Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 20:18 WIB | Senin, 20 Juni 2016

Komisi HAM Asia: Tak Ada Kemajuan Penyelesaian HAM Papua

Joko Widodo saat berkunjung ke Kampung Hebeaibulu, Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Kamis (5/6/2014), dalam rangakaian Kampanye Pemilu Presiden 2014 (Foto: dok. satuharapan.com/Antara)

HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Komisi Hak Asasi Manusia Asia (The Asian Human Rights Commission/AHRC) yang berbasis di Hong Kong, menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo belum memberikan kemajuan yang signifikan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, Indonesia.

“Setelah melalukan pemantauan selama 20 bulan terhadap situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, Asian Human Rights Commission (AHRC) kecewa karena kurangnya kemajuan dalam perlindungan dan realisasi hak-hak manusia,” demikian pernyataan AHRC dalam situs resminya, humanrights.asia, hari Jumat (17/6).

“Sejak pelantikan Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2014, ada harapan untuk perbaikan situasi HAM di Indonesia, khususnya di Papua dan Papua Barat. Presiden Widodo diyakini memiliki komitmen yang kuat untuk menangani berbagai pelanggaran HAM di Papua, memberikan solusi bagi korban dan keluarga, dan mengevaluasi kehadiran pasukan keamanan di provinsi tersebut,” kata pernyataan itu lebih lanjut.

Menurut AHRC, lebih dari satu tahun masa kepresidenan Jokowi belum satu pun masalah pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan atau pun memberikan jaminan kepada para korban.

AHRC juga menilai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat belum membawa manfaat bagi penduduk asli Papua. Demikian pula pembangunan prasarana umum yang dilakukan pemerintah lebih berorientasi ekonomi dan bisnis daripada manfaat bagi masyarakat setempat.

“Upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi internasional untuk Papua dan Papua Barat justru akan memperbesar peningkatan migrasi ke provinsi Papua dari tempat lain di Indonesia dan memicu ketidakpuasan lokal,” katanya.

Menurut AHRC, lembaga peradilan pidana di provinsi tidak berfungsi untuk mengatasi masalah hak asasi manusia. Polisi sering terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM di dua provinsi, dan mekanisme akuntabilitas telah gagal untuk mengatasi masalah ini.

AHRC menyebutkan kasus Paniai, pada 8 Desember 2014, di mana empat anak asli Papua ditembak mati, dua orang dewasa terluka parah, dan 17 lainnya luka-luka adalah contoh indikasi kebrutalan yang dihadapi oleh orang Papua, serta tidak adanya penyelidikan atau upaya hukum yang efektif.

Kasus lain yang juga belum diselidiki dan dituntut di bawah pemerintahan Presiden Widodo termasuk kasus anggota Angkatan Udara yang diduga menganiaya Amsal Marandof, 22 tahun, kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan tiga penduduk asli Papua pada tanggal 27 Agustus 2015, dan kasus penembakan dan serangan brutal pada 10 pemuda asli Papua yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari Polsek Tigi.

AHRC juga telah mengamati kurangnya peran pemerintah Indonesia untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu di provinsi Papua dan Papua Barat. Laporan investigasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada pelanggaran berat di Wasior Wamena Papua (2001 dan 2003), misalnya, telah mandek selama delapan tahun terakhir, tanpa tindakan apapun dari Jaksa Agung.

Terkait tuduhan genosida di Pegunungan Tinggi Tengah Papua pada 1977-1978, AHRC telah menyampaikan laporan ke Komnas HAM, namun belum ada kemajuan dalam penyelidikan. Sementara Komnas HAM mulai membentuk tim pada bulan November 2015 untuk memeriksa pelanggaran HAM sejak Papua bergabung ke Republik Indonesia sampai dengan kasus Tolikara, namun belum ada satu pun informasi yang jelas mengenai keberadaan tim atau hasil kerja mereka.

AHRC juga mencatat  sebuah inisiatif dilakukan pemerintah Indonesia di bawah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Pandjaitan,  baru-baru ini, yang mengumumkan untuk membentuk tim khusus menangani pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat.

Namun kelompok hak asasi manusia lokal sebagian besar telah menolak inisiatif tersebut. Mereka mengatakan bahwa perwakilan penduduk asli Papua dalam tim yang dibentuk tersebut tidak benar-benar mewakili masyarakat asli Papua. Bahkan, inisiatif dari pemerintah yang tiba-tiba membentuk tim tersebut dilakukan tanpa adanya konsultasi dan diskusi dengan orang Papua.

“Pemerintah cenderung menyederhanakan masalah di Papua, dan perspektif ekonomi dan infrastruktur di Papua tidak serius mempertimbangkan sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dari waktu integrasi hingga saat ini,” kata pernyataan itu.

Oleh karena itu, AHRC menyerukan Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya untuk mengambil langkah-langkah serius dan komprehensif untuk menangani masalah hak asasi manusia berbagai menghadapi provinsi Papua dan Papua Barat.

“Pemerintah harus berhenti mencari keuntungan politik dalam berurusan dengan Papua, dan fokus pada peningkatan situasi masyarakat setempat. Secara khusus, pemerintah harus menjamin perlindungan terhadap  penduduk asli Papua, pembela hak asasi manusia lokal dan wartawan, dan konsisten membuka Papua dan Papua Barat terhadap kedatangan pemantau internasional untuk memastikan kemajuan resolusi,” tulis pernyataan itu.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home