Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 05:54 WIB | Senin, 12 Juni 2017

KIARA: Negara Gagal Melindungi Petambak Garam

Warga mengolah garam di areal tambak Desa Lancok, Bayu, Aceh Utara, Aceh, Jumat (10/2). Menurut petani garam setempat harga garam naik dari Rp 30.000 per kuintal menjadi Rp 70.000 per kuintal karena sedikitnya produksi akibat cuaca tidak menentu sementara permintaan pasar terus meningkat. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai ditangkapnya Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono pada Sabtu (10/6) oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri kian memperjelas lemahnya perlindungan negara pada petambak garam.

Boediono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton. PT Garam menerima penugasan dari Menteri BUMN untuk melakukan impor garam konsumsi untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional. Hal ini menurut KIARA bertolak belakang dengan Surat Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan yang menyatakan bahwa impor garam boleh dilakukan oleh PT Garam hanyalah garam industri dengan kadar NaCL di atas 97 persen.

Ironinya, 1000 ton garam industri impor tersebut malah dikemas ulang dalam kemasan 400 gram dengan menggunakan cap SEGI TIGA G dan lalu dijual untuk kepentingan konsumsi. Sedangkan 74.000 ton diperdagangkan kepada 45 perusahaan lainnya.

"Tindakan ini jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan 125 tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam, dimana sudah jelas tertuang bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain. Dampaknya tiga juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk," kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam siaran pers yang diterima pada Minggu (11/6)

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat bahwa pada Agustus 2016 permasalahan substansi yang dihadapi oleh petambak garam Indonesia adalah minimnya sarana dan prasarana di tambak garam, buruknya akses air bersih dan sanitasi di tambak garam, minimnya intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam serta harga garam yang rendah.

Kelima permasalahan yang dihadapi oleh petambak garam di atas semakin diperburuk dengan adanya ketentuan impor garam industri tidak dikenakan bea masuk melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam yang berlaku sejak Desember 2015.

"Carut marut pengelolaan garam butuh perhatian yang serius, butuh semua pihak melakukan evaluasi bersama terhadap pengelolaan garam Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Menteri Perdagangan yang mesti melakukan audit internal di kementeriannya. Di sisi lain perlu langkah berani untuk mendorong Menteri Perdagangan agar segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam," kata Susan Herawati.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home