Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 18:44 WIB | Jumat, 22 Juli 2016

Komnas HAM: 8 Pelanggaran HAM dalam Pengepungan Asrama Papua

Wakil Ketua Komnas HAM Ansori Sinungan pertama dari sebelah kanan di Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary No 4B, Menteng Jakarta Pusat, hari Jumat (22/7). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan delapan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terkait peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jalan Kusumanegara No 119, Kota Yogyakarta pada 14 sampai dengan 16 Juli 2016.

“Komnas HAM memutuskan untuk melalukan pemantauan dan penyelidikan pada 19 sampai dengan 21 Juli 2016 terkait peristiwa tersebut. Berdasarkan informasi, data, fakta pemantauan dan penyelidikan, Komnas HAM menemukan delapan dugaan pelanggaran HAM,” kata Wakil Ketua Komnas HAM, Ansori Sinungan, di Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary No 4B, Menteng Jakarta Pusat, hari Jumat (22/7).

Pertama,kata Ansori, telah terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan pendapat.

Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Kepolisian seharusnya memberikan ruang dan perlindungan atas kebebasan tersebut karena merupakan hak kodrati yang melekat pada setiap individu dan menyangkut kedaulatan individu.

“Tindakan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum," kata dia.

Kedua lanjut Ansori, ada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Kepolisian terhadap mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama mahasiswa Kamasan I.

“Tindakan penganiayaan dan penyiksaan secara sadar dan sengaja merupakan tindakan pelanggaran HAM yang melekat pada setiap orang dan tidak dapat digantikan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan," kata dia.

Ketiga, kata Ansori, adanya tindakan hate speech berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme yang dilakukan oleh anggota ormas saat peristiwa pengepungan seperti mengatakan moyet, biadab dan hitam, tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Keempat, kata Ansori, adanya fakta peristiwa dimana kelompok ormas intoleran yang datang ke depan asrama mahasiswa Papua lalu berorasi dan melakukan tindakan hate speech rasis dan kejadian ini disaksiakan oleh aparat keamanan.

“Tidak adanya pencegahan atas kedatangan ormas yang berkumpul dan berorasi tanpa ijin di depat aparat keamanan merupakan suatu tindakan pembiaran. Komnas HAM menilai peristiwa ini sebagai suatu pelanggaran HAM melalui tindakan pembiaran oleh aparat keamanan, dan tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," kata dia.

Kelima, kata Ansori, Komnas HAM memastikan Pemerintah Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan jaminan atas rasa aman bagi mahasiswa Papua melalui langkah-langkah kongkrit di antaranya Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur dan pernyataan-pernyataan untuk mencegah dan mengatasi tindakan rasisme terhadap warga Papua.

“Hal ini penting mengingat lima tahun terakhir telah terjadi stigma negatif terhadap mahasiswa Papua dan adanya Papua phobia di kalangan ormas dan masyarakat DIY," kata dia.

Keenam, lanjut Ansori, adanya fakta terjadinya penangkapan dan penahanan terhadap delapan orang mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian dan satu di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

“Tindakan penangkapan dan penerapan sebagai tersangka terhadap mahasiswa Papua tersebut dilakukan tanpa menunjukkan dua alat bukti yang kuat, dan tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang berkeadilan dan non diskriminasi sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi kovenan hak sipil dan politik," kata dia.

Ketujuh, kata Ansori, adanya tindakan eksesif  oleh aparat kepolisian, ditunjukkan dengan adanya pengerahan jumlah aparat yang berlebihan, penggunaan senjata dan tembakan gas air mata yang diarahkan ke dalam asrama mahasiswa Papua.

Kedelapan, lanjut Ansori, terkait pernyataan Gubernur DIY tentang saparatisme tidak boleh ada di Yogyakarta, Komnas HAM menilai pernyataan tersebut sangat multitafsir. 

Pernyataan itu tidak ditujukan kepada individu yang melakukan separatisme, namun dapat dimaknai bahwa pernyataan separatisme tersebut ditujukan kepada orang Papua yang sedang menjalani studi di DI Yogyakarta.

“Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY, harus memastikan adanya penghormatan terhadap HAM (to respect) dan memastikan pelindungan warga negara (to protect),” kata dia.

Selain itu, kata Ansori, Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja Jawa bagi masyarakat DIY  dapat dicerna sebagai sebuah titah/sabda raja oleh masyarakat Yogyakarta, yang dikemudian hari dapat dimanfaatkan oleh 25 ormas di DIY dan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan HAM.

“Komnas HAM akan merekomendasikan kepada pihak-pihak yang berkaitan khususnya Pemerintah Pusat, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan para pihak yang terkait, untuk melakukan tindakan hukum dan langkah pencegahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.

“Hal ini merupakan kewenangan komnas HAM sebagai lembaga negara yang bertugas menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemajuan dan penegakan HAM sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," dia menambahkan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home