Loading...
OPINI
Penulis: Atmadji Sumarkidjo 18:39 WIB | Senin, 26 April 2021

Kapal Selam TNI-AL Pernah Ditakuti Belanda, Australia dan India

Kapal selam KRI Nanggala 402, yang tenggelam di perairan Bali, hari sabtu (24/4). (Foto: dok. AP)

SATUHARAPAN.COM-Hari bersejarah itu adalah 12 September 1959. Di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta tiba dua kapal selam milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI, sekarang TNI-AL) yang dibeli dari Uni Soviet. Kedua kapal selam kelas ‘W” tersebut diberi nama RI Tjakra (S-01) dan RI Nanggala (S-02), memang bukan kapal selam baru sama sekali, tetapi bukan kapal bekas yang jelek juga. Jenis kapal selam tersebut adalah yang dibangun setelah perang dunia.

Atmadji Sumarkidjo. (Foto:dok. Ist)

 

Ini adalah awal di mana Angkatan Laut RI punya persenjataan kapal perang bawah laut yang pertama di kawasan bumi bagian selatan. Negara seperti India dan Australia ketika itu belum mempunyai kapal selam.

Dengan modal dasar dua kapal selam itu, dibentuknya sistem pendidikan bagi awak bangsa Indonesia untuk pengembangan armada kapal selam, meskipun pada waktu itu belum diketahui kapan Indonesia membeli kapal selam lagi. Tetapi ketika Presiden Soekarno memerintahkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 untuk merebut Irian Barat, maka situasi berubah dengan cepat. Indonesia melalui missi Jenderal AH Nasution membeli sejumlah besar persenjataan perang dari Uni Soviet. Tidak tanggung-tanggung, AL mengajukan rencana membeli 10 kapal selam! Tidak itu saja, kita mengajukan paket lengkap dengan suku cadang, persenjataan torpedo, serta juga dua kapal tender (kapal induk) untuk kapal selam. Semuanya dipenuhi oleh Uni Soviet.

Pada Januari 1962, tiba di pangkalan Surabaya empat kapal selam kelas “W”  yang sepenuhnya diawaki pelaut Indonesia. Jadi ketika Indonesia bersiap berperang untuk merebut Irian Barat dari Belanda, ada enam kapal selam ALRI yang beroperasi penuh dan secara diam-diam melakukan penyelaman di seputar wilayah Irian Barat.

Pada Desember 1962, enam kapal selam lagi tiba di Indonesia sehingga pada awal tahun 1963, angkatan laut RI mempunyai 12 kapal selam yang beroperasi penuh dan didukung oleh dua kapal tender. Setiap enam kapal selam punya satu kapal tender yang berfungsi sebagai pangkalan apung dan perawatan.

Pada tahun 1963-1966 tidak ada negara lain di kawasan ini yang mempunyai kapal induk, apalagi sampai 12 kapal. Kapal selam ALRI pernah beberapa kali menyelam sampai ke dekat pantai Barat Australia. Salah satu di antara itu, malahan sempat membuang sampah dan barang-barang buatan Indonesia melalui lubang torpedo dengan harapan ditemukan oleh orang Australia di dekat kota Perth.

Tahun 1965, Presiden Soekarno pernah mengirim sebuah kapal selam Indonesia ke pelabuhan Karachi (Pakistan). Tujuannya jelas : memberi pesan ke pihak India bahwa RI bersimpati ke Pakistan bila terjadi perang antara keduanya.

Era Kebangkitan Baru

Ketika terjadi peristiwa G-30-S/PKI pada tahun 1965, hubungan Indonesia dan Uni Soviet memburuk, meskipun tidak putus sama sekali. Yang terjadi adalah, semua pengiriman suku cadang peralatan perang untuk AURI maupun ALRI tidak dikirimkan lagi dari pembuatnya.

Dampaknya amat besar. Pesawat-pesawat tempur tidak bisa terbang lagi dan secara perlahan pula satu demi satu kapal perang juga tidak bisa berlayar.

Termasuk yang paling terdampak adalah ke 12 kapal-kapal selam, karena kapal selam tidak akan bisa menyelam bila satu saja suku cadangnya tidak benar atau rusak. Akhirnya kapal-kapal selam satu-per-satu dipreteli dan dijual sebagai besi kiloan. Sisa-sisa peralatan yang masih bisa diselamatkan lalu diambil, dan digunakan sebagai suku cadang bagi satu-satunya kapal selam eks Soviet yang masih dipelihara yaitu KRI Pasopati 410.

Tragis memang! Dari sebuah AL yang paling ditakuti dengan 12 kapal selam beroperasi penuh kemudian menjadi angkatan laut dengan satu kapal selam saja. Itu pun sekadar agar bisa memelihara kemampuan awaknya, dan hanya mampu menyelam secara terbatas. Tetapi dengan kemampuan itu pun, KRI Pasopati 410 dalam sebuah latihan bersama AL Australia, mampu mengocok sebuah fregat mereka dan tidak mampu dideteksi dengan sonar modern milik kapal Australia tersebut.

Ketika KRI Pasopati 410 benar-benar pensiun, kapalnya tidak dijual sebagai besi kiloan melainkan mendapat tempat terhormat dan dijadikan monumen kapal selam di kota Surabaya dan kita bisa saksikan hingga sekarang.

Pada tahun 1979, Indonesia akhirnya memesan lagi pembelian kapal selam. Setelah lama melakukan studi banding, akhir pilihan jatuh ke kapal selam buatan HDW-Nordseewerken di Jerman Barat. Kapal selam tipe 209 adalah versi ekspor dan cukup banyak pembelinya, berarti reputasinya cukup baik. Kontrak pembelian untuk dua kapal selam dilakukan tahun 1978 dan pembangunan di mulai 1979. Kapal selam pertama selesai dan diserahkan kepada Indonesia tahun 1981. Pada sailing pass peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1981 di pantai Cilegon, kapal selam tersebut untuk pertama kali tampil di hadapan umum.

Total ada dua kapal yang dibeli dan masing-masing diberi nama KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402 sebagai penghormatan kepada dua kapal selam pertama yang ada di angkatan laut kita dulu.

Setelah itu tidak pernah ada pembelian kapal selam lagi. Tahun 1997, Menristek BJ Habibie sempat menginiasi hibah dari pemerintah Jerman enam kapal selam bekas tipe 206. Salah satu kapal selam malahan sudah sempat mengibarkan bendera Merah-Putih di menaranya, tetapi karena krisis moneter di Tanah Air, hibah (sebenarnya pembelian dengan harga sangat murah) akhirnya batal.

Sejak itu tidak ada pembelian kapal selam baru, hingga pada Desember 2011 pemerintah Indonesia menandatangani kontrak dengan pihak Korea Selatan untuk pembuatan tiga kapal selam baru setipe dengan 209, tetapi “racikan” Korea yang dikenal sebagai Cheng Bogo Class. Yang membuat menarik adalah pihak Korea Selatan bersedia melakukan Transfer of Technology (ToT) dengan pihak Indonesia, yaitu PT PAL di Surabaya.

Sebagai tindak lanjut pada tahun 2013, PT PAL mengirim lebih dari 200 orang stafnya ke Korea Selatan untuk ikut magang dalam pembuatan kapal selam di galangan milik Daewoo tersebut. Meski demikian, KRI Nagapasa 403 (beroperasi Agustus 2017) dan KRI Ardadedeli 404 (beroperasi 2018) sepenuhnya dibuat di Korsel. Baru kapal ketiga (KRI Alugoro 405) dibuat di galangan kapal PT PAL oleh tenaga bangsa Indonesia dengan supervisi pihak Korsel.

Tragedi KRI Nanggala 402

Kapal selam KRI Nanggala 402 pada tahun 1989 pernah dikirim kembali ke galangan kapal pembuatanya di Jerman untuk dilakukan refitted, pembaruan sejumlah peralatannya.  Kemudian tahun 2012, kapal selam itu juga dikirim ke Kores Selatan untuk dilakukan pergantian struktur badannya sekaligus peningkatan kemampuan sonar dan mesinnya. Sementara KRI Cakra 401 sedang dalam perbaikan di PT PAL.

Seperti juga pesawat terbang, kapal selam mempunyai persyaratan yang amat ketat sebelum mendapat izin berlayar. Karena itulah, menurut catatan hanya sedikit kasus kecelakaan yang berakibat fatal bagi kapal selam terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia lalu. Meskipun sedikit, tetapi kecelakaan fatal (istilahnya subsink) selalu mendapat pemberitaan besar-besaran di media karena ada unsur tragedi.

Menurut catatan, kapal-kapal selam Amerika Serikat, Rusia, China dan Argentina  (kapal selam kelas 209 juga tahun 2017) umumnya mengalami musibah terjadi jauh di bawah permukaan laut. Hanya kasus yang menimpa kapal selam AL Chinayang agak menyimpang, kapal selamnya terapung tidak bergerak di atas permukaan laut, tetapi seluruh ABK tewas karena menghirup CO2.

Akibat kecelakaan terjadi di bawah permukaan laut, maka tidak mudah menentukan sebab-sebab kecelakaan kapal selam. Beberapa di antaranya dimulai dengan timbulnya kebakaran di kapal ketika menyelam dan mengakibatkan dua hal: sistem mesin mati dan udara beracun menyebar di seluruh bagian. Ini yang menyebabkan empat kapal selam nuklir tenggelam dan meledak di kedalaman tertentu. Dua di antaranya adalah milik AS (USS Thresher, tahun 1963 dan USS Scorpion tahun 1964). Yang terkenal adalah tragedi kapal selam nuklir Rusia Kursk yang tenggelam dan meledak tahun 2000. Waktu itu sejumlah ABK masih hidup tetapi karena tidak ada peralatan penyelamat, maka mereka mati karena kehabisan oksigen.

Secara teoritis, begitu mesin kapal (propulsi) mengalami masalah hingga mati, maka kapal selam menjadi tidak berdaya dan perlahan akan melayang turun. Fungsi utama mesin adalah penggerak kapal untuk maju ke depan, sekaligus juga penggerak untuk pompa-pompa air sehingga kapal bisa naik ke permukaan (air dibuang dari badan kapal) atau menyelam. Mesin (apakah itu disel/elektrik atau nuklir) juga mengatur sistem pembersih udara di dalam kapal selam sehingga ABK bisa bernapas seperti biasa.

Pada kedalaman tertentu, tekanan air semakin besar dan ketika tidak mampu ditahan lagi oleh lapisan bajaya, badan kapal akan pecah. Secara teoritis pula, kapal selam umumnya masih aman untuk menyelam sampai kedalaman 250 meter atau bahkan 300 meter. Tetapi begitu ia turun terus hingga melewati batas daya tahannya maka tekanan air akan memecahkannya. Tenggelamnya kapal selam Argentina ARA San Juan di Atlantik Selatan juga diduga akibat mesin mati, kapal tenggelam dan pecah. Bangkai kapal selam tersebut yang terpecah belah baru ditemukan di kedalaman 800 meter satu tahun kemudian. ***

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home