Ketika Dunia Berubah Virtual Selama Krisis COVID-19, Mudah untuk Berdoa
Berikut ini adalah tulisan tentang tanggapan gereja-gereja anggota Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) dan semua orang yang beriktikad baik terhadap penanggulangan COVID-19. Tulisan ini dibuat untuk berbagi harapan, keprihatinan, dan praktik terbaik, di antara keluarga besar kita sebagai manusia. - Direktur Komunikasi WCC, Marianne Ejdersten
SATUHARAPAN.COM – Orang-orang berdoa setiap hari, memohon segera berakhirnya wabah virus corona baru, COVID-19, yang mencengkeram dunia, yang berhasil mengubah interaksi manusia ke dunia virtual dan menjungkirbalikkan kehidupan di mana-mana, selama berjuang melawan musuh “bisu”, yang hanya sedikit kita ketahui tentangnya.
Gereja-gereja, masjid, sinagoge, dan kuil-kuil, di setiap sudut planet ini menutup pintu mereka setelah COVID-19 menyebar. Strain virus pertama kali diidentifikasi di Wuhan, di China pada Desember 2019.
Berdoa adalah aktivitas yang tidak memerlukan kontak sosial, seperti ditekankan kelompok-kelompok Kristen global, termasuk World Council of Churches (WCC), Vatikan, dan World Evangelical Alliance.
Layaknya dalam suatu perjuangan, COVID-19 memunculkan kebaikan dan keburukan dalam kemanusiaan. Petugas kesehatan terlibat dalam pengorbanan besar, dan yang lain siaga membantu, karena beberapa orang menunjukkan prasangka terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pembawa penyakit, atau, mereka yang rentan.
Doa COVID-19
Gereja anggota WCC, United Church of Canada, mengunggah “Doa Selama Masa COVID-19”.
Petikan dari doa tersebut berbunyi, “Pada COVID-19 kali ini, kami berdoa:
Ketika kita tidak yakin, Tuhan, bantulah kami menjadi tenang;
ketika informasi datang dari semua sisi, benar dan tidak, bantu kami untuk membedakan;
ketika rasa takut membuat kami sulit bernapas, dan kecemasan tampaknya menjadi urutan hari ini, memperlambat kami, Tuhan;
bantu kami menjangkau dengan hati kami, ketika kami tidak bisa menyentuh dengan tangan kami;
membantu kami untuk terhubung secara sosial, ketika kami harus jauh secara sosial;
bantu kami untuk mengasihi sesempurna mungkin, mengetahui bahwa “kasih yang sempurna menghilangkan semua rasa takut”.
“Bayi Masih Dilahirkan”
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus menambahkan beberapa perspektif pada konferensi pers pada 13 Maret, ketika ia mengatakan meskipun ada pandemi baru, pekerjaan WHO berlanjut dan dunia terus berjalan.
“’Bayi masih dilahirkan’. Operasi penting masih berlanjut. Orang masih membutuhkan perawatan darurat setelah kecelakaan lalu lintas. Orang masih membutuhkan perawatan untuk kanker, diabetes, HIV, malaria, dan banyak penyakit lain,” kata Tedros Ghebreyesus.
WCC di Jenewa, Swiss, sejak 28 Februari telah membatalkan pertemuan penting Komite Pusat pada Maret, dan pada akhir pekan lalu mengambil langkah-langkah tegas untuk mencegah penyebaran COVID-19.
“Situasi ini membutuhkan solidaritas dan akuntabilitas, perhatian, kepedulian, dan kebijaksanaan kami,” kata Sekretaris Jenderal WCC Pdt Dr Olav Fykse Tveit, pada 13 Maret.
“Situasi kini juga membutuhkan tanda-tanda iman, harapan, dan cinta kasih kita,” tulisnya. “Kita saling membutuhkan sekarang, sebagai kolega dan teman, untuk saling mendukung dalam menata kembali pekerjaan kita, tetapi juga saling membutuhkan dukungan, secara mental dan spiritual.”
Tveit, dalam sebuah doa, berkata, “Tuhan Yang Empunya Kehidupan, Engkau telah berjanji untuk bersama kami setiap hari, juga di hari-hari yang sulit, seperti di saat-saat seperti ini.”
“Beri kami kejernihan dalam pikiran kami, kekuatan dalam pekerjaan dan kebijaksanaan kami, istirahat saat kami tidur, kedamaian dalam pikiran kami. Bersama dengan mereka yang membutuhkan bantuan lebih dari yang kami lakukan untuk diri sendiri, bantu kami untuk melihat apa yang dapat kami tawarkan dari cinta kasih-Mu.”
Merenungkan Rapuhnya Kehidupan Manusia
Swiss adalah salah satu negara yang paling terpengaruh oleh virus corona baru, di saat pusaran wabah pindah ke Eropa minggu lalu. Setidaknya 2.200 orang yang menjalani tes, dinyatakan positif terjangkit, dan tercatat 18 kematian pada 16 Maret di negara Alpine itu.
Di Jenewa, gereja-gereja kota Jean Calvin, Protestan, dan Katolik Roma, ditutup untuk kebaktian hari Minggu.
Seorang wanita yang mengidentifikasikan diri sebagai seorang Kristen yang berkomitmen, mengatakan, “Kita harus mencoba untuk memiliki keseimbangan dalam cara kita bereaksi. Sebagai orang percaya, ini adalah kesempatan untuk bersinar di tengah badai dengan bersikap tenang dan terukur.”
WHO melaporkan pada 16 Maret tercatat 168.019 kasus yang dikonfirmasi secara global di 148 negara dan 6.610 kematian, jumlah yang meningkat setiap hari.
Di China, data tercatat pada 15 Maret, 81.048 kasus dikonfirmasi dengan (27 yang baru) 3.204 kematian (10 baru), sementara di luar China, ada 72.469 kasus yang dikonfirmasi (dan 10.955 yang baru) dengan 2.531 kematian (333 yang baru) di 143 negara dan wilayah .
Di Asia, karena pandemi, Konferensi Kristen Asia mengatakan tema untuk Minggu Asia-2020 adalah “Tuhan, Sembuhkan Kami sebagaimana Kami Rentan”.
Konferensi Kristen Asia meminta gereja-gereja dan dewan-dewan anggotanya untuk menggunakan liturgi Minggu Asia dalam doa-doa khusus dalam beberapa hari mendatang untuk korban pandemi COVID-19.
Dr Mathews George Chunakara, Sekretaris Jenderal Konferensi Kristen Asia, menyatakan: “Kondisi penting yang saat ini kita alami secara kolektif adalah pengingat bagi umat manusia untuk merenungkan betapa rapuh kehidupan manusia dan paling rentan dari seluruh kosmos!”
Kekhawatiran untuk Afrika
Afrika memiliki tingkat penyebaran COVID-19 terendah dan paling lambat, tetapi penyakit ini merembes masuk. Para pejabat WHO telah menyatakan kekhawatiran tentang kemampuan sistem kesehatan negara-negara miskin di benua itu untuk menghadapi pandemi.
Uskup Agung Cape Town Thabo Makgoba mengatakan pada hari Minggu (15/3) ia “sangat khawatir” Afrika Selatan - dan orang-orang di seluruh Afrika - tidak menganggap virus corona cukup serius.
Ia mengamati orang Afrika akan memperlakukan virus sebagai “masalah Eropa”, dan bukan masalah Afrika.
“Padahal, virus tidak memiliki paspor; mereka tidak tahu perbatasan; mereka tidak menghormati ras atau warna kulit.”
Ia juga mengatakan kekhawatirannya “banyak orang akan terpengaruh” jika virus itu menyebar ke Afrika Selatan, dengan tingginya insiden HIV dan AIDS serta TBC.
Di Amerika Serikat, Presiden dan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Nasional AS, Jim Winkler, menulis pada 13 Maret, “Setiap hari, saya memiliki percakapan dengan orang-orang tentang virus corona. Tampaknya setiap orang memiliki teori tentang virus, bagaimana perlakuan terhadapnya, atau bagaimana cara menghindarinya. Berita itu mengarah dengan yang terbaru tentang penyebaran virus. Setiap hari, ia merayap semakin dekat ke tempat saya tinggal dan bekerja. Rasanya seperti novel atau film fiksi ilmiah sedang berlangsung di kehidupan nyata.” (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...