Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 16:39 WIB | Senin, 08 Agustus 2016

Jokowi Jangan Terlena Hingar Bingar Sosialisasi Tax Amnesty

Presiden Joko Widodo ketika berbicara di hadapan pengusaha dalam rangka sosialisasi amnesti pajak di Jakarta (Foto: Bob SImbolon)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo, mengingatkan agar Presiden Joko Widodo tidak terlena dengan hingar-bingar panggung sosialisasi lalu melupakan bertindak konkret, terukur dan terarah.

Menurut dia, presiden kini tak cukup lagi sosialisasi dan berbangga dengan hadirnya ribuan orang. Saatnya presiden memimpin dan mengelola sebuah tim yang bekerja secara efektif, mandiri, dan konkret.

Ia mengatakan, opsi-opsi darurat harus dipikirkan, seperti penyusunan perpres dan perppu untuk memayungi sekaligus mengisi kekosongan yang ditinggalkan UU dan memperkuat kedudukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

"Waktu kita tak banyak, Bapak Presiden. Segeralah merespons antusiasme publik bukan sekadar dengan hingar-bingar panggung sosialisasi, melainkan bertindak yang konkret, terukur, dan terarah," tulis Yustinus, dalam catatan akhir pekannya, yang diterima oleh satuharapan.com (8/8).

Menurut dia, pepres dan perppu diperlukan untuk menjamin koordinasi antarlembaga  penegak hukum, kepastian pasca amnesti pajak, dan peta jalan reformasi. Perppu juga perlu ditimbang jika ternyata karena keterlambatan sosialisasi, wajib pajak gagal mengakses tarif murah karena periode pertama terlewatkan.

"Potensi kaotik perlu diminimalisasi," kata dia.

Yustinus mengingatkan satu bulan telah berlalu yang ditandai riuh rendah dan bara antusiasme publik menyambut program amnesti pajak. Ini telah disambut dengan indikator ekonomi yang kompak bergerak naik, menabalkan sentimen positif.

Ia berharap jangan sampai gegap gempita ini mencuri kewaspadaan. Euforia dapat segera berbalik menjadi kemuraman dan hukuman jika pemerintah gagal mengelola harapan dengan baik.

"Amnesti pajak memang dinantikan banyak orang, terlepas dari kontroversi yang mengiringi. Situasi dan kondisi ekonomi dan perpajakan kita menemui jalan buntu dan berpotensi menyorong kita masuk ke labirin ketidakpastian, yang memerosokkan kita di sudut luka terdalam. Amnesti ibarat kunci pembuka gerbang harapan, karena ada kesempatan kedua untuk berbenah, menjadi baik, terbuka dan jujur," kata Yustinus.

Ia menambahkan, amnesti pajak juga menawarkan kerendahhatian dari kekuasaan, yang tak mau serampangan menggunakan kuasanya mengejar dan menghukum warganya – demi kekuasaan itu sendiri.

Sense of Crisis Perlu
Namun, kata dia, satu bulan berlalu dan waktu kita semakin sempit. Di tahap implementasi pemerintah dihadapkan pada ketidakpastian baru. "Prinsip mutlak UU Pengampunan Pajak yang mudah, murah, dan pasti justru menjelma menjadi medan penafsiran yang terlampau longgar. Normativitas yang sederhana berubah menjadi teknikalitas yang rumit dan membuka ruang ketidakpastian baru," tulis dia.

Ia mengatakan amnesti yang berhasil menuntut kesiapan administrasi yang memadai. Dan pada titik ini, Yustinus menilai pemerintah terkesan lalai bahkan abai.

Kelalaian ini, menurut dia, seharusnya segera diatasi dengan konsolidasi dan koordinasi.

"Presiden telah turun tangan dengan gestur yang amat jelas: sepenuh daya menyukseskan ini, karena kita tak punya pilihan lain kecuali sukses! Betul. Dan tantangan terbesar dari setiap kebijakan publik adalah menurunkan derajat potensi menjadi aktualisasi dan realisasi," kata dia.

Ia menengarai ada dua masalah mendesak. Pertama persoalan paradigma. Amnesti pajak adalah pembalikan total paradigma perpajakan dari model penegakan hukum dengan kedudukan negara di atas wajib pajak – menjadi pelayanan total kepada warganegara.

"Mengalah untuk menang, atau mundur satu langkah untuk lantas maju dua langkah. Pembalikan paradigmatik ini penting untuk melambari setiap laku dan tindak di lapangan."

Kedua, persoalan sense of crisis. Amnesti pajak adalah program penting-mendesak, berjangka waktu pendek, dan menjadi semacam anomali dalam bentangan cuaca sosio-politik yang diliputi ketidakpastian.

Di sini, kata dia, visi kepemimpinan diuji. Besarnya pengharapan publik yang gegap gempita memadati setiap ruang sosialisasi di segenap penjuru hendaknya tak lagi dibaca sebagai antusiasme, melainkan cermin kesenjangan informasi untuk mengelola risiko.

"Kini saatnya bekerja dan bekerja. Bukan sekedar kerja klerikal, melainkan kerja yang mendatangkan hasil nyata dan terukur. Jelas masih banyak kesenjangan antara ekspektasi publik dan realitas di lapangan. Repatrasi menunggu kepastian instrumen investasi, sinyal kepastian hukum dan politik, dan corak perpajakan pasca-amnesti. Apa yang akan terjadi pasca-amnesti? Penegakan hukum yang keras, adakah jaminan bagi peserta untuk benar-benar tak dipersoalkan masa lalunya, atau malah rawan dicabik oleh Undang-undang yang maknanya terbaca masih mendua?"

"Presiden kini tak cukup lagi sosialisasi dan berbangga dengan hadirnya ribuan orang. Kini saatnya Presiden memimpin dan mengelola sebuah tim yang bekerja secara efektif, mandiri, dan konkret," kata dia.

 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home