Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 05:36 WIB | Selasa, 03 September 2019

Jesse Owens dan Rasisme Hitler

Jesse Owens dalam penampilannya pada Olimpiade musim panas 1936 di Berlin, Jerman. (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM – Berita tentang adanya pernyataan rasis di Jawa Timur terhadap saudara kita dari Papua beberapa waktu lalu, segera mengingatkan pada peristwa yang terjadi, juga di bulan Agustus, 83 tahun lalu. Peristiwa itu di Berlin, Jerman, dan mengenai penghinaan kepada orang kulit hitam.

Agustus 1936, Berlin menjadi tuan rumah Olimpiade, dan itu adalah tahun kedua Adolf Hitler menjadi Konselir Jerman. Politik rasis partainya, Nazi, dikenal diskriminatif, bahkan kejam, terutama terhadap keturunan Yahudi, Roman, dan kulit hitam. Yang terakhir mereka sering dihina dengan sebutan “bajingan Rhineland”.

Hitler menggunakan kesempatan olimpiade itu untuk pameran keunggulan ras “Arya”. Ini hal yang bertentangan dengan semangat olimpiade sebagai ajang pertemuan bangsa-bangsa. Sikap rasis Jerman pun menjadi sorotan dunia, bahkan beberapa negara akan dan memboikot olimpiade itu. Di Jerman sendiri, atlet berdarah Yahudi dikeluarkan dari tim negara itu, meski berpeluang raih medali emas. 

Jerman unggul dengan 33 medali emas dan Amerika Serikat memperoleh 24 medali. Namun kehadiran atlet kulit hitam dari Amerika Serikat, Jesse Owens, menjadi pukulan berat bagi Hitler. Dia meraih empat medali emas dari cabang lari 100 meter, lari 200 meter, estafet 4x100 meter dan lompat jauh. Di lompat jauh, dia mengalahkan Luz Long, pria kulit putih bermata biru dan rambut pirang, dari Jerman yang termasuk dibanggakan Hitler.

Hitler kesal dengan kemenangan Owens. Dia dengan agenda politik rasisnya, merasa terganggu oleh prestasi Owens, dan karenannya tidak bersedia menjabat tangan Owens. Hal ini menjadi perdebatan serius sebagai penghinaan kepada ras kulit hitam. Dan putrinya, Marlene Owens Rankin, menegaskan bahwa ayahnya memang tidak pernah diberi ucapan selamat dari Hitler. Dia tidak perbah bejabat tangan dengan Hitler.

Rasis dan Kebencian

Sikap rasis seperti yang didemonstrasikan Nazi Jerman selalu menampilkan wajah kesombongan (sebagai ras unggul), sekaligus “kegemaran” menghina ras lain. Ini bisa terjadi pada individu, kelompok, bahkan negara. Maka sikap rasis juga tampil dengan kebencian pada pihak lain, apalagi ketika menghadapi kenyataan yang bertentangan dengan pandangannya.

Jerman di era Hitler, bahkan mengerahkan seluruh potensi dan kekuatannya untuk menopang politik rasis ini dengan memicu perang. Itu adalah era di mana Jerman mengundang lebih banyak musuh, dan menjadi awal kehancuran negara itu. Era Hitler adalah era yang paling memalukan bagi bangsa Jerman, tertutama dengan kekejaman rasisnya.

Sejarah politik rasis juga didemonstrasikan dihadapan mata dunia oleh Afrika Selatan pada masa politik Apartheid. Penduduk asli kulit hitam mendapat perlakuan diskriminatif, dan bisa dihukum karena warna kulitnya, hanya karena berada di kawasan yang hanya untuk kulit putih.

Di awal 1990-an dunia mengecam dan memusuhi rasisme Afrika Selatan dan memboikot negara itu, hingga akhirnya menyerah. Nelson Mandela, sebagai presiden berikutnya, membangun visi Afrika Selatan sebagai negara “pelangi”, dan membuang jauh-jauh peninggalan rasis rezim sebelumnya.

Dua negara itu pernah mengalami masa kebencian rasis yang mengakar sampai menjadi sikap negara, dan Mandela menyebutkannya sebagai era yang memalukan. Namun Kebangkitan kedua negara, Jerman dan Afrika Selatan, sekarang juga disaksikan dunia. Hal itu sangat kentara ditandai oleh kekuatan yang tumbuh ketika sikap rasis kebencian pada ras atau kelompok lain ditanggalkan sama sekali.

Kasus pada Papua

Menyimak kasus penghinaan rasis pada Papua, sepertinya kita tidak pernah menyiak sejarah. Kalau menyandingkan kasus Owens pada Olimpiade 1936 dengan kasus penghinaan Papua di Jatim, kita bertanya apakah pantas menyebutkan diri kita sendiri menyaksikan monyet di lapangan sepakbola? Bukankah Papua adalah gudang pemain sepakbola yang banyak mengisi untuk tim nasional? Boaz Solossa, sekadar menyebut satu contoh saja.

Ketika kasus ini ramai di bicarakan, dan memang selayaknya, karena kebencian rasis, bisa menjadi “kekuatan” yang menghancurkan diri kita sendiri: sebagai individu, kelompok, dan bangsa. Maraknya pembicaraan adalah pertanda peringatan yang serius akan hal ini. Sebab, dampak dari kebencian rasis sangat jelas dan bisa dilihat, dan nurani dunia memusuhi itu.

Bangsa kita memerlukan pengerahan seluruh energi untuk membangun, bukan untuk memberi bahan bakar bagi kebencian rasis yang hanya akan menuju kepada tragedi dan penderitaan. Oleh karenanya, respons dengan demonstrasi yang destruktif juga sangat disayangkan. Membangun bangsa membutuhkan keadilan, bukan diskriminasi yang pasti dilakukan oleh sikap rasis; membutuhkan kerja sama dan kesetaraan, bukan sikap rasis yang menciptakan pemisahan dan kebencian.

Bangsa kita sudah merdeka dari penjajahan, namun sampai hari ini tampaknya belum sepenuhnya menjadi merdeka untuk kehidupan dengan peradaban yang kita harapkan. Kita masih harus berjuang untuk membebaskan diri dari adanya unsur-unsur rasis dan kebencian pada sesama warga bangsa, yang merupakan salah satu musuh peradaban dan kemanusiaan.***

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home