Kabut Asap Makin Parah Mengepung Riau
PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM - Kabut asap akibat pembakaran lahan di sebagian wilayah Sumatera, semakin parah dalam beberapa hari terakhir. Sekolah diliburkan dan aktivitas masyarakat terhambat. Sayangnya, berbagai kalangan berpendapat tidak semua pejabat peka dengan kondisi tersebut.
Tidak ada yang lebih menggembirakan bagi Arif Rahman Hakim, seorang kepala cabang perusahaan farmasi dan konsumer, selain angka penjualan yang naik. Kantor yang dipimpinnya di Pekanbaru, Riau, mencatat permintaan berlipat ganda untuk sejumlah produk yang mereka sediakan. Namun kali ini, kenaikan itu tidak sepenuhnya berbalut kebahagiaan. Bagaimana bisa demikian? Penjualan itu naik karena Pekanbaru tengah dikepung asap pekat dalam beberapa pekan terakhir.
“Ini yang pasti konsumsi yang fast moving, pertama adalah masker. Masker sold out. Tingkat penjualannya sangat tinggi. Setelah masker, meningkat lagi obat tetes mata. Meningkat lagi, kita punya vitamin, Ester C. Mereka yang di daerah terdampak langsung, mereka persiapan untuk kondisi tubuh jangan sampai drop. Tiga itu yang dapat berkah, terlepas dari kondisi seperti ini. Beratus-ratus persen, berlipat-lipat penjualannya,” kata Arif, yang dilansir Voaindonesia.com, pada Jumat (13/9).
Kenaikan penjualan berlipat itu tidak sepenuhnya membahagiakan, karena seperti juga jutaan warga Riau lain, keluarga Arif juga terdampak kabut asap. Sejak Senin (9/9), anak-anaknya diliburkan dari sekolah. Mereka juga tidak dapat beraktivitas di luar ruang sepanjang hari dan harus memakai masker. Pada Kamis (12/9) malam, kata Arif, asap bahkan sudah masuk ke dalam rumah. Mereka harus menyiapkan satu ruang khusus yang tertutup rapat dan dilengkapi penyejuk udara (AC). Kipas angin juga dihidupkan terus untuk mendorong asap keluar rumah.
Status Darurat dan Evakuasi
Arif berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi asap ini. Tahun lalu, katanya, bencana asap kebakaran lahan tidak terjadi di Riau. Karena itu, cukup mengherankan jika tahun ini provinsi itu kembali dikepung asap.
“Sempat ada obrolan soal pindah sementara, tapi ya gimana, kita di sini kan kerja. Kalau nggak kerja, tentu saja sudah pergi. Sementara ini kita bisanya sabar saja. Saya nggak peduli mau pemerintah daerah atau pusat yang mengatasi, yang penting asap secepatnya bisa dibersihkan,” kata Arif.
Keresahan Arif dan jutaan warga Riau serta provinsi sekitarnya sangat beralasan. Indeks Pencemaran Udara telah mencapai angka 400 di Riau, yang artinya kualitas udara sangat berbahaya. Karena itulah, Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana.
“Kalau sudah darurat bencana, mengevakuasi warga, dan kedua membangun posko-posko untuk warga bisa mendapat masker dan oksigen. Terutama untuk anak-anak, balita, ibu hamil dan orang- orang yang berpenyakit khusus terkait dengan infeksi saluran pernapasan atas (Ispa),” kata Ali.
Yang mengherankan, kata Ali, pemerintah sendiri melalui BMKG telah memberikan peringatan musim kemarau tahun ini akan panjang seperti 2015. Mengingat bencana asap ketika itu yang sangat parah, seharusnya telah disiapkan upaya antisipasi. Namun, langkah semacam itu tidak terlihat, baik di daerah maupun pusat. Menurut Ali, pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman.
Walhi Ingatkan Keberhasilan Sungai Tohor
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian yang sama dengan bencana asap pada awal dia menjabat. Ketika itu, Presiden turun langsung ke daerah-daerah yang terbakar. Di Sungai Tohor, Meranti, presiden kemudian memulai proyek restorasi lahan gambut. Dia melepas izin pengelolaan lahan, memberikannya kepada rakyat untuk dikelola sebagai kebun sagu.
“Oleh masyarakat dikelola gambutnya itu, beradaptasi dengan lahan basah, tanaman sagu. Sampai saat ini desanya aman dari api, padahal Riau kering terus. Air juga banyak tersedia. Jikapun restorasi itu bisa dilakukan dalam satu tahun, minimal ketika kebakaran terjadi, ada air untuk petugas di lapangan. Kalau sekarang, kan tidak ada air,” kata Riko.
Riko menyayangkan upaya presiden itu tidak berlanjut dan dipraktikkan di kawasan lain. Keberhasilan Sungai Tohor juga tidak menarik minat pemerintah daerah. Karena itulah, Riko mendesak Presiden Jokowi kembali turun tangan langsung mengatasi bencana ini, karena cakupan bencana yang sangat luas. Kepekatan asap di Riau misalnya, sebagian juga merupakan kiriman dari Jambi. Karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dikoordinasikan oleh pemerintah pusat.
“Presiden sudah membuat narasi moratorium sawit, juga restorasi gambut. Tinggal bagaimana Presiden mengawasi anak buah di bawah, baik itu menteri, badan maupun gubernur. Presiden harus tegas. Tahun ini, komitmen Presiden turun, pengawasan di bawah juga turun, sehingga suka-suka itu penjabat di lapangan sekarang,” kata Riko.
BNPB Terus Bekerja
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo pada Rabu (11/9), datang ke Riau untuk memantau langsung pemadaman kebakaran lahan. Doni dan rombongan terbang menggunakan helikopter dari Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru menuju Desa Kerumutan selama sekitar 1,5 jam.
Menurut Agus Wibowo, Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, sepanjang perjalanan Doni menyaksikan langsung dua helikopter water bombing beraksi. Upaya pemadaman ini semakin penting, karena di Desa Kerumutan terdapat kilang pompa minyak milik Pertamina yang hanya berjarak kurang dari 40 meter dari sumber api.
“Dalam kunjungan ini, Pak Doni turut serta memadamkan api, dibantu aparat TNI, Polri, BPBD, Manggala Agni di sekitar lokasi sumur minyak Pertamina dan sumber api sekitarnya. Setelah itu, memimpin rapat koordinasi dan evaluasi di ruang tunggu Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru,” kata Agus Wibowo dalam keterangan resminya.
Data yang dirilis BNPB hari Jumat (13/9) mencatat, Riau memiliki 264 titik panas dengan luas lahan terbakar lebih dari 49.000 hektare. Sebanyak delapan helikopter dikerahkan, tujuh di antaranya merupakan heli untuk pemboman air, dan satu heli patroli.
Lebih dari 120 juta liter air, telah disiramkan sepanjang upaya penanganan bencana asap tahun ini, meski hasilnya belum signifikan. Upaya serupa juga dilakukan di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Di media sosial, #riaudibakarbukanterbakar, menjadi salah satu tagar paling populer hari Jumat (13/9). Masyarakat mengeluh karena penanganan pemerintah yang tidak maksimal terhadap bencana ini. Mereka juga mempertanyakan kecilnya pemberitaan di media terkait bencana asap.
Faktor Penyebab Telat Bicara pada Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengurus Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Ikatan ...