Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 10:43 WIB | Jumat, 13 Mei 2016

Keluarga Tapol RMS Minta Bantuan Gereja-gereja di Indonesia

Keluarga Tahanan Politik (Tapol) RMS ketika diterima oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Henriette T. Hutabarat-Lebang (membelakangi kamera) dan Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom (menghadap kamera, berbaju batik dengan tangan ke dahi) di Grha Oikumene PGI, Jakarta, Kamis 12/5) (Foto: Jacky Manuputty)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah anggota keluarga tokoh Republik Maluku Selatan (RMS) yang pernah dan masih menjadi tahanan politik, mendatangi kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada hari Rabu (12/5). Mereka diterima langsung oleh Ketua Umum PGI, Henriette T. Hutabarat-Lebang dan Sekretaris Umum, Gomar Gultom di kantor pusat PGI, Jakarta.

Menurut Gomar Gultom, mereka adalah keluarga dari tahan politik pada kasus Cakalele Ambon tujuh tahun lalu, yang sebagian masih mendekam di LP Nusakambangan. Gomar mengatakan kedatangan mereka memicu rasa haru. Para keluarga itu menceritakan pengalaman bertemu pertama kali dengan ayah atau suami mereka.

"Ini kali pertama mereka bisa mengunjungi setelah tujuh tahun di penjara," kata Gomar.

Menurut Gomar, kemiskinan dan ketiadaan ongkos serta jarak yang begitu jauh dari Ambon ke Nusakambangan menjadi salah satu halangan. Anak-anak yang tadinya berumur satu hingga tiga tahun, ketika bertemu, tak lagi mengenal ayah mereka; demikian pun sebaliknya.

Di antara mereka yang datang, Gesa Saiya, 9 tahun, dan sepupunya Freddy Saiya, 10 tahun, serta Vike, 10 tahun, hanya mampu menahan isak ketika menceriterakan pertemuan dengan ayahnya. "Bapa berpesan agar perhatikan dan jaga mama saja", kata Freddy terisak, seperti diceritakan kembali oleh Gomar.

Para tahanan politik tersebut di antaranya adalah Ruben Saiya yang harus menjalani masa tahanan 17 tahun. Ia sempat mencoba bunuh diri di penjara karena tak dapat menghadiri baptisan putrinya, Vike, yang sekarang berusia 10 tahun.

"Tetapi isteri dan anak-anak mereka lebih menderita lagi: terdiskriminasi dari pelayanan publik, selain kehilangan fundasi ekonomi keluarga dengan perginya kepala keluarga," tulis Gomar.

Pemicu mereka masuk penjara dan menjadi tahanan politik adalah  puncak acara Hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, 18 Juni 2007. Sejumlah penari Cakalele membentangkan bendera Benang Raja yang merupakan simbol gerakan RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Akibatnya  78 orang ditangkap dan 68 di antaranya sempat dipenjara. Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan hukuman seumur hidup untuk Johan Teterissa (45), dupuluh tahun untuk Ruben Saiya (24), dan tujuhbelas tahun untuk Yohanis Saiya. Belasan orang lainnya juga dijatuhi hukuman penjara bervariasi. Beberapa di antara mereka yang divonnis ringan sudah bebas setelah menjalani penjara bertahun-tahun. Beberapa lainnya meninggal di penjara (Simon Saija dan Yusuf Sopacoli)

Gomar mengatakan, Arens Saiya yang sudah bebas 2011 lalu dan ikut dalam rombongan pada pertemuan itu  mengisahkan perjalanan deritanya.

"Dari lapangan Merdeka, saya diseret dan dikeroyok oleh polisi sejak dari lapangan sampai Mapolda. Di Samapta disiksa lebih lagi, karena katanya kami mempermalukan Presiden......Penyiksaan juga berlangsung dalam tahanan Densus! Kami dipukuli dengan menggunakan popor senjata, balok kayu dan pipa besi. Bukan hanya berdarah-darah, tulang-tulang juga pada remuk.....granat pun dimasukkan ke mulut kami!," kisah Arens.

Ternyata yang mendapat siksaan aparat bukan hanya mereka. Isteri dan anak-anaknya yang tidak tahu apa-apa pun mendapat pukulan dan tendangan aparat, sementara suami mereka di penjara. Johana Teterisa, isteri Ruben Saiya, mengisahkan, "Beta ditendang hingga terpelanting di rumah di hadapan anak-anak. Anak saya pun tak luput dari penyiksaan kejam!".

Menurut Gomar, permintaan para keluarga ini ketika ditanya apa yang dapat diberikan oleh gereja untuk membantu mereka, Eta, isteri Joran Saiya yang kini meringkuk di Nusakambangan, hanya mengatakan, "Saya meminta gereja-gereja berdoa, agar Presiden bersedia memindahkan mereka ke LP di Ambon, agar ada yang mengurus mereka dan dekat dengan keluarga".

Eta merasa pilu menyaksikan suaminya yang jadi hitam lebam karena tak terurus

"Beta rasa dua jam itu, kaget sekali. Setiap kali beta telepon selalu dia bilang baik-baik saja. Mereka hitam-hitam, karena darah mati, beta hampir tidak kenal suami!," kata dia.

Menurut Gomar, isu RMS sebetulnya tak lagi menarik minat orang Ambon. Mereka, khususnya dari Desa Arubu (di Pulau Haruku) tertarik dengan ide RMS lebih karena selama ini dianak-tirikan dalam pembangunan.

Menurut Gomar, Jokowi, dalam suatu kesempatan pernah berjanji akan melepas para tahanan politik Papua dan RMS. Dalam perjalanan bersama dari Jayapura ke Wamena dan Sorong,ia sempat menyampaikan pesan Andreas Harsono dari Human Right Watch, agar Jokowi memberi perhatian pada tahanan politik pada era SBY.

"Namun hingga kini baru 5 tahanan politik Papua yang dibebaskan. Masalah administrasi dan prosedur rupanya menjadi halangan. Berbagai pihak di pemerintahan mengharapkan melalui proses Grasi, yang tentu saja ditolak oleh para tahanan, karena mereka merasa tidak bersalah," tulis Gomar.

Akhirnya Jokowi mengambil terobosan dengan proses Amnesti, yang beliau mulai tahun lalu. Namun untuk Amnesti harus melalui persetujuan DPR. Dan surat Jokowi mengenai hal ini tak pernah direspon oleh DPR walau sudah dilayangkan oleh Presiden sejak tahun lalu.

"Saya berharap pemerintah setidaknya bisa memindahkan para tahanan politik RMS ini ke Ambon, sebagai langkah awal. Masih terdapat puluhan tahanan politik RMS di LP yang tersebar di Indonesia. Mereka yang ditahan di Ambon lebih beruntung karena dekat dengan keluarga," kata Gomar.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home