” kata Nachmil Abdi, yang bekerja di toko sepatu perempuan

“Ya, salah satu tuntutannya adalah diakhirinya kewajiban berjilbab,” imbuhnya. “Tapi tuntutan sebenarnya adalah penghapusan rezim.”

Soma Hakimzada, seorang jurnalis berusia 32 tahun yang lahir di Kurdistan Irak dari orang tua yang melarikan diri dari Iran, juga memandang langkah tersebut dengan samar.

“Saya kira perempuan tidak menghargai pengumuman Iran ini,” katanya, menambahkan bahwa dia berharap hal itu tidak akan menyurutkan semangat protes di dalam republik Islam tersebut. (AFP/Al Arabiya)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home