Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 14:29 WIB | Senin, 15 Februari 2016

Kain Indonesia, Kekayaan Seni Budaya Tak Terbantahkan

Kain Indonesia, Kekayaan Seni Budaya Tak Terbantahkan
Sjamsidar Isa (kanan) dan perancang mode Didi Budiardjo (kiri) menjelaskan makna dan sejarah salah satu kain koleksi kepada peserta bincang-bincang tentang kain Nusantara di Qubicle Center Galeri, Jakarta Selatan, penggal awal Februari lalu. (Foto-foto: Sotyati)
Kain Indonesia, Kekayaan Seni Budaya Tak Terbantahkan
Sjamsidar Isa (tengah), diapit perancang mode Didi Budiardjo dan praktisi desain tekstil ITB Ratna Panggabean, berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam acara bincang-bincang tentang kain Nusantara, penggal awal Februari lalu.
Kain Indonesia, Kekayaan Seni Budaya Tak Terbantahkan
Sebagian koleksi batik milik Sjamsidar Isa yang dipamerkan untuk menginspirasi generasi muda.
Kain Indonesia, Kekayaan Seni Budaya Tak Terbantahkan
Sebagian tenun koleksi Sjamsidar Isa yang dipamerkan di Qubicle Center Galeri, Jakarta Selatan, penggal awal Februari lalu.

SATUHARAPAN.COM – Indonesia punya batik. Namun, Malaysia, dan bahkan Tiongkok, juga punya batik. Indonesia memiliki aneka ragam tenun yang tersebar di Nusantara, negara lain juga memilikinya. Lalu, apa yang membedakan batik dan tenun Nusantara, yang kemudian lebih sering disebut wastra Nusantara, dengan batik atau tenun negara lain?

Sjamsidar Isa, tokoh mode Indonesia, desainer tekstil lulusan Dusseldorf, Jerman, punya jawabannya. Kekuatan wastra Nusantara terletak pada filosofi, nilai estetik, dan sejarah yang mendasari pembuatannya.

Jawaban Tjammy, panggilan akrab Sjamsidar Isa, diperkuat pendapat Dr Ratna Panggabean MSn, praktisi desain tekstil ITB, dan perancang mode Didi Budiardjo yang sering mengeksplorasi batik dan tenun dalam karya-karyanya.  

Tjammy mengemukakan pendapat itu di dalam acara bincang-bincang bertajuk “Ikon” – Sebuah Pameran Kain Nusantara Koleksi Pribadi Sjamsidar Isa, penggal awal Februari lalu di Qubicle Center Galeri, Jl Senopati, Jakarta Selatan.

Kekuatan itu yang membedakan wastra Nusantara dengan kain-kain dari negeri lain. Kain Indonesia, seperti dikemukakan Ratna Panggabean, yang juga staf pengajar Program Seni Kria ITB dan terjun dalam pembinaan wastra Nusantara, adalah salah satu bentuk fisik kebudayaan masyarakat Indonesia. Sumber gagasan corak adalah penggambaran dari alam lingkungan sekitar yang lekat dalam kehidupan masyarakat.

Tjammy mencontohkan beberapa batik terang bulan, sebagian dari 70 wastra koleksi  pribadinya yang dipamerkan penggal akhir Januari hingga penggal awal Februari lalu di galeri itu.

Ada enam batik terang bulan yang dipamerkan, dua karya Tati Suroyo, empat karya Ibu Soedibjo, yang juga dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak. Batik terang bulan dicirikan dengan warna polos dengan hiasan motif pada bagian pinggir. Masing-masing memiliki nama, sejarah, cerita berbeda. Warna polos, seperti dikemukakan Didi, justru menunjukkan proses pembuatannya yang rumit. Kesempurnaan ditentukan warna polosnya yang merata, tanpa cacat.

Selain batik terang bulan, dipamerkan juga batik motif buketan yang terkenal, karya Oey Soe Tjoen dan motif buketan karya Van Zeuylen. Motif sama, namun tampilan berbeda.  

Demikian juga dengan koleksi tenunnya. Tjammy memamerkan koleksi pribadinya yang ia peroleh dari warisan ibu hingga hasil “berburu” di seluruh Nusantara. Masing-masing memiliki kisah, makna, dan sejarah di balik pembuatannya. Yang istimewa, ia mampu menceritakan satu per satu koleksi tenunnya, mulai dari asal, teknik pembuatannya mulai dari teknik songket pakan, teknik ikat lungsi, teknik ikat ganda, hingga teknik sulam.

Kepada pencinta wastra Indonesia yang mengikuti acara bincang-bincang itu, termasuk di antaranya pemain film Jajang C Noer (Jajang Pamoentjak) dan Slamet Rahadjo, ia juga berbagi kiat tentang cara penyimpanan. Mengoleksi kain-kain tradisional itu berarti harus siap repot. Apalagi ia sesekali mengenakan sebagian di antaranya pada acara-acara khusus.   

Ikon, judul pameran itu, seperti dikatakan Didi Budiardjo, perancang mode menjadi kurator pameran itu, bermakna perlambang. Wastra Nusantara adalah perlambang kecintaan Tjammy akan negerinya.

Kecintaan akan tanah air menjadikannya tidak hanya mengagumi, tetapi juga melakukan tindakan sebagai pemilik. Perjalanan rasa seorang kolektor yang membentuk karakter dan jati diri menjadikannya merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab atas kepemilikan wastra Nusantara.

Menularkan Kecintaan kepada generasi Muda

Tjammy adalah sosok yang sangat dikenal baik di dunia mode Indonesia. Ia mendirikan Studio One pada 1975, sebuah perusahaan event management, fashion coordinator, dan fashion public relation pertama di Indonesia, yang berfokus pada industri mode.  

Ia juga tercatat sebagai pendiri organisasi mode pertama di Indonesia, IPBMI, yang kemudian menjadi IPMI, Ikatan Perancang Mode Indonesia. Di antaranya bergabung perancang mode papan atas negeri ini, di antaranya Sebastian Gunawan, Carmanita, selain Didi Budiardjo.

Sebagai sosok yang tumbuh bersama industri mode Indonesia dan aktif berperan serta dalam beberapa organisasi nirlaba yang punya kepedulian terhadap kelestarian wastra Nusantara, di antaranya Cita Tenun Indonesia, ia memiliki kecintaan yang sangat dalam terhadap warisan budaya negeri.   

Pameran koleksinya itu ia gelar bertepatan dengan peringatan ulang tahun kelahirannya yang ke-70 tahun. Alih-alih menggelar pesta, ia lebih memilih berbagi pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan wastra Nusantara. Acara itu ia tujukan untuk  meningkatkan kecintaan, mengedukasi, serta mengajak masyarakat untuk turut melestarikan kain tradisional Indonesia yang sarat akan sejarah dan nilai estetika.    

Kain-kain dalam pameran itu merupakan warisan, sekaligus titipan, sehingga generasi muda dapat mengambil manfaat dan inspirasi.    

“Terutama anak muda. Itu sebabnya pameran itu diselenggarakan di sini (Qubicle Center Galeri, Red), yang memang menyasar kalangan muda,” kata Tjammy. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home