Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 18:58 WIB | Jumat, 31 Maret 2017

Jangan Gunakan Agama untuk Diskriminasi

Ilustrasi. LGBT. (Foto: Getty Images)

TEXAS, SATUHARAPAN.COM – Anggota parlemen di Texas setidaknya telah mengajukan 25 rancangan undang-undang yang mempromosikan diskrimiasi terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Seorang rabi Yahudi, Hillel, menilai apa yang dilakukan anggota parlemen Texas adalah kesalahan.

“Ini memecah belah, rancangan undang-undang kejam yang mengkhianati kesetaraan terhadap banyak agama, yang kita temukan dalam kitab Imamat 19:18 dan diulangi dalam Markus 12: 31, yang berbunyi: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” kata dia seperti yang dilansir dari mysanantonio.com pada hari Jumat (31/3).

Menurut dia, nats tersebut mengajarkan kebencian tidak seharusnya dilakukan terhadap sesamanya. Ajaran tersebut, adalah seperti aturan emas yang sederhana: Kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.

Namun, dari semua rancangan undang-undang kebencian yang telah diajukan, rancangan undang-undang yang paling mengganggu, salah satunya adalah memungkinkan pejabat pemerintah, individu dan pebisnis untuk menggunakan agama sebagai pembenaran melakukan diskriminasi terhadap kaum LGBT di hampir setiap aspek kehidupan mereka.

Rancangan undang-undang ini mengizinkan perlakuan yang tidak sama di bawah hukum, misalnya seorang mahasiswa gay mencari layanan konseling atau pekerjaan; atau pasangan sesama jenis yang mencari pelayanan untuk menikah  atau mencari rumah untuk membesarkan anak angkatnya atau orang transgender yang membutuhkan perawatan medis dasar atau mencoba untuk menyewa apartemen.

Kebebasan beragama, kata dia adalah salah satu hak paling mendasar kita sebagai warga Amerika. Tapi kita, lanjut dia, sebagai pemimpin agama, akan memandangnya sebagai suatu masalah ketika kita melihat politisi mencoba untuk mendefinisikan kembali bahwa kebebasan artinya berhak untuk menyakiti orang yang berbeda dengan kita.

Kebebasan beragama artinya bukan berhak untuk memaksakan keyakinan kita pada orang lain. Juga bukan berarti menolak untuk mematuhi hukum pada apa yang disebut “prinsip agama”. Dan hal itu tentu bukan berarti berhak untuk menyakiti orang karena kita tidak suka mereka atau tersinggung dengan latar belakang mereka.

“Itu artinya diskiriminasi, bukan kebebasan beragama,” kata dia.

Misalnya, lanjut dia, beberapa orang menggunakan agama untuk membenarkan diskriminasi terhadap orang Yahudi, orang Afrika-Amerika dll dalam sejarah negara AS. Di beberapa kota di negara bagian Texas, masih terlihat tanda warna-warni di sisi-sisi bangunan bersejarah. Tanda-tanda itu mengingatkan kita akan masa lalu yang berat ketika Afrika-Amerika dikhususkan atau dengan kata lain terpinggirkan dan dibenci karena hukum sanksi ‘terpisah tapi sama’.

Ketika Pdt. Martin Luther King Jr protes, dia tidak sendiri. Beberapa dari Kristen awam, komunitas Yahudi dan Muslim bergabung dengannya. Mereka datang untuk mendukung pihak yang terdiskriminasi, berbaris dan maju bersama.

Sekarang beberapa orang di legislatif akan menyeret mundur sejarah itu dengan menyatakan bahwa ada kalangan lain yang harus terpinggirkan.

“Apakah kita tidak belajar bahwa ketika kebebasan satu kelompok dibatasi, kita semua yang akan mendapatkan konsekuensinya?”

Jika salah satu rancangan undang-undang tersebut menjadi sah di mata hukum, banyak pihak akan memiliki izin untuk memegang keyakinan agama mereka sebagai senjata dan memaksakan sendiri bentuk hukuman moral kepada siapapun yang tak sejalan dengan pemikiran mereka.

Hillel berpendapat ini adalah fundamental yang salah dan bertentangan dengan nilai-nilai sebagai orang Amerika dan sebagai orang beriman.

Kami, pemuka agama berkewajiban untuk melindungi pihak yang lemah dan rentan. Kita dipanggil untuk memperlakukan setiap orang yang kita temui bahwa mereka juga diciptakan seturut gambaranNya.

Penyair dan penulis Afrika-Amerika, Audre Lorde menyatakan: “Saya tidak merasa bebas ketika ada perempuan yang masih terbelenggu, bahkan ketika belenggunya sangat berbeda dari saya sendiri.”

Menurutnya sudah saatnya bagi mereka yang akan membelenggu kaum LGBT untuk mengingat bahwa Tuhan yang mereka sembah ada untuk melayani dan mencintai umatNya di atas segalanya. (mysanantonio.com)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home