Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 14:18 WIB | Sabtu, 16 April 2016

Kiat Menangkan Persaingan: Pertempuran Produk Konsumsi

Ilustrasi: Produk-produk Unilever. (Foto: sentraloker.net)

SATUHARAPAN.COM – Bukan rahasia lagi jika Unilever merupakan produsen produk konsumsi paling terkemuka di dunia. Perusahaan itu memimpin pasar di negara-negara yang padat penduduknya, seperti Indonesia, India, Brasil, Argentina, Cile, dan Afrika Selatan.

Hanya di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) saja nasib Unilever kurang beruntung. Di pasar swalayan RRT, produk seperti Lux, Lifebuoy, dan Close Up tidak banyak ditemukan.

Sebaliknya, produk pesaing terdekatnya asal Amerika Serikat, Procter & Gamble (P&G), seperti sampo Rejoice, pasta gigi Crest dan deterjen bubuk Tide, justru melimpah. P&G membukukan pendapatan pada tahun 1999 sebesar 1 miliar dolar AS, sedangkan Unilever hanya sekitar 300 juta dolar AS.

Bagaimana bisa? Semuanya akibat praktik bisnis P&G yang lebih terpadu.

Misalnya, P&G cukup menyerahkan satu kuitansi untuk berbagai produk sekaligus. Meski P&G terpecah dalam berbagai departemen, semua bekerja sebagai satu tim.

Sementara itu, Unilever selain terlalu banyak mengeluarkan kuitansi, tenaga penjualannya saling bertarung di pasar memperebutkan pelanggan.

Hal itu terjadi karena Unilever menunjuk 12 mitra lokal, yang masing-masing memegang satu jalur produk beserta sistem distribusi dan staf penjualan. Akibatnya, di pasar para mitra lokalnya saling “berkelahi” memasarkan produknya masing-masing.

Padahal, kedua produsen produk konsumsi itu sama-sama memulai menggarap pasar RRT pada paruh kedua tahun 1980-an.

Unilever bahkan telah menanamkan investasi sebesar 800 juta dolar AS dalam 10 tahun terakhir. Sedangkan P&G hanya menanamkan investasi sedikit dan menjalin hubungan dengan satu mitra lokal.

“Kami baru benar-benar berinvestasi pada tahun 1993 dan 1994. Tahun sebelumnya kami hanya mencoba familiar dengan mitra lokal kami,” ujar CEO P&G, Durk Jager seperti dikutip dalam buku “45 Kisah Bisnis Top Pilihan”.

Pasar RRT dengan penduduk lebih dari 1 miliar jiwa sungguh amat besar dan potensial. Sayangnya, sebagian besar penduduk RRT lebih cinta produk dalam negeri dan kurang mengenal merek internasional.

Pemasaran produk konsumsi di RRT harus berupaya terlebih dulu membangun pengenalan merek (brand awareness) dan kepercayaan pelanggan. Lupakan persepsi bahwa RRT merupakan masyarakat homogen dengan ideologi komunis yang monolitik.

Kenyataannya, di RRT pemasar harus memilah-milah pasar dalam segmen yang berbeda.

Kesalahan strategi Unilever lebih karena terlalu percaya pada konsultan yang dibayar mahal untuk memetakan pasar RRT. Konsultan merekomendasikan agar Unilever membangun aliansi dengan pemain lokal untuk meraih pangsa pasar secara tepat.

Kemudian, Unilever dapat memanfaatkan jalur distribusi dan sistem pemasaran mereka untuk menjual produk andalan Unilever. Salah satu mitra pertama Unilever adalah produsen pasta gigi terkemuka RRT, Maxam.

Menyusul kemudian kerja sama dengan produsen sabun deterjen bubuk, kertas pembersih, es krim, dan produk-produk lainnya. Meski kerja sama tersebut terasa aneh, Unilever yakin akan mampu menyatukan mereka dan menghasilkan keuntungan.

Di lapangan, resep tersebut ternyata gagal. Pelanggan ibu rumah tangga di RRT lebih memilih sabun, deterjen, pasta gigi lokal yang lebih murah ketimbang merek asing yang mahal dan tak mereka kenal.

Satu-satunya divisi Unilever yang sukses hanya es krim Wall’s sebab toko-toko di sana sangat antusias dengan pemberian lemari es gratis yang tidak disediakan pesaing dari kalangan produsen es krim lokal.

Kurang Membumi

Bagaimana soal iklan dan kegiatan pemasaran? Meski aktif beriklan, para praktisi periklanan di Shanghai menganggap iklan-iklan Unilever kurang membumi.

Komunikasi iklan hanya dapat dipahami ekspatriat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan khalayak umum RRT yang menjadi sasaran iklan sesungguhnya.

Dalam aktivitas pemasaran, Unilever cukup terganggu karena banyak manajer andalnya yang dibajak perusahaan lain. Apalagi Unilever merupakan sponsor utama Sekolah Bisnis Internasional Tiongkok-Eropa di Shanghai.

Hal serupa tidak terjadi pada P&G yang menjaga karyawannya dari incaran para headhunters.

Alih-alih mundur, Unilever memutuskan untuk tetap bertahan di pasar RRT dengan berbenah diri. Kees Elkesmans, Direktur Komersial Unilever Tiongkok, memilih melakukan program pemangkasan biaya.

Jumlah ekspatriat dirampingkan dari 100 menjadi 20 orang. Selain itu, perusahaan juga bermaksud menggabungkan 11 dari 12 mitra lokalnya dalam suatu holding company.

Kemudian, Unilever memutuskan terjun ke Bursa Saham Shanghai sebagai respons masuknya RRT dalam World Trade Organization (WTO). Sebelumnya, perusahaan asing dilarang melakukan go public di RRT.

Ketika tujuh mitra lokalnya menolak bergabung dalam holding company dan menjadi pemegang saham minoritas, Unilever memainkan “kartu Shanghai”. Produsen produk konsumsi itu segera melobi PM Zhu Rongjo, yang pernah menjabat Wali Kota Shanghai.

“Hanya ada satu perusahaan produk konsumsi asing yang memiliki posisi kuat di RRT. Silakan pilih, kami yang berada di Shanghai atau perusahaan lain (P&G) di Guangzhou,” kata seorang eksekutif Unilever Tiongkok.

Ternyata PM Zhu Rongji cenderung memilih Shanghai dan itu berarti lampu hijau bagi Unilever. Kemudian, terbentuklah suatu holding company yang melibatkan empat mitra lokal.

Belajar dari kesalahan masa lalu, Unilever mulai menyusun strategi baru. Perusahaan itu berambisi untuk menjadi nomor satu di pasar RRT. Dengan menguasai pasar RRT, berarti pula menguasai pasar Asia.

Dalam pandangan Presiden Direktur Unilever Indonesia Nihal Vijaya Devadas Kaviratne, pada tahun 2010 penduduk Asia akan mencapai 3,5 miliar sampai 4 miliar jiwa, setara dengan separuh jumlah penduduk dunia.

Sayang, mayoritas penduduk Asia tadi merupakan warga miskin. Bagi Unilever, keadaan itu tak terlalu memusingkan. Sebab, selama puluhan tahun, perusahaan produk konsumsi itu telah berpengalaman melayani golongan berpendapatan D dan E di hampir 150 negara dunia dengan nilai miliaran dolar AS.

Sungguh bukan hal mustahil bila dalam lima tahun ke depan, Unilever dapat memenuhi ambisinya untuk menjadi “Raja Produk Konsumsi” di Asia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home