Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 11:41 WIB | Sabtu, 25 Januari 2020

Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”

Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Poster dengan teknik silkscreen karya Syahrizal Pahlevi (tengah) dalam pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai” di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta hingga 2 Februari 2020. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Poster dalam beberapa kategori: karya, desain, tipografi.
Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Poster model tipografi
Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Poster pameran bertahun 1974 (kiri) yang dicetak dengan menggunakan teknik cetak offset.
Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Pengunjung anak-anak mengamati poster-poster dalam beberapa kategori: karya, desain, tipografi, fotografi.
Kisah di Balik Selembar Poster dalam Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai”
Seniman-perupa Ong Hari Wahyu (kedua dari kiri) saat menyampaikan materi dalam diskui pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai”, Rabu (22/1) malam.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 500-an poster pameran seni rupa Indonesia dalam rentang tahun 1974-2019 koleksi Dicti art laboratory dipamerkan di Tembi Rumah Budaya. Pameran dibuka pada Senin (20/1) malam.

“Dalam catatan saya, sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2020 setidaknya telah digelar sebanyak 10.000-an pameran seni rupa. Dicti art sendiri hingga saat ini baru memiliki koleksi poster pameran seni rupa sekitar 500-an. (Dari jumlah tersebut) tentu banyak yang hilang dan tidak terekam dimana sesungguhnya poster bisa menjadi arsip penanda bagi perjalanan seni rupa Indonesia,” jelas pemilik Dicti art laboratory Mikke Susanto saat diskusi di Tembi Rumah Budaya, Rabu (22/1) malam.

Poster pameran/acara seni rupa merupakan salah satu medium publikasi bagi masyarakat luas. Di dalamnya terdapat ilustrasi-narasi melengkapi informasi acara yang akan diselenggarakan. Dengan fungsi tersebut selain untuk menyampaikan informasi awal, poster dibuat untuk menarik perhatian publik agar menghadiri acara tersebut.

Publikasi acara seni dalam tata waktu acara secara umum terbagi dalam tiga jenis yakni pra-event, saat acara, dan post-event dalam bentuk undangan, poster, rilis media, leaflet-brosur, barang cetakan merchandise, spanduk-baliho, buku-katalog, dan akhir-akhir ini ketika teknologi informasi sudah semakin mudah diakses, teaser sebuah acara sudah menjadi sebuah keharusan melengkapi materi publikasi digital lainnya.

Secara visual poster yang dipamerkan dalam “Masa Lalu Belumlah Usai” di Tembi 20 Januari-2 Februari 2020 dapat dipilah ke dalam empat kategori berdasarkan pendekatan desain visual dan kronologi, antara lain Karya, Tipografi, Desain, Fotografi.

Poster-poster tersebut dibagi ke dalam kategori Karya sebanyak 219 lembar, kategori Desain sebanyak 134 lembar, kategori Tipografi sebanyak 95 lembar, dan kategori Fotografi sebanyak 68 lembar.

Keempat pendekatan tersebut dibuat untuk memudahkan dalam mencermati materi pameran. Dalam pendekatan tersebut, kekaryaan dalam poster ditandai dengan kehadiran elemen visual karya yang dipamerkan. Gambar/objek yang digunakan dalam poster biasanya diambil dari salah satu karya yang dianggap mewakili gambaran pameran secara keseluruhan.

Dalam pendekatan desain, materi poster mengetengahkan perpaduan antara elemen visual dengan teks. Kombinasi dalam poster tersebut bisa jadi bukan memuat karya yang sedang dipamerkan ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan pameran. Di sinilah peran desainer kerap memunculkan kreativitas sehingga menjadi sebuah karya poster yang bukan sekadar desain publikasi.

Tipografi (Typography) berasal dari bahasa Yunani yaitu typos artinya bentuk serta graphein yang memiliki arti menulis. Tipografi merupakan teknik dan seni mengatur huruf. Tipografi dalam desain grafis merupakan satu elemen yang sangat krusial dan juga merupakan elemen yang paling sering dipakai untuk melengkapi suatu desain. Pada pameran di Gedung Purna Budaya Yogyakarta tahun 2000, tiga seniman-perupa Anggar Prasetya, Made Toris Mahendra, serta Hamzah menggunakan publikasi poster dengan keseluruhan elemen desainnya adalah huruf.

Fotografi di mana elemen utama desain poster menggunakan foto. Penggunaan elemen foto dalam poster sejalan dengan perkembangan teknologi cetak yang memungkinkan pencetakan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga biaya produksi cetak poster bisa lebih terjangkau. Di masa lalu poster dengan elemen fotografi adalah kemewahan mengingat untuk menghasilkan karya poster yang bagus harus dicetak secara separasi (dipisahkan dalam elemen warna proses cyan/magenta/yellow/black). Biaya pencetakan poster fotografi di masa lalu berbiaya mahal mengingat setiap warna dasar memiliki plat yang terpisah.

Dalam perkembangannya teknologi komputasi serta pencetakan secara digital memungkinkan mencetak foto full color dari satu mesin cetak (printer) dalam berbagai bidang cetak. Perkembangan teknologi tersebut telah mengubah banyak warna poster pameran seni rupa.

Dengan sifatnya yang diproduksi dalam jumlah banyak/massal, sebagus apa pun tampilan-konsep sebuah poster masih belum dianggap sebagai karya seni rupa. Bisa dipahami mengingat sifat produksinya yang massal dan lebih banyak ditentukan oleh alat bantu cetaknya.

Perkembangan Teknik Cetak dalam Sebuah Poster

Pameran “Masa Lalu Belumlah Usai” sesungguhnya adalah pameran sunyi sebagaimana sifat arsip itu sendiri. Secara artistik-estetis poster pembuatan poster tidak dimaksudkan untuk menjadi karya seni yang berdiri sendiri, namun sebagai pelengkap publikasi sebuah acara. Fungsi informasi itulah yang lebih banyak terkandung dalam sebuah poster. Dan dalam perjalanannya, secara langsung ataupun tidak, poster menjadi arsip-dokumentasi perjalanan seni (rupa) secara keseluruhan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk menjadi sebuah karya seni yang berdiri sendiri.

Poster tidak bisa terlepas dari teknik cetak yang digunakan. Mengamati poster dalam pameran “Masa Lalu Belumlah Usai” setidaknya terdapat tiga periodisasi dimana poster dibuat dalam perkembangan teknik pencetakan pada zamannya.

Periode sebelum tahun 1980-an lebih banyak didominasi dengan penggunaan teknik cetak silk screen ataupun teknik cetak garfis manual lainnya. Meskipun cetak offset saat itu sudah mulai diperkenalkan namun belum banyak digunakan mengingat masih terbatasnya alat cetak offset sehingga konsekuensinya antrean naik cetak cukup banyak serta mahalnya biaya produksi untuk sebuah poster. Belum lagi teknologi cetak offset pada periode ini masih terbatas pada grafis vector maupun raster dalam piksel yang tidak terlalu detail.

Poster “Pameran Patung 77” dibuat dengan menggunakan teknik silk screen printing dengan desain karya AD Pirous. Poster publikasi pameran patung yang dihelat pada tahun 1977 tersebut hasilnya justru lebih bagus dibandingkan jika dicetak dengan menggunakan teknik cetak offset kala itu. Dengan teknik silkscreen printing waktu itu tentu biaya produksi dan waktu pengerjaan bisa lebih ekonomis dan cepat.

Pada periode 1980-an hingga 2010, publikasi poster sudah mulai marak menggunakan teknik cetak offset. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi cetak offset yang sudah bisa ditemui di banyak kota.

Periode cetak offset sendiri untuk pembuatan poster mengalami perkembangan yang bertahap. Dengan pertimbangan biaya hingga pertengahan tahun 1990-an, publikasi poster menggunakan teknik cetak offset banyak menggunakan paper plate. Sejak awal tahun 1990-an cetak offset dengan paper plate sudah memungkinkan untuk mencetak dalam medium kertas ukuran di atas ukuran A3 dengan raster yang sudah cukup detail dibanding awal dikenalkannya mesin cetak offset di Indonesia pada akhir tahun 1970-an.

Teknik cetak offset sendiri pada akhir tahun 1980-an sudah mulai dikenalkan penggunaan cetak offset separasi bagi masyarakat luas yang memungkinkan mencetak image dalam citraan full color. Teknik cetak offset separasi saat itu hanya dimiliki oleh percetakan besar ataupun media cetak yang memiliki oplah besar seperti Kompas dan Jawa Pos untuk keperluan pencetakan koran/tabloid-majalahnya.

Mulai pertengahan tahun 1990-an hingga pertengahan 200a-an teknik cetak offset separasi mengalami masa keemasan diikuti dengan perkembangan teknologinya yang memungkinkan pembuatan plat dalam ukuran kecil sehingga lebih fleksibel, penggunaan setting desain terkomputasi dah terhubung sehingga memungkinkan mencetak dalam sekali proses, serta melakukan cetak jarak jauh, meskipun dunia cetak sempat dihantam badai krisis moneter pada tahun 1998.

Teknologi pembuatan plat cetak offset separasi perlahan-lahan mulai bisa menekan biaya produksi sebuah barang cetakan. Dengan semakin terjangkaunya biaya cetak offset separasi di luar harga kertas, pertengahan tahun 1990-an hingga akhir 2000-an poster acara banyak dicetak dengan menggunakan cetak offset separasi. Teknik cetak offset separasi sendiri masih menyisakan celah minimal order untuk menekan biaya produksinya.

Teknologi percetakan terus berkembang dengan hadirnya digital printing yang memungkinkan setiap orang mencetak dalam desain seperti aslinya tanpa dibatasi oleh minimal order. Perkembangan digital printing sejak awal tahun 2010 secara perlahan dan signifikasn terus menggerus pasar cetak offset separasi.

Dalam dunia poster sendiri, kehadiran digital printing dianggap menguntungkan dimana seniman-pelaku kreatif bisa mencetak ide-gagasan dalam berbagai medium dan tidak terbatas pada kertas-plastik namun juga kanvas dengan berbagai desain yang berbeda tanpa dibatasi minimal order. Ini memungkinkan seniman-pelaku kreatif mencetak poster untuk publikasinya secara beragam desain dan dalam waktu yang singkat.

Lagi-lagi digital printing pun mengalami nasib yang hampir sama dengan cetak offset separasi manakala perkembangan teknologi informasi justru melesat lebih cepat dari perkembangan digital printing itu sendiri. Perkembangan teknologi informasi yang turut mengubah cara baca masyarakat telah membentuk sebuah cara baca baru di masyarakat yang menuju pada paperless.

Hari-hari ini publikasi acara melalui poster maupun bahan cetakan lainnya secara berangsur-angsur digantikan dengan materi publikasi elektronik yang bisa disebarkan dalam hitungan detik ke berbagai penjuru dunia. Meskipun digital printing masih digunakan, materi publikasi elektronik telah memangkas banyak biaya tanpa harus kehilangan kreativitas seniman-pelaku kreatifnya.

Kreativitas dalam Selembar Poster

Menarik mengamati pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai” dimana teknologi pencetakan sebuah poster menjadi gambaran pada masanya. Sebuah poster bertahun 1974 “ASEAN Mobile Exhibition Art  & Photography” di Taman Ismail Marzuki dan Balai Budaya Jakarta yang dicetak dengan teknik offset. Sebuah poster dari hasil cetakan dengan warna yang bukan monochrome pada masa itu adalah sebuah kemewahan.

Begitupun pada poster pameran lukisan tunggal Affandi pada Agustus 1974 di Taman Ismail Marzuki dalam dua warna hitam-kuning. Hasil cetakan manual silk screen printing terlihat dari tidak presisinya penutupan warna kuning pada kertas sehingga menyisakan celah berwarna dasar putih di antara warna hitam dan kuning. Pada poster pameran tunggal Affandi, dari sebuah poster bisa membicarakan teknologi pencetakannya pada jamannya.

Poster sebuah acara menjadi sebuah karya seni yang unik manakala dikerjakan dalam jumlah terbatas dengan pengerjaan manual yang kemungkinan menghasilkan hasil yang berbeda satu sama lainnya. Meskipun teknologi pencetakan pada masa lalu, ketidaktepatan dalam pengaturan secara manual pun berisiko menghasilkan cetakan yang berbeda, pengerjaan secara manual dengan berbagai teknik printmaking maupun drawing-painting secara langsung tetap menghasilkan karya yang unik.

Poster pameran lukisan Heri Dono pada tahun 1989 di Galeri Cemeti yang dibuat oleh seniman Ong Hari Wahyu mengkombinasikan beberapa teknik. Pada lembaran kertas yang dicetak dengan jadwal dan lokasi pameran dengan cetak offset menggunakan paper plate, Ong merespons lembaran kertas tersebut dengan drawing menggunakan obyek-obyek figur karya khas Heri Dono dengan berbagai warna. Hasilnya sebuah poster yang lebih berwarna dengan sentuhan fontasi/tipografi yang dihasilkan dari mesin cetak offset.

Di tengah perkembangan teknologi percetakan yang terus berkembang, seniman grafis Dodi Irwandi masih membuat poster pamerannya secara manual. Pada pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2013 Dodi membuat poster pameran “Dodi Irwandi: Teater Hitam Putih” pada kertas berukuran 40,5 cm x 55,5 cm dengan menggunakan teknik cetak cukil (woodcut).

Hal sama masih dilakukan Syahrizal Pahlevi yang membuat poster dengan teknik silkscreen printing di atas kertas saat menggelar pameran duo-nya bersama Joseph Wiyono bertajuk “Pameran Sketsa Joseph Wiyono – Syahrizal Pahlevi” pada tahun 2016.

Mendiang Yustoni Volunteero bersama Taring Padi justru kerap membuat poster acara seni dengan membuat langsung pada selembar kertas yang masih baru maupun merespons kertas bekas dengan sketsa-drawing menjadi poster acara. Di luar cerita keterbatasan dana pembuatan poster, upaya Toni dan Taring Padi tersebut justru menyisakan cerita menarik dimana poster yang dibuatnya selalu menjadi incaran seniman lainnya. Saat poster dipasang pada sore hari, hampir dipastikan pagi harinya poster tersebut telah raib dan menjadi koleksi “gelap” karya oleh seniman lainnya.

“Poster hanya menjadi pelengkap sebuah acara seni sehingga dalam pembuatannya seniman kerap berdamai dengan kekuatan logistiknya. Tentunya mereka inginnya harga murah, jumlah banyak, dan bagus secara hasil cetakan. Tapi biaya pencetakan pada masa itu kan tidak murah. Membuat poster dengan cetak offset pada tahun 1980-an itu sebuah kemewahan.” jelas Ong Hari Wahyu pada sesi diskusi, Rabu (22/1) malam.

Ong menambahkan bahwa teknologi cetak sparasi selain desain juga mensyaratkan kerumitan lain yang berkaitan dengan teknis pencetakan termasuk alat cetaknya.

“Dalam perkembangan berikutnya dengan cetak sparasi, biayanya lebih mahal lagi. Berbeda dengan teknologi cetak hari ini, dengan teknologi digital printing kita bisa mencetak satu edisi dalam ukuran berapa pun selagi medium cetaknya memungkinkan. Cetak sparasi dihitungnya per cm persegi dengan empat layer warna untuk masing-masing warna dasar. Empat kali naik cetak. Poster fullcolor pada masanya berbiaya mahal. Makanya diakali dengan setting bersama dengan desain lainnya pada plat-nya. Saat akan dicetak, di-setting lagi menyesuaikan kebutuhan,” papar Ong Hari Wahyu.

 “Salah setting akan menghasilkan cetakan yang tidak pas warnanya. Tapi pada masa itu juga menjadi guyonan di antara teman-teman seniman pada poster yang tidak tercetak secara presisi ini warnanya justru lebih artistik. Begitu guyonan kawan-kawan,” imbuh Ong.

Hingga ditemukannya teknologi yang mengusung what you see is what you get (WYSIWYG) dilanjutkan dengan perkembangan teknologi digital yang begitu cepat sejak awal tahun 2000-an hingga saat ini, pembuatan poster dengan bantuan digital printing telah melewati sebuah fase yang mungkin tidak terpikirkan pada masa 1980-1990-an.

Poster cetak sebagai salah satu media publikasi menjadi kebutuhan tersier sebuah acara seni manakala perkembangan teknologi informasi dalam dua dasa warsa justru meninggalkan jauh teknologi percetakan digital printing sekalipun. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara baca masyarakat dalam banyak hal.

Koran, tabloid, majalah cetak yang pada masanya menjadi kebutuhan utama masyarakat dalam memperoleh informasi, hari ini telah menjadi ‘korban’ perkembangan teknologi informasi. Teknologi telah memakan anaknya sendiri. Dalam hal poster sebagai media publikasi pun telah bergeser menjadi e-poster yang banyak dilakukan oleh seniman dalam mengabarkan acaranya. Berubahnya cara baca dan kemudahan akses internet menjadikan teaser acara menjadi sebuah keharusan dilengkapi dengan e-poster yang ada.

“Pameran ini bukan diposisikan sebagai pameran karya artistik-estetik, namun sebagai satu kumpulan data yang bisa membantu publik untuk memahami dunia seni rupa secara lini masa (dalam sebuah poster) termasuk teknik cetak yang digunakan, bisa juga pembacaan secara melebar secara sinkronis dalam satu kurun waktu yang sama dalam kaitan dengan relasi-relasi yang lebih luas dalam seni rupa dan dunia seni yang lain termasuk dalam sosial-politik. Pameran poster ini sekaligus bisa menjembatani lintas generasi,” jelas pengelola Tembi Rumah Budaya Totok Barata saat memberikan sambutan diskusi, Rabu (22/1) malam.

Pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai” berlangsung sampai tanggal 2 Februari 2020 di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, Jalan Parangtritis No Km 8.4, Tembi, Timbulharjo, Kec Sewon, Bantul.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home