Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 10:56 WIB | Kamis, 16 Juni 2016

Komisi II: Masih ada 6.000 Perda yang Bermasalah

Anggota Komisi II DPR RI, Hetifah. (Foto: dpr.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Hetifah mengatakan Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan bahwa Kementerian Dalam Negeri menghapus 3.143 peraturan daerah (perda).

Menurut Hetifah, perda yang dihapus oleh Presiden adalah perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.

Selain itu, kata Hetifah, perda-perda yang bertentangan dengan peraturan pusat juga dihapuskan. Diperkirakan masih ada sekitar 6.000 perda lagi yang bermasalah.

“Saya apresiasi pemerintah atas langkah tegas tersebut. Walaupun menyayangkan tindakan ini agak terlambat, penghapusan perda yang menghambat sudah sepatutnya cepat dilakukan, karena akan berpengaruh ke berbagai aspek seperti bisa mempercepat proses pembangunan di daerah,” kata Hetifah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Kamis (16/6).

Hetifah juga menegaskan, keberadaan perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, baik UU atau bahkan UUD 1945. Penghapusan perda yang dinilai bermasalah ini harus menjadi koreksi baik pemda dan pemerintah pusat.

“Pemerintah pusat harus melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas daerah dalam pembuatan perda. Jangan sampai telanjur sudah ribuan perda bermasalah baru kemudian dihapuskan. Dari awal harus ada acuan yang jelas bagaimana proses penyusunan dan muatan perda yang baik,” kata dia.

Menurut Hetifah, penyusunan perda harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Proses penyusunan harus melibatkan publik agar perda mendapat masukan dari berbagai perspektif dan memberikan manfaat sosial yang besar dengan biaya minimum.

“Proses penyusunan perda harus partisipatif, konsultasi harus dilakukan dengan sistematis dan melibatkan pula kelompok atau mereka yang berpotensi dirugikan akibat perda tersebut. Suara kelompok ‘marjinal’ dan perempuan yang biasanya tidak didengar, harus diperhatikan. Ini kan agar perda tidak hanya melayani kepentingan tertentu yang dekat dengan kekuasaan,” kata dia.

Politikus Partai Golkar ini meminta pemerintah (dalam hal ini Kemendagri) mendorong agar Regulatory Impact Assessment (RIA) dilakukan sebelum pengaturan dibuat.

“Beberapa daerah sudah menerpakan Regulatory Impact Assessment (RIA) yang bertujuan untuk mengidentifikasi dampak positif dan negatif atau keuntungan serta kerugian dari terbitnya suatu perda, termasuk konsekuensi pendanaannya. Jika ada dampak negatif, bisa diantisipasi jalan keluarnya. Jika banyak pengaruh negatifnya untuk kepentingan masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun politik, maka janganlah suatu perda diterbitkan,” kata dia.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home