Loading...
OPINI
Penulis: Martin Lukito Sinaga 09:01 WIB | Sabtu, 01 Agustus 2020

Jejak Kristus dalam “Prologue” Sapardi Djoko Damono

Martin Lukito Sinaga. (Foto: dok. Ist)

 

SATUHARAPAN.COM-Para penyair besar Indonesia tampaknya tak bisa mengabaikan nama Kristus dan peristiwa di seputar hidup-Nya dalam puisi-puisi mereka. Chairil Anwar misalnya menulis puisi “Isa” (1943) yang menuturkan peristiwa penyaliban Kristus. Tergambar momen dramatik, dengan tubuh luka yang mengucur darah. WS Rendra malah telah sedemikian masuk dalam sosok Kristus sendiri, dan sejumlah puisinya secara khusus mendalami momen puitik penyaliban dan perenungan diri Kristus yang pedih itu.

Penyair lainnya, Subagio Sastrowardoyo (1989) dalam puisi “Paskah di Kentucky Fried Chicken” mengisahkan kepiluan akibat kelaparan. Seolah Kristus tak rela saat melihat kontras kehidupan dari restoran itu; Ia lantas merelakan tubuh-Nya dimakan oleh orang miskin, sembari ikut bersama mereka mengulang teriakan saat di salib karena merasa ditinggalkan Bapa-Nya, “eli, eli, lama sabahktani”. Kepiluan lainnya juga muncul dalam puisinya berjudul “Afrika Selatan” (1971), dan di sini perasaan pilu itu berbentuk ironi atas sosok Kristus yang putih di hadapan orang hitam Afrika.

Pada puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) berjudul Prologue (1969) -bagian dari bukunya “DukaMu Abadi”-, peristiwa terkait diri Kristus juga diacu, yaitu Golgota. Demikian puisinya:

masih terdengar sampai di sini

dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti

sewaktu dingin pun terdiam, di luar

langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba

sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota

sehabis mencecap beribu kata, di sini

di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu

yang meniupkan zarah ruang dan waktu

yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:

sepi manusia, jelaga.

Memasuki Heningnya Duka

Segera kita merasakan semacam pengertian SDD tentang Yang Asali dan Yang Akhir di sini: realitas semesta sedalamnya ialah duka. Malah sejak partikel atau zarah penciptaan diadakan-Nya, yang terbentang selanjutnya justru debu hitam atau jelaga di sepanjang cerita manusia. Ini dibuktikan dengan cerita Qain (yang membunuh Abel adiknya), dan itu ditambah dengan penyaliban Kristus di Golgata.

Penyair seolah telah setia mengeja waktu demi waktu, seraya mencari kata untuk semua duka itu. Ini dilakukannya di hadapan susunan Firman yang Huruf-nya telah ia baca. Atas duka yang sedemikian asali serta yang datang lagi dan lagi, sang penyair seolah hanya bisa mengakhiri konklusinya: langit dan horison kehidupan sesungguhnya diam, dingin dan sepi.  

Mendengarkan & Melihat Hening

Pada “Prologue” di atas sekilas saja Golgota disebut, tanpa nama Kristus; walau kita tahu ada jejak Kristus yang ditinggal kesepian dan kehausan ada di situ. Kilasan kisah Alkitab lainnya ialah nama Qain, yang dalam dengki membunuh adiknya sendiri. Dua kata di atas, sekali lagi mendukung semesta duka yang SDD tuturkan dalam puisinya.

Namun demikian, kita tak lantas muram dengan “Prologue” ini. Di sini memang tampak kecanggihan pengucapan SDD. Ia memanfaatkan imaji auditif sebagai cara menghempang kemuraman makna. Kita diminta, sejak awal larik puisinya, untuk mendengar, bahkan mendengar suara yang setia mengeja kata. Yang disertai cecapan kata, dengan ribuan kali diucap yang tentu melahirkan suara gumaman, seperti menaikkan doa. Lalu indera penglihatan kita pun diajaknya melihat langit yang samar.

Majas personifikasi pun dipakai SDD untuk menghempang kemuraman di atas. Baris pertama berbicara begini: masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi, sehingga seolah dukaMu bersuara dan terdengar. Lalu Malampun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam. Malam menjadi sosok atau pribadi yang bisa tak melangkah lagi karena merasa dingin.

Dengan itu maka benda-benda diberi imaji oleh SDD, lalu hidup bak pribadi sehingga kita diundang akrab dengan itu semua. Dengan kata lain di tengah semesta yang abadi dalam dukanya itu, kita masih bisa bertemu dengan segala ruang dan peristiwa yang dipenuhi berbagai benda, lalu dengan sederhana menemukan pesan kehidupan dari semua itu.

Golgota

Jejak Kristus di Golgota adalah salah satu noktah dalam puisi “Prologue” yang bagaimana pun punya pesan di tengah semesta duka. Di sini memang tak ada pesan metafisis dari noktah Golgota itu. Tapi seperti Huruf dengan kapital H, atau beribu kata yang dicecap menggumamkan doa, semua itu adalah serangkaian tanda di jalan hidup kita. Yang kiranya dengan tenang kita dengar dan lihat, dan dengan sederhana kita temui.

Puisi “Prologue” adalah semacam teks Kejadian dalam kitab “DukaMu Abadi” karya SDD. Karena itu kita perlu mencari apa atau siapa lagi yang ada di situ. Tentu Adam sudah niscaya masuk dalam kisah Kejadian di atas. Dan apa yang terjadi pada Adam? Dalam Jarak (1968) SDD berkata begini:

dan Adam turun di hutan-hutan

Mengabur dalam dongengan

Dan kita tiba-tiba di sini

Tengadah ke langit: kosong sepi …

Dalam puisi lainnya, yaitu Apakah…(dalam buku Sihir Hujan, 1984) kepada Adam dan Hawa diminta agar di ruang sepi itu mau mendengar bisikan ular, agar tak tertipu. Dengan menyimak maka hidup yang dilingkup semesta sepi sekali pun, akan tetap memberi benda-benda yang bersuara, lalu membuka percakapan sederhana dan menghidupkan itu.

Dengan demikian, Golgata yang jadi jejak Kristus, tak perlu dianggap sepele, walau tak juga perlu dilebih-lebihkan. Suara dari Golgata dapat dengan sederhana didengarkan, dan isyarat Golgata itu kiranya dengan arif kita biarkan diserap di dalam setiap hati manusia “yang mencintaimu, itu sebabnya … takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu”.

Martin Lukito Sinaga adalah pendeta GKPS & dosen luarbiasa di STFT Jakarta dan STF Driyarkara

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home