Loading...
HAM
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 20:06 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

Komnas Perempuan Alarm-kan Peningkatan Perkosaan Kolektif

Ilustrasi: Ketua Komnas Perempuan Azriana dalam siaran pers di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuhhari, Jakarta Pusat, hari Rabu (28/10). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejak tahun 2013, melalui catatan tahunan (Catahu), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah memberi alarm keras tentang meningkatnya gang rape atau perkosaan kolektif oleh sejumlah pelaku, antara lain mencuatnya kasus-kasus serius yang menimpa siswi dengan pelaku kawan-kawan sekolahnya, perempuan diperkosa kolektif di transportasi publik, dan lainnya.

Hal itu tertuang dalam siaran pers Komnas Perempuan kepada satuharapan.com, hari Selasa (3/5).

Data Catahu 2016, kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal, dari jumlah kasus sebesar 321.752, maka kekerasan seksual menempati peringkat dua, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus).

Ranah publik, dari data sebanyak 31% (5.002 kasus), maka jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%); dan ranah negara (yang menjadi tanggung jawab) terdapat kekerasan seksual dalam Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, tes keperawanan di institusi pemerintah, dan lainnya. Pelaku kekerasan seksual adalah lintas usia, termasuk anak-anak jadi pelaku.

Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM perempuan di Indonesia berbela sungkawa atas kasus YY di Bengkulu, perempuan belia berusia 14 tahun yang diduga mengalami perkosaan sadis  dan pembunuhan oleh 14 pemuda. Kasus YY merepresentasikan isu besar tentang kejahatan seksual yang masih minim diberi perhatian negara dan mengkhawatirkan semua pihak, karena siapapun berpotensi menjadi korban maupun pelaku. Kasus YY harus dilihat sebagai kasus sistemik dan  menunjukkan sejumlah hal, diantaranya:

1.    Wilayah pelosok, terpencil (termasuk wilayah kepulauan) semakin merentankan perempuan, karena minimnya pantauan, akses perlindungan dan keadilan bagi korban. Kasus YY sudah terjadi sejak tanggal 3 April 2016, ditemukan tiga hari kemudian, dan menyentak kita semua setelah satu bulan berjalan;

2.    Terduga pelaku kasus YY, dari 14 pelaku, maka tujuh diantaranya anak-anak. Informasi awal, para pelaku tumbuh dari setting sosial masyarakat miskin, putus sekolah dan bekerja menjadi kuli kebun karet dan kopi, banyak waktu luang yang memicu minum tuak, minim  pendidikan dan informasi tentang seksualitas. Artinya korban dan pelaku, semakin rentan karena kondisi kemiskinan dan pemiskinan;

3.    Kekerasan seksual, bukan hanya menghancurkan korban dan keluarganya, tetapi juga menghancurkan masa depan pelaku dan keluarganya, tak terkecuali masyarakat dan kita semua yang sudah kehilangan rasa aman, baik di publik maupun domestik. Data Komnas Perempuan dalam kurun 10 tahun, terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70 persen pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat.

Untuk itu, Komnas Perempuan menyatakan sikap dan rekomendasi:

1.    Negara harus menunjukkan "sense of urgency" bahwa isu kekerasan seksual sudah dalam kondisi darurat. Kembalikan rasa aman perempuan yang rentan menjadi korban dengan perwujudan pencegahan, penanganan, dan pemulihan sistemik hingga ke berbagai wilayah, melalui pengesahan UU

Penghapusan Kekerasan Seksual. Pastikan isu perempuan sama pentingnya dengan isu anak, karena akhir-akhir ini sikap tanggap negara maupun publik lebih cepat terhadap kekerasan anak dibanding kekerasan terhadap perempuan.  Padahal kejahatan seksual terhadap siapapun adalah kejahatan

yang harus diberi perhatian dan harus dihentikan;

2.    DPR RI dan DPD RI untuk memprioritaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas utama, agar DPR RI pada periode ini punya warisan dan jejak jelas pada penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Komnas Perempuan mendorong seluruh partai dan fraksi-fraksinya agar menyampaikan sikap dan komitmen kepada publik untuk penghapusan kekerasan seksual, melalui langkah sistemik antara lain memastikan  RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas Prolegnas;

3.    Kementerian Pendidikan Nasional harus mengevaluasi dan mereformasi kurikulum, sistem  pendidikan yang memperkuat pengetahuan, kesadaran, dan kesiagaan dalam mencegah dari tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan;

4.    Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI melakukan koordinasi dan kesepahaman dengan jenjang sistem hukum hingga di daerah dan lintas sektor dalam memahami kekerasan seksual yang dialami korban sebagai fokus utama dengan pembunuhan sebagai tindakan yang memberatkan dan upaya membungkam korban, dan dalam hal pelaku masih anak atau pelajar tetap memberikan edukasi dini terkait tindakan kejahatan kekerasan seksual sebagai pelanggaran HAM atau HAP dan melanggar hukum, sehingga tetap memberikan penghukuman yang mencerminkan prinsip memberikan keadilan bagi korban, mencegah keberulangan dan menjerakan para pelaku dengan berlandaskan pada empat prinsip dasar hak anak yang termuat di dalam UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak;

5.    Negara dan masyarakat untuk memantau, mencegah kekerasan di semua lini, dan memberi dukungan, perlindungan dan pemulihan pada keluarga korban kekerasan seksual dimana pun.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home