Loading...
RELIGI
Penulis: Kuntadi Sumadikarya 09:20 WIB | Senin, 13 Februari 2017

Khotbah Orang Palestina dalam Konferensi 500 Tahun Luther (I)

Percikan Konferensi Internasional Ketiga (7-10 Januari 2017). Radikalisasi Reformasi di Wittenberg dalam rangka memperingati “500 Tahun Reformasi Martin Luther 1517-2017”
Presiden Lutheran World Federation (LWF), Munib Younan (kiri) bersama Paus Fransiskus. (Foto: Istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Konferensi Radikalisasi Reformasi di Wittenberg dihadiri pelbagai bangsa, ada orang Afrika Selatan, Amerika, Argentina, Bostwana, Brasil, India, Indonesia, Italia, Jerman, Kolumbia, Kosta Rika, Kuba, dan juga Palestina. Sebagian dari peserta malahan teman-teman Muslim. Bahkan salah satu refleksi pagi dibawakan berdasarkan Alquran oleh pakar Muslim, Dr Ahmad Junaid, dari Pakistan, dan refleksi malam dibawakan berdasarkan Torah oleh Dr Mark Braverman, seorang Yahudi.

Khotbah pembukaan dilayani oleh Munib Younan, seorang Palestina dari Yerusalem. Bukan kebetulan Munib Younan adalah Presiden Lutheran World Federation (LWF), dan menarik juga menyimak khotbahnya yang didasarkan Yoh.1:4-17.

Khotbah Munib Younan akan disajikan dalam dua bagian. Berikut bagian pertama:

“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: ‘Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku’. Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus”.

Doa terhadap Kekerasan Epidemik

Adalah suatu kehormatan bagi saya hari ini berada bersama Anda di Wittenberg, di kota Luther, untuk memulai peringatan 500 tahun Reformasi. Pada saat yang sama, hati saya hancur bagi Jerman dan rakyat Jerman sesudah serangan teror baru-baru ini di Bazar Natal Berlin.

Sungguh mengerikan menyaksikan tindakan kekerasan seperti itu menimpa orang-orang yang tak bersalah, yang tidak melakukan apa pun kecuali merayakan Natal dan kelahiran Tuhan kita Yesus. Saya terus berdoa bagi keluarga-keluarga dari mereka yang terbunuh atau terluka, serta bagi berakhirnya teror epidemik yang mencengkeram dunia kita.

Orang-orang dari Negeri Jauh

Minggu ini kita merayakan perayaan Epifani. Dewasa ini Gereja Lutheran merayakan kunjungan Majusi dua belas hari sesudah Natal. Namun, ada suatu waktu dalam sejarah di mana kedua perayaan dirayakan bersama-sama.

Sampai sekarang Gereja Armenia terus merayakannya sebagai satu perayaan kelahiran Yesus di tanah kelahiran saya, dan kedatangan pengunjung dari tanah-tanah yang jauh. Sebagian tradisi mengatakan pengunjung ke Betlehem ini adalah orang-orang arif atau “majusi”. Sebagian lain mengatakan mereka adalah raja-raja. Mereka mungkin dari negara yang sama, atau dari beberapa negara berbeda.

Tradisi gereja memberikan mereka nama-nama, dan para artis memberikan mereka kulit berwarna dan kebangsaan. Dalam kenyataannya bahkan tak begitu jelas, apakah benar mereka bertiga!

Namun, apa yang diketahui adalah para pengunjung dari jauh ini membawa tiga persembahan kepada bayi itu, yang lahir dari anak dara, di tempat kecil yang disebut Betlehem.

Para malaikat bernyanyi “Gloria in excelsis Deo”, para gembala pulang menceritakan kepada teman-temannya; bahkan para raja dan otoritas-otoritas mendengar tentang kelahiran bayi itu, tetapi kedatangan dari jauh Kaspar, Melkhior, dan Beltsazar, menandai bahwa kabar tersebut sudah tersebar lebih dari sekadar pedesaan Betlehem.

Firman itu telah menjadi manusia. Mesias sudah datang, bukan hanya untuk negeri saya, melainkan untuk setiap negeri dan bangsa. Inilah Kabar Baik Epifani! Atas alasan ini, Epifani adalah perayaan misi. Misi yang juga merupakan fokus konferensi ini. Dalam cahaya peringatan 500 tahun Reformasi, kita menggali “Radikalisasi Reformasi” demi Kristus, demi gereja, dan demi misi kepada sesama kita. Pada perayaan Epifani, yang adalah perayaan misi, khotbah dari Injil Yohanes menyuguhi kita beberapa tema penting untuk dipertimbangkan.

Sebagaimana tertulis: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: ‘Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku’.”

Rendah Hati ala Yohanes

Pertama, adalah penting mempertimbangkan kesaksian khusus Yohanes. Yohanes adalah manusia spiritual dengan banyak pengikut. Dengan popularitasnya ini, dia dengan mudah dapat mengklaim diri sebagai Mesias. Pengetahuan yang kita peroleh tentang Yohanes dari kitab suci mengindikasikan bahwa tampaknya dia akan dapat diterima sebagai sosok Mesias. Yohanes memenuhi semua kriteria.

Orang-orang sudah bertanya kepadanya, “siapakah engkau? Elia? Engkaukah nabi yang akan datang? Siapakah engkau?” (Yoh.1:21-22).

Namun, Yohanes tidak mengambil peluang yang membuatnya masyhur. Dia hanya pendahulu dan kepada orang banyak dan para pengikutnya, dia selalu hanya menunjuk kepada Yesus. “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun” katanya (Yoh.1:23). “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak." (Yoh.1:26).

Dengan cara yang sama, kita mengingat bagaimana para reformator tidak mau membesar-besarkan diri mereka sendiri, tetap selalu menunjuk kepada Yesus. Panggilan kita sama. Seperti perkataan Luther yang terkenal, perhatian para murid pertama-tama adalah memaknai “was Christum treibet” (Apa yang memajukan Kristus?).

Ini adalah pesan kritis untuk semua orang, entah para uskup, pastor, teolog, atau anggota jemaat. Ini adalah sebuah tantangan bagi setiap orang yang dibaptiskan ke dalam Tubuh Kristus. Apakah kita seperti Yohanes, yang berupaya supaya Kristus berkembang di dalam kita dan kita menjadi kecil? Atau apakah kepedulian kita, kekhawatiran kita, gereja kita, denominasi kita, organisasi kita, dan bahkan kehormatan kita yang menjadi besar dan Kristus menjadi sangat kecil?

Sementara memandang 500 tahun berikut dari gerakan Reformasi, kita mesti mengingat bahwa kecuali apa yang kita kerjakan dan majukan adalah salib Kristus, maka selain itu bukanlah misi, bukan Injil, bukan kesaksian, melainkan hanya bisnis pribadi kita. Saya pikir kita tidak melebihi-lebihkan pentingnya pesan inti Reformasi dewasa ini.

Segala hal harus menunjuk kepada Kristus jika kita mencari Reformasi radikal, sesungguhnya kita tak harus mencari lainnya kecuali Yesus itu sendiri. Tuhan kita adalah paling radikal dari segala reformator. Cobalah bertanya: Apakah yang Yesus reformasikan? Apakah yang Dia reformasikan dewasa ini? Bagaimana Dia mereformasikan hidup kita? Gereja kita? Teologi kita? Masyarakat kita? Dunia kita?

Kita tidak usah tertekan dengan kekhawatiran tentang bagaimana mereformasi dunia kita secara radikal. Yesus sudah melakukannya. Reformasi bukanlah peristiwa satu kali saja. Ia bukan dimulai 1517 dan tak berakhir ketika para reformator berakhir hidupnya. Reformasi dunia sudah dan sedang terjadi setiap saat seorang saudara mengaku Yesus sebagai Tuhan dan menyatakan dirinya hanya bagi Kristus – yakni dengan cara yang sama dengan Yohanes mengarahkan keseluruhan hidupnya dan bersaksi memajukan Mesias yang datang. Itu sebabnya Lutheran menggemakan moto “Ecclesia semper reformanda est” – gereja senantiasa direformasikan. (bersambung)

 

Wittenberg, 8 Januari 2017

*Khotbah ini diterjemahkan Kuntadi Sumadikarya, pendeta emeritus GKI.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home