Kisah Para Pembenci
SATUHARAPAN.COM - Di sebuah negeri di suatu masa, para pembenci merajalela….
Ada yang menjadi pembenci karena sakit hati “tidak terangkut kereta”. Ia merasa telah menanam jasa, tetapi upayanya itu tidak diganjar dengan penghargaan seusai harapan. Maka kebanggaan dirinya pun terusik. Dari sakit hati yang berkepanjangan, lalu menjadi bisul jiwa bernanah dan berbau busuk. Lalu lupa diri. Lupa umur. Lupa pula pada janjinya sendiri.
Ada yang menjadi pembenci karena “butuh panggung”. Selama ini ia terbiasa hidup dalam sorotan. Bersama berubahnya zaman dan menuanya tubuh, sorotan itu meredup. Tidak ada lagi yang bertepuk tangan untuknya. Maka jiwanya memberontak. Lalu dengan berbagai cara berusaha merebutnya kembali. Pun bila ia harus melumuri dirinya dengan kebencian; caci maki dan hinaan adalah perhiasan di mulutnya, seringainya bak Mak Lampir.
Ada yang menjadi pembenci demi menutupi kegagalan dan rasa frustasinya – Grup musik yang membesarkannya di ambang senjakala. Normalnya dalam situasi demikian, orang mawas diri dan bertobat. Tetapi ia terlalu sombong untuk mengakui. Jadilah ia seorang pembenci; siapa pun yang tidak sejalan dengannya dicacinya. Umpatan-umpatan menjadi kosa kata yang akrab di mulutnya yang dulu ringan mendendangkan lagu cinta. Bahkan ia tak sungkan mengubah dirinya; dari yang katanya pejuang pluralisme menjadi rasis dungu.
Ada juga yang menjadi pembenci karena memang itulah bisnisnya. Mereka dibayar untuk menyebar hoax; menebar kebencian, menabur fitnah. Bisa jadi mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh membenci. Mereka cuma telah menjual hati nurani dan akal sehatnya demi duit. Tida peduli kalau untuk itu mereka sampai harus menyembah setan.
Sisanya, mereka yang menjadi pembenci karena ikut-ikutan. Bertemu dan berelasi dengan orang-orang yang dibencinya saja tidak pernah. Orang-orang bodoh ini adalah korban provokasi media-media sakit.
Begitulah kisahnya…
Kasihan sebetulnya para pembenci itu. Mereka telah menukar ketenangan hidupnya dengan sesuatu yang fana; sesuatu cepat atau lambat akan mereka tinggalkan juga. Dan yang lebih parah, mereka akan mewariskan “beban sejarah” kepada anak cucunya. Kelak, 40-50 tahun yang akan datang, orang akan mengenang mereka dengan rasa malu. Kita hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mengasihi jiwanya.
Editor: Tjhia Yen Nie
Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com )
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...